Riti memikirkan segala kemungkinan, jika memang gedung ini dalam kekuasaan Tama atau Dion, maka ia akan bekerja di tempat lain. Sebab, bekerja dengan orang yang tidak akrab itu membosankan.Tiga wanita itu sampai di ruang kepala SDM. Riti mengenali orang bernama Gani itu sebagai seorang yang pernah bersama Wendy, ketika ia masuk kerja pertama kali. Ia menunduk hormat pada pria berusia matang itu, sambil mengambil kotak nasi.“Terima kasih, Pak!” katanya sopan. Pria itu mengangguk ramah pada semua anak buah Wendy, seraya bernapas lega. Ia belum tahu ada hubungan apa sang Bos dengan pegawai baru yang dinilainya biasa saja. Meskipun, komentar Wendy tentang gaya busananya lumayan bagus, tapi Riti bukanlah perempuan kalangan atas. Gani dan Wendy tidak berani menebak terlalu jauh tentang, siapa Riti sebenarnya dan apa hubungannya dengan Tama. Lagi pula tidak ada di antara mereka yang berani bertanya. Sementara ini, keadaan aman, Bos besar mereka jarang hadir kecuali sekali-kali saja d
“Ya, aku tahu, aku pilih ini saja!” kata Riti, sambil memegang satu model, dengan warna paling lembut di antara gelang lainnya.“Pilihan yang bagus! Aku doakan, siapa pun suamimu, kalian akan hidup bahagia selamanya!” “Terima kasih doanya! Oh ya, aku akan membayarnya begitu aku punya uang, Nena!” “Jangan sungkan! Itu tidak masalah selama kamu membayar!”Nena pergi setelah barangnya laku, meskipun hanya satu dan belum dibayar, itu tidak masalah sebab mereka akan sering bertemu. Ia akan menagihnya kalau gajian sebab Riti pasti punya uang. Riti kembali ke ruangannya dan makan dengan kenyang. Lalu, ia kembali bekerja sampai waktunya pulang. Ia bertemu dengan Marhen di halaman parkir saat menunggu Jasin datang.“Apa yang Ayah lakukan di sini?” tanya Riti, ia heran bagaimana Marhen bisa tahu kalau dirinya bekerja di sana.Marhen berdiri di samping mobilnya, dengan senyum menyeringai. Ia sengaja menunggu anaknya setelah jam kerja usai. Ia hampir memeluknya, tapi gadis itu menjauh d
Setelah menghapus air mata, Riti mengambil sebuah celengan berbentuk guci. Masih ada sisa uang di dalamnya dan ia akan menggunakannya untuk membayar gelang pasangan yang ia beli pada Nena. Ia akan memberikan gelang itu pada Tama sebagai hadiah ulang tahunnya.Ia merasa bersalah telah menggunakan uang dari Tama untuk memberi hadiah pada Leri padahal, pria itu tidak pernah menghargainya.Riti biasa menabung kalau punya kelebihan uang, tapi ia juga—suka melubangi bagian bawahnya—guna mengambil kembali uangnya. Kalau sekarang ia mengambil dari lubang itu, Jasin akan menunggu terlalu lama. Itu celengan tanah milik kakek yang ia temukan begitu menempati rumahnya. Riti membawa benda itu di tangannya. Setelah mengunci pintu rumah, ia langsung berlari ke arah mobil yang pintunya sudah terbuka. “Apa itu, Nona?” tanya Jasin seraya menutup pintu setelah Riti duduk. Tentu saja ia sudah melaporkan semuanya pada Tama, tapi tidak dengan benda aneh yang dibawa istri majikannya. “Ini harta Ka
Riti segera bangkit dari duduknya, begitu melihat rapat itu bubar dan ia menyelinap ke ruangan lain di sebelah pintu ruang monitor. Ia tidak ingin ketahuan kalau dirinya mengamati aktivitas Tama dari ruang pribadinya. Dari tempatnya berdiri, Riti melihat beberapa teman Tama yang berjalan melewatinya sambil berkelakar satu sama lain. “Kapan kamu akan memperkenalkan ratumu dan mengumumkan pernikahanmu pada semua orang?” tanya salah seorang di antara mereka. “Ya, jadi kamu tidak perlu menghentikan rapat hanya karena ada masalah dengannya!” kata yang lainnya. “Aku pikir lebih baik dia disembunyikan saja, dari pada kamu harus menanggung risiko lebih besar kalau diketahui banyak orang!” “Hai! Itu benar dan kita tidak perlu rapat terlalu lama!” “Sebaiknya dia perlu ikut rapat dengan kita biar lebih seru, kalau dia bertingkah lucu!” Semuanya tertawa mendengar celotehan yang terakhir, tapi mereka tidak melihat bagaimana raut wajah kesal Tama hingga pria itu menegur mereka. “Ke
“Tidak juga! Coba pikirkan lagi, di mana yang aneh!” ujar Tama.Sejenak, kedua orang itu bertengkar, dan saling menyalahkan. Mereka seperti pasangan suami istri yang sudah lama membina rumah tangga yang terlibat perbedaan. “Tapi aku tidak mau pakai gelang yang tulisannya suami!” kata Riti tegas.“Memangnya kenapa, apa kamu malu kalau kamu sudah punya suami?” “Bukan begitu, tapi karena aku ini perempuan! Dan kamu juga tidak mengumumkan pernikahan kita, jadi itu tidak masalah!”Tama kembali diam, ia bukannya tidak mau mengumumkan pernikahannya, tapi Marhen yang menginginkan pernikahan itu hanya dilakukan diam-diam.Riti tersadar sejenak dan bicaranya berubah lembut, saat tiba-tiba ia mengingat ayahnya. “Oh iya! Aku ingatkan kamu, jangan dekat-dekat Ayahku, dan jangan pernah bekerja sama dengan dia lagi!” katanya. “Kenapa?” Riti diam mendengar pertanyaan Tama, ia tidak mungkin membeberkan prasangka buruk terhadap ayahnya.Bagaimana kalau ternyata semuanya tidak benar, baga
“Oh! Jadi begitu kisahnya?” “Ya!” Riti meraba-raba dinding dan melihat-lihat, “Aku pikir ada jalan rahasia lagi di sini,” katanya. “Ada! Aku akan mengatakan semuanya, pada orang yang mencintaiku apa adanya!” Tama berkata sambil melangkah mendekati tempat tidur. Oh ya Tuhan! Aku menyesal ... kenapa tidak dari dulu saja aku mengatakan cinta padanya? “Ada apa di sana? Apa kamu mau tidur sekarang?” tanya Riti. Kamar itu luas, bisa untuk melakukan beberapa hal seorang diri. Di sana tidak ada barang apa pun selain sofa tunggal yang sangat besar dan sebuah kasur tebal berwarna putih. Bagian plafon kamar juga tidak biasanya, bercat hitam. “Kemarilah!” kata Tama setelah ia merebahkan diri di kasur yang lebar dan empuk itu. Riti mengikutinya dengan ragu, tapi ia sudah siap dengan apa pun yang akan terjadi. Ia berpikir yang tidak-tidak untuk saat ini, bahwa keperawanannya akan segera hilang malam ini. Bahkan, ia sudah membayangkan rasanya seperti apa nanti. Tama mengecup kening Riti begi
Riti kembali memakai baju dan ingin segera membersihkan diri. “Sudah kubilang istirahat saja di rumah!” kata Tama melarangnya. “Tama, kamu tidak bisa sembarangan minta libur kerja pada perusahaan orang!” Riti menjawab sambil melangkah dan memeriksa dinding untuk mencari di mana pintunya. Namun, ia tidak menemukan juga dan menoleh pada Tama agar laki-laki itu mau menunjukkannya. Tama mengerti apa maksud Riti, ia berdiri dan memakai piama, laku memeluk Riti di dekat dinding. “Pejamkan matamu!” katanya. “Kenapa aku harus merem? Apa kamu tidak mau aku tahu di mana pintunya?” Riti menolak untuk memejamkan mata. Tama menggelengkan kepalanya dan berkata, “Bukan!” Lalu ia mencium bibir Riti dan menekan dua buah pedang—yang diletakkan secara bersilang pada dinding di atas kepalanya. Lantai tempat mereka berpijak tiba-tiba berputar, setelah itu dalam sekejap mereka sudah berada di luar kamar. Riti merasakan sedikit pusing karena kecepatan putaran, tapi akhirnya ia pun tahu alasan Tama y
“Tidak, terima kasih!” jawab Gani datar. “Maaf, Pak! Saya tadi terlambat!” “Tidak apa, lain kali jangan diulangi lagi!” Hanya itu yang ucapan pria itu dan berlalu dari hadapan Riti. “Baik, Pak!” Saat jam makan siang, Riti kembali menemui Marhen yang sudah menunggunya di tempat parkir. Pria itu sudah menghubunginya beberapa kali. Tak lupa ia menyimpan kartu kreditnya di laci meja, dan menyelesaikan masalah ayahnya sekarang juga. “Ayah tidak salah membesarkanmu!” kata Marhen begitu Riti berdiri di hadapannya. Ia mengajak anaknya bicara di tempat yang agak sepi. “Apa lagi yang Ayah mau dariku? Aku tidak punya apa-apa, sudah habis jiwaku terjual demi hutang Ayah!” “Aku lihat kamu baik-baik saja dan sepertinya Tama menyayangimu! Jadi, aku harap kamu tidak meminta sisa uang pembayaranmu!” “Apa aku tidak salah dengar? Jadi, karena Tama baik, maka Ayah tidak akan melunasi hutang Ayah padaku?” Riti berkata sambil tersenyum miris, ia berpikir mungkin laki-laki itu bukan orang tuanya. “Y