PoV Jimy***"Loh, belain kapan lagi memang? Pernah bertemu dengan Mas Yanto sebelumnya juga?" selidikku. Mas Yanto nampak gugup."Em, bukan. Ya, lihat di pelaminan kamu itu waktu itu, kan? Dia belain dan fitnah Mas mati-matian. Mas malu, lah. Makanya Mas Hanya diam.""Oh begitu. Kirain Mas pernah godain Hanah lalu di hadang oleh dia." Aku menduga. Tapi tak mungkin. Sepertinya Mas Yanto memang tak mungkin mau dengan wanita itu. Dia tidak selevel dengan kami. "Oh ya, Mas? Bukannya orang tua Mas punya bisnis gitu, ya? Gak kerja disana, Mas?" tanyaku beralih tema. Mas Yanto nampak gelagapan lagi. "Em, ya, memang, cuma ... entah mengapa, usaha mereka juga mengalami kebangkrutan. Mereka terpuruk. Mas gak bisa bantu mereka karena skil Mas bukan disana. Kamu tahu, kan? Kalau skil Mas itu di kantor. Bukan di perkampungan. Usaha orang tua Mas 'kan itu di bidang peternakan." Kembali Mas Yanto menjelaskan.Aku mengangguk-angguk.***"Mas, aku mandi dulu, ya." Tika pamit ke kamar mandi. "Iya."
PoV Hanah***Hari ini aku dapat pesanan design pakaian untuk gaun pengantin dari Resti. Katanya, di launching yang akan di laksanakan beberapa bulan lagi, Resti berencana ingin tampilkan pula design khusus baju pengantin. Dan aku harus setor besok. Insyaallah aku akan coba kerjakan saja. Lagi pula, aku tak jadikan ini beban. Sebut saja sebagai teman sebelum tidur. Hanya, Minggu ini aku tak datang ke pengajian rutin karena gambarnya harus kukirim besok pagi. Kata Resti pengerjaan membuat baju pengantin itu lumayan lama. Tapi waktunya akan cukup. Entah kenapa Resti percaya aku sebagai pendesign untuk baju yang akan di tampilkannya.Goresan demi goresan kububuhkan pada sebuah kertas putih hingga menghasilkan sebuah sketsa yang sudah nampak sebagian. Belum sempurna.Tiba-tiba kerongkongan ini terasa haus. Mungkin karena terakhir aku minum setelah makan malam sebelum Afni dan ibu berangkat ke masjid.Segera aku bergegas ke arah meja makan. Disana sudah tersedia gelas dan poci berisi air m
"Hanah, aku rindu sentuhan ini."Teg!Berkali-kali kutelan saliva karena kaget. Dan kekagetan ini memuncak menjadi sebuah kepanikan."Jangan macam-macam kamu! Dasar lelaki bejad!" Bentakku. Kutodongkan telunjuk ini padanya. "Kita sudah tak muhrim lagi. Kamu sudah menalak aku. Ingat di depan minimarket itu 'kan, Mas?" Nadaku tak bisa pelan.Ia malah dengan santai mendorong tubuh ke kursi minimalis. "Jangan duduk. Pergi kamu!" Aku kembali mengusirnya."Hanah. Kita memang akan bercerai. Tapi ... kamu masih harus melayaniku. Seperti kamu melayani si pemilik hotel itu." Sambil bicara ia elusi dagunya. Penglihatan tajam penuh hasrat. Menggambarkan kalau dia adalah pria hidung belang."Jaga bicara kamu! Aku ini tidak serendah apa yang kamu pikirkan!" Kutatap dia dengan nanar. Lalu tubuh ini kubalikan ke gagang pintu, dan aku terus berusaha membukanya."Iih! Susah sekali!" Aku benar-benar kesal dengan pintu yang tak kunjung membuka. Darahku mengalir deras. Dag-dig-dug detak jantung sudah tak
"Mas? Kamu sudah ucap talak. Apa aku masih boleh melayanimu? Kalau masih boleh, aku akan melayanimu, tapi sepertinya sudah tak boleh."Ah, aku sudah kalap. Hanya itulah ideku supaya ia fikir aku mau melayaninya. Jadi aku bisa lebih tenang. Pun dengannya.Benar saja. Kepalan tangannya yang erat menggenggam kini sedikit melonggar. Aku harap ini berhasil."Ya! Kita belum talak tiga. Jadi kamu masih berkewajiban melayaniku." Dia bicara sambil menatap dua bola mata ini dengan liar."Benarkah? Bukannya ada yang bilang sudah tak boleh?" ujarku. Sejenak kuhela nafas panjang lalu tanpa sepengetahuan dirinya nafas ini berhembus."Ayok Hanah! Berfikir!" Bathin ini terus berkata kalau aku harus lebih tenang dan berfikir menghadapi laki-laki hidung belang seperti Mas Jimy.Air mataku menetes kembali. "Huhuhu. Mas ... aku sebenarnya masih ingin melayani kamu. Tapi aku ragu dan malu. Dan aku fikir setelah kamu talak aku, aku sudah tak bisa lagi melayani kamu. Huhuhu." Air mata buaya kumunculkan."He
PoV Hanah***Aku sejenak bersembunyi di balik bentengan sejenak mengatur nafas karena dada mulai sesak.Mas Jimy sudah keluar dari rumah, dia memanggil-manggil namaku. Sepertinya aku disini aman.Dia memang sakit. Dia bukanlah pria yang baik, bisa-bisanya setelah ia menikahi Tika, dia masih menemuiku diam-diam. Apa dia fikir aku wanita mur*h*n? Meskipun kami belum resmi bercerai, tapi kami sudah berpisah. Dia juga telah jatuhkan talak."Hanah!" Dia terus mendekat dan memanggilku. Malam amat sunyi. Tak ada orang yang mendengar teriakan semi pelan Mas Jimy. Aku sudah ketakutan.Mas Jimy benar-benar bej*d. Dia bisa saja tadi menyentuhku atau menyakitiku. Untung saja aku bisa berfikir untuk mensiasati akal bulusnya.Bluk!Meowng!"Aarhkh!" Tiba-tiba aku di kagetkan oleh seekor kucing yang tiba-tiba jatuh di hadapanku. Ini benar-benar membuatku kaget. Sontak kututup mulut ini."Hanah?"Nihil.Astaghfirullah! Mas Jimy mendengar aku yang berteriak. Dengan cepat aku segera berlari menuju ar
"Kami akan segera becerai, Pak. Tapi dia terus ganggu saya!" Aku dalam posisi masih di cengkram erat oleh Mas Jimy. Mereka berdua bingung."Pergi kalian! Wanita ini p*l*cur! Dia istri durhaka. Atau kalian pelanggan wanita ini! Kalau begitu kalian akan saya laporkan dan saya basmi!" Dua orang pria itu malah makin kaget dan ketakutan. Mereka sepertinya percaya dengan ucapan Mas Jimy."Bohong! Tolong saya!" Aku terus meminta pertolongan mereka. Tapi mereka berdua malah diam saja. Seperti ingin berbuat sesuatu tapi ragu."Ah sudahlah. Ayok, jangan sampai kita kena imbas. Ini urusan rumah tangga!" Seorang pria satu lagi malah memilih untuk meninggalkan kami. Ah, ini semua gara-gara omongan Mas Jimy. Mereka pasti percaya saja."Tolong say, Mas. Orang ini jahat!" Aku terus memaksa meminta pertolongan. Nihil."Pergi! Atau kalian akan kuhabisi!" Ancam Mas Jimy. Mereka berdua pun terbirit-birit pergi dengan roda dua yang jadi kendaraan mereka. Pasti dengan melihat bola mata Mas Jimy yang memb
"Astaghfirullah! Hanah? Kamu darimana? Kok datang lari-lari seperti itu?" Ibu dengan cemasnya bertanya setelah aku tiba di rumah dengan nafas ngos-ngosan karena tadi berlari lumayan jauh.Aku fikir ibu dan Afni belum pulang. Sejenak kuatur nafas ini untuk menjawab pertanyaan ibu."Ini, Nak, minum dulu." Ibu bergegas membawakan segelas air putih untukku. Ya, aku memang haus. Segelas air putih sudah berpindah dari lengan ibu ke lengaku.Dada ini masih naik turun. Aku melihat tatapan ibu yang penuh dengan raut kekhawatiran juga penuh dengan raut penasaran."Kamu kenapa? Darimana? Dan pintu rumah ini kebuka loh, Han, juga pintu belakang. Apa ada penjahat masuk ke rumah?" Ibu gelagapan bertanya. Mungkin ia terlalu khawatir."Kamu tidak apa-apa kan, Han?" Ibu kembali bertanya. Mulut ini masih belum bisa membuka untuk menjelaskan. Nafas pun masih kuatur."Ibu? Ibu kenapa?" Anakku pun terlihat khawatir. "Ibu di sakiti orang?" Imbuhnya lagi. Kini Afni duduk di sampingku. Lalu ia memelukku."Sa
"Oh, ya, besok sidang perdana kamu, Han. Om Satria juga sudah siapkan semuanya." Resti angkat bicara lagi. Setelah kami selesai membahas soal design, kini beralih tema."Iya." Aku menjawab.Resti elus lenganku. "Yang tabah ya, Han. Kamu pasti dapatkan yang lebih baik dari Jimy. Semoga Jimy juga tidak mempersulit persidangan besok. Tapi aku yakin om Satria bisa atasi itu."Terfikir."Pak Satria?" Bathinku kaget. Nada suara Pak Satria secara otomatis langsung teringat. Memori otak ini dengan cepat memutar."Han?" Resti memecah lamunanku."Eh iya. Aku harap juga begitu. Tapi ... yang paling penting sekarang aku bisa sekolahkan Afni sampai ke jenjang yang tinggi. Supaya ia tak di rendahkan sepertiku, Res," jelasku dengan raut wajah sendu."Aamiin. Aku akan selalu doakan kamu." Kuanggukkan kepala ini beberapa kali dengan semaikan senyuman pula."Besok kamu mau bareng sam om Satria sama aku atau gimana?" tanya Resti."Loh, sama kamu? Kamu mau ikut?" tanyaku balik."Iya, mau temenin.""Gak k