Suara asisten kepercayaanku tercekat di ujung sana, mungkin terperanjat mendengar nada bicaraku yang tak biasa.
"Iya Bu, ada masalah dengan produk kita. Sejak tadi banyak pelanggan komplain. Katanya wajah mereka jadi break out."Tamat sudah!Bisnis kecantikan memang sangat menguntungkan. Bayangkan saja, serum yang modalnya cuma dua puluh ribu bisa dijual hingga delapan puluh bahkan seratus ribu. Tapi sekali ada masalah siap-siaplah gulung tikar. Kepercayaan konsumen sukar dikembalikan.Saking kagetnya dengan perkembangan tak terduga ini buku-buku jariku sampai menegang lantaran mencengkeram ponsel terlalu kuat."Batch berapa yang bermasalah?" Kataku lagi harap-harap cemas."Batch terakhir, Bu."Kalau batch terakhir, itu berarti masalah terjadi waktu aku sedang tak siuman di apartemen Hartono. Sepertinya cuma dua minggu aku tak memantau G&G, dan situasi langsung kacau begini."Ya sudah, aku segera ke sana.""Kenapa? Awak tak ada waktu, ke?" Suara di seberang sana kembali mendesak ketika didengarnya tak ada respon apapun dari mulutku. Kubasahi bibir yang mendadak terasa kering. "Okay. Saya akan kesana sekarang. Dua puluh menit lagi nyampe."Lekas kututup panggilan itu lalu mengambil compact powder dan lipstik guna merapikan wajahku yang acak-acakan. "Mau kemana lagi, Dek? Masalah kita belum kelar lho di sini." Suara Sally menyentakku kembali ke alam nyata. "Sebentar Kak, mau ketemu teman."Jawabanku sukses bikin Sally menganga tak percaya. Manusia mana yang masih sanggup hang out di tengah situasi genting begini. Jadi sebelum bibir merahnya mulai menyemburkan lahar panas, buru-buru kujelaskan alasan kepergianku. "Temanku ini orang kaya Kak. Siapa tahu dia bisa bantu kita. Do'akan aku ya..." Awalnya Sally menatapku skeptis. Namun melihat kesungguhan di mataku dia jadi luluh juga. "Ya udah, kalau gitu. Tapi jangan lama-lama ya, pusing lho aku menghadapinya sendiri.""Siap Boss." Aku ba
"Ehem." Bibi Yue terbatuk pelan untuk menutupi suasana kikuk kami. "Silakan Mr. Yeoh, saya yakin Anda pasti sibuk. Sampaikan salamku pada bibimu, Eleanor."Mendengar nama Eleanor disebut, mendadak aku ingat rasa dejavu yang kualami waktu di acara banquet kemarin. Pantas saja. Ternyata beliau kerabat Steven. "Baik Ayi." Steven menyahut lalu menatap kami berdua sekilas, "kalau begitu aku pergi dulu," pungkasnya lalu beranjak. Tak menoleh lagi. Selepas kepergian Steven, kudengar Rieny menggerutu. "Hmm, dasar sombong, dikira sangat hebat.""Jangan begitu. Dia memang selalu sibuk. Lagipula, laki-laki hebat macam dia memang punya hak untuk sombong." Bibi Yue, dengan suara lembutnya menyahuti perkataan Rieny. Aku tak tahu, apa memang Bibi Yue benar-benar baik, atau cuma ingin membuat orang lain terlihat lebih buruk. Pasalnya dari dua kali pertemuan kami, beliau selalu berperan jadi protagonisnya. Teguran halus dalam suara Bibi Yue bikin Rieny jadi urung melanjutkan protesnya. Tak lagi ber
Lihat betapa lancang wanita ini! Kenapa aku yang mesti mengenalnya sementara dia tak perlu mengenalku? Semakin banyak saja manusia aneh belakangan ini. Tapi tunggu! Cara bicara dan nada suaranya betul-betul mengingatkanku pada perempuan menyebalkan lain yang baru-baru ini kutemui. "Apa kamu... Cecilia?" Tebakku asal"Hah! Akhirnya kamu tahu. Selain rubah, kamu lemot juga ternyata. Entah apa yang bikin Hartono memilihmu."Ah, jadi ini masalahnya. Pemahaman ini membuat hatiku yang remuk tadi seketika jadi lega. Ternyata di dunia ini masih ada tempat untukku. Ada waktunya perempuan tanpa harta dan background mentereng menang melawan dunia. "Sebaiknya kamu marah sama Hartono bukan sama perempuan lemot kayak aku, iya kan?""Hmph, siapa yang tahu trik macam apa yang dipakai rubah ekor sembilan macam kamu hingga Hartono jadi tak waras. Unbelievable! Disgusting!" Serunya dari seberang sana. "Apa kamu mau
"Mei Ling gadis yang baik hanya saja dia ada di tempat dan situasi yang salah."Hartono memulai ceritanya dengan pembukaan yang cukup baik. Dari caranya bicara, sepertinya Mei Ling ini pribadi yang menarik, kalau bukan punya tempat istimewa di hati suamiku. Dan ini sukses bikin pikiranku yang dangkal agak tak nyaman. "Waktu menikah, aku masih sangat muda. Cuma dua puluh tiga tahun sedangkan dia dua puluh tahun. Pernikahan kami semata-mata demi langgengnya kerjasama antara Lim dan Zhang. Dalang dari semuanya tentu saja Lin Hua."Cara Hartono menyebut nama kecil nyonya Lim -- Lin Hua -- begitu gamblang cukup menunjukkan berapa rendahnya posisi nyonya Lim di hati suamiku saat ini. Lin Hua dan Mei Ling memang sama-sama dari keluarga Zhang. Mei Ling sendiri adalah putri bungsu dari kakak laki-laki nyonya Lim. Mengingat betapa benci nyonya Lim pada Hartono namun sanggup menikahkannya dengan keponakan kandung beliau menunjukkan beta
Setelah kata-kata laknat itu terucap, aku menyesal, nyaris seketika. Aku sudah menantang maut kali ini. Kemarin waktu dalam kamar siksaan, aku memang tak takut mati. Tapi sekarang begitu kehidupan kembali normal beda lagi ceritanya. Sifat dasarku sebagai manusia -- serakah -- membuatku tak cuma ingin hidup. Kehidupan yang lebih baik, tepatnya. "Apa kau yakin?"Kudengar suara Hartono berujar. Pelan. Mematikan. "Ak-- aku cuma...""Kemarikan ponselmu." Dia menyahut tak terbantahkan. Meski kesal setengah mati, aku memilih patuh. Kulemparkan benda mungil itu di depannya sebagai upaya protes kecil-kecilan. "Persis bocah." Geramnya kesal namun tetap mengambil ponsel yang terletak mengenaskan itu.Sejurus kemudian dia sibuk mengutak-atik sesuatu di ponsel itu. Penasaran dengan tindakannya, aku menjulurkan leher lebih tinggi. Ternyata Hartono sedang sibuk memeriksa laporan transaksi akun bank-ku.
Kulihat ada pergolakan di mata Joyce. Dan aku tak kaget. Pasalnya sosok ayah yang selama ini dia banggakan ternyata cuma seorang pembunuh, kebenaran pahit yang sudah pasti menggoreskan luka di hati anak manapun. "Aunty tahu ini berat, tapi setiap orang layak diberi kesempatan, Nak." Ucapku sambil berjongkok hingga wajah kami sejajar. "Baiklah Aunty. Tapi aku tak bisa janji bisa... memaafkan daddy."Kutatap wajah putri tiriku lekat-lekat. Keseriusan di matanya sanggup membuat manusia dewasa macam aku pun jadi salah tingkah. Betapa kuat auranya. Kuharap kelak ketika dia dewasa bisa ketemu pria yang tidak terintimidasi dengan auranya. "Baiklah, asalkan kamu mau bicara dengan daddy."Setelah mendapat persetujuan Joyce, kami berjalan beriringan ke mobil yang sejak tadi sudah stand by dengan mesin menyala. Nampaknya Hartono paham aku sedang bicara serius dengan Joyce, makanya dia sabar menunggu. "So lo
Setelah permintaan singkat yang menyerupai perintah itu, kedua bocah mulai mengikutiku masuk ke dalam rumah dengan langkah terseok, mungkin lantaran lelah dan sedih. "Jie, Aunty mau bawa kita kemana, coba?""Mana kutahu.""Harusnya Jiejie tahu, kan yang paling besar.""Nonsense. Apa hubungannya coba?"" ... "Seraya berjalan kudengar kedua bocah itu mulai berdebat lagi, perdebatan yang dipicu hal sepele seperti biasa. Aku cuma diam sambil mendengarkan. Kalau perdebatan mereka masih dalam batas wajar, biasanya kubiarkan saja. Anak-anak perlu belajar untuk mengatasi konflik mereka sendiri. Lagipula kelak bila sudah dewasa, pertengkaran kecil ini akan jadi salah satu kenangan manis yang mengundang tawa. "Baik anak-anak, sekarang waktunya untuk.... Kejutannn!" Seruku dramatis sambil menunjuk dinding di sisi kananku. Kedua bocah berhenti dari perdebatan mereka dan menatap dinding yang tadinya k
Mampus! Aku makin galau sekarang. Kadang-kadang aku heran dengan kemampuan cenayang Hartono. Dia selalu bisa menebak apa yang kupikirkan dan apa yang hendak kulakukan. Kemampuannya ini jadi bikin firasat jelek timbul dalam pikirannku. Jangan-jangan Hartono sudah meretas semua alat komunikasiku. Dan itu sangat menakutkan! "Aarrggghh!" Seruku frustasi. Disebabkan rasa kesal dan lelah, kumatikan ponsel lalu kulempar sembarangan di atas ranjang. Sesudahnnya kubaringkan tubuh begitu say tanpa repot-repot mengganti pakaian atau ritual perawatan wajah yang kerap kulakukan. Kucoba memejamkan mata namun kantuk tak kunjung datang. Otakku masih terpikir dengan pesan Sally tadi. Rasa-rasanya aku sudah jadi anak durhaka. "Persetan." Gumamku lagi. Besok aku bisa kesana setelah mengantar anak-anak. Semoga saja ibuku tak sedang bersandiwara. Kalau tidak, siap-siaplah uang bulanannya kupotong. Untuk sekarang, i