“Oh! Jadi begitu kisahnya?” “Ya!” Riti meraba-raba dinding dan melihat-lihat, “Aku pikir ada jalan rahasia lagi di sini,” katanya. “Ada! Aku akan mengatakan semuanya, pada orang yang mencintaiku apa adanya!” Tama berkata sambil melangkah mendekati tempat tidur. Oh ya Tuhan! Aku menyesal ... kenapa tidak dari dulu saja aku mengatakan cinta padanya? “Ada apa di sana? Apa kamu mau tidur sekarang?” tanya Riti. Kamar itu luas, bisa untuk melakukan beberapa hal seorang diri. Di sana tidak ada barang apa pun selain sofa tunggal yang sangat besar dan sebuah kasur tebal berwarna putih. Bagian plafon kamar juga tidak biasanya, bercat hitam. “Kemarilah!” kata Tama setelah ia merebahkan diri di kasur yang lebar dan empuk itu. Riti mengikutinya dengan ragu, tapi ia sudah siap dengan apa pun yang akan terjadi. Ia berpikir yang tidak-tidak untuk saat ini, bahwa keperawanannya akan segera hilang malam ini. Bahkan, ia sudah membayangkan rasanya seperti apa nanti. Tama mengecup kening Riti begi
Riti kembali memakai baju dan ingin segera membersihkan diri. “Sudah kubilang istirahat saja di rumah!” kata Tama melarangnya. “Tama, kamu tidak bisa sembarangan minta libur kerja pada perusahaan orang!” Riti menjawab sambil melangkah dan memeriksa dinding untuk mencari di mana pintunya. Namun, ia tidak menemukan juga dan menoleh pada Tama agar laki-laki itu mau menunjukkannya. Tama mengerti apa maksud Riti, ia berdiri dan memakai piama, laku memeluk Riti di dekat dinding. “Pejamkan matamu!” katanya. “Kenapa aku harus merem? Apa kamu tidak mau aku tahu di mana pintunya?” Riti menolak untuk memejamkan mata. Tama menggelengkan kepalanya dan berkata, “Bukan!” Lalu ia mencium bibir Riti dan menekan dua buah pedang—yang diletakkan secara bersilang pada dinding di atas kepalanya. Lantai tempat mereka berpijak tiba-tiba berputar, setelah itu dalam sekejap mereka sudah berada di luar kamar. Riti merasakan sedikit pusing karena kecepatan putaran, tapi akhirnya ia pun tahu alasan Tama y
“Tidak, terima kasih!” jawab Gani datar. “Maaf, Pak! Saya tadi terlambat!” “Tidak apa, lain kali jangan diulangi lagi!” Hanya itu yang ucapan pria itu dan berlalu dari hadapan Riti. “Baik, Pak!” Saat jam makan siang, Riti kembali menemui Marhen yang sudah menunggunya di tempat parkir. Pria itu sudah menghubunginya beberapa kali. Tak lupa ia menyimpan kartu kreditnya di laci meja, dan menyelesaikan masalah ayahnya sekarang juga. “Ayah tidak salah membesarkanmu!” kata Marhen begitu Riti berdiri di hadapannya. Ia mengajak anaknya bicara di tempat yang agak sepi. “Apa lagi yang Ayah mau dariku? Aku tidak punya apa-apa, sudah habis jiwaku terjual demi hutang Ayah!” “Aku lihat kamu baik-baik saja dan sepertinya Tama menyayangimu! Jadi, aku harap kamu tidak meminta sisa uang pembayaranmu!” “Apa aku tidak salah dengar? Jadi, karena Tama baik, maka Ayah tidak akan melunasi hutang Ayah padaku?” Riti berkata sambil tersenyum miris, ia berpikir mungkin laki-laki itu bukan orang tuanya. “Y
“Pram, Kamu ingat namanya Riti, kan?” tanya Listi. “Apa kamu mengenalnya?” Pram balik bertanya.“Tidak! ... Kalau tidak salah aku pernah melihatnya di Wisuda Sarjana Universitas Ilmuda Jaya!”“Wah, dia lulusan universitas itu?”“Hmm, bisa jadi!” Listi berkata sambil mengangkat kedua bahu, ia menuliskan sesuatu digrup percakapan keluarga.Dari percakapan antara Riti dan Marhen yang mereka dengar tadi, membuat Listi dan Pram mengambil kesimpulan sesuai perkiraan mereka sendiri-sendiri.Listi tahu satu informasi tentang proyek Tama yang bermasalah, dengan kontraktornya. Oleh karena itu ia bisa menyimpulkan jika yang dibicarakan antara ayah dan anak itu adalah Tama. “Ini berita yang menarik, bukan?” tanya Listi sambil tersenyum tipis.“Apa kamu sudah mengabarkan informasi pernikahan Tama?” sahut Pram.“Ya!” kata Listi terus menulis berita tentang Tama pada ponselnya.Kabar pernikahan Tama yang sembrono ini, akan semakin memperkuat opini semua orang tentang kejelekan perangai dan wajahn
“Kamu pikir, dia tidak akan datang ke acaraku lagi dan membuat onar? Apalagi sekarang dia sudah menikah ... aku yakin dia akan menunjukkannya!” “Apa maksudmu?” “Kamu ingat, waktu pertama dia muncul saat aku ulang tahun? Lalu, dia bilang sudah menguasai lima perusahaan juga, saat aku ulang tahun? Bahkan, dia membeli semua saham Haruna, saat aku ulang tahun! Lalu, rencananya tahun ini, mungkin dia juga akan datang dengan istrinya saat aku ulang tahun!” “Oh, jadi benar dia sudah menikah?” tanya Neli penasaran. “Ya, dan dia menikah diam-diam, mungkin dia akan datang saat ulang tahunku dengan membawa istrinya yang sedang hamil!” “Bukankah itu bagus?” “Neli ...! Apa kamu lupa apa yang dia inginkan kalau berhasil melakukan tantangan dariku?” Neli diam sejenak, setelah itu ia berteriak. “Oh ya, Tuhan! Aku lupa! Jangan Rodi! Jangan berikan tanah itu!” katanya, sambil mengusap wajahnya karena teringat perjanjian Rodi dan Tama tentang warisannya. Bagaimana mereka akan memberikan hadiah b
“Ya, kamu memang cerdas, Tama!” kata JasinTama masih ingat—di pesta ulang tahun Rodi malam itu—bagaimana Delizah memberontak dan berhasil melarikan diri, dari cengkeraman pengawal Brawijaya. Walaupun, ia ditodong dengan pisau, tapi Delizah justru berhasil menggunakan pisau itu, untuk melawan mereka.Sementara Tama dicekal oleh empat orang berbadan kekar lainnya. Kalau hanya melawan satu atau dua orang, Tama bisa mengatasinya sendirian, tapi melawan empat sampai enam orang sekaligus ia masih membutuhkan bantuan. Sementara ia tidak membawa pengawal karena tidak mengira akan diperlakukan demikian.Karena pergulatan sengit itulah, Delizah mendapatkan luka di wajahnya. Ia lalu kembali ke sisi Tama untuk membelanya, meski dengan wajah yang berlumuran darah. Ia melarang anaknya mengembalikan saham Haruna dengan cuma-cuma, kepada mantan mertua.Tidak ada orang yang menyangka akan kekuatan wanita yang terlihat tua itu, saat melawan pengawal. Kekuatannya muncul dan amarahnya meningkat begi
“Aku hanya ingin memastikan sesuatu, agar dia tidak macam-macam dengan Riti!” kata Tama sambil membuka pintu mobil. “Bagaimana dengan dirimu sendiri?” tanya Jasin. Tama tidak menjawabnya dan berlalu begitu saja. Ia berjalan dengan tenang memasuki pintu yang sudah terbuka, untuk menemui pemilik rumah. Para penjaga mempersilakannya masuk, setelah Tama mengenalkan diri sebagai anggota keluarga. Ia langsung duduk di kursi tamu, bersikap seolah-olah dialah pemiliknya. Walaupun, ia tidak pernah tinggal di sana, tapi rumah itu tempat tinggal ayahnya juga. “Ada urusan apa kamu ke mari?” tanya wanita paruh baya, dengan baju tidur yang masih melekat di tubuhnya. Ia biasa dipanggil Wisa. Sehari yang lalu, ia baru saja pulang dari luar negeri karena urusan bisnis, untuk mempersiapkan hari ulang tahun Rodi. Antara percaya dan tidak, ketika ia melihat Tama duduk dengan santai di ruang tamunya. Para pelayan sengaja membangunkan tidurnya karena Tama yang memaksa. Akhirnya setelah beberapa lama,
“Nenek!” seru Tama.Meskipun tidak suka, ia tetap bersikap hormat dan kembali duduk di kursinya semula.Wanita tua itu pun duduk dan langsung menyimpan tas mewahnya di atas meja. Lalu, meminta Tama melihat sebuah CD yang terlihat usang.“Apa itu?” Tama bertanya tanpa menyentuh benda yang ada di hadapannya, sambil bersandar dan melipat kedua tangannya di depan dada. Sebenarnya ia enggan.“Apa kamu tidak ingin tahu bagaimana kematian ayahmu? Dalam CD itu ada rekamanya!” kata Neli, ia sengaja menemui Tama dan sudah mencarinya dari semalam. Kebetulan ia melihatnya datang di restoran yang sama, untuk makan. Jadi, ia menunggu cucunya itu sampai selesai. Ia akan mencari dukungan dan berharap Tama berada dipihaknya.“Untuk apa?” Tama balik bertanya.“Aku merasa ada yang mencurigakan waktu terjadi kecelakaan itu, untungnya ada cctv di sana!” kata Neli mencoba meyakinkan Tama sebab selama ini tidak ada yang percaya, termasuk Rodi—suaminya.Tama memalingkan muka, dari pandangan wanita yan