Damian masuk ke dalam ruangannya, sebuah ruangan yang diisi dengan meja, kursi tinggi dan empuk. Disisi meja ada sebuah lemari dan lemari kabinet. Lemari berisi photo, piagam, piala dan buku-buku, sedang lemari kabinet berisi data data manual kasus-kasus yang diurutkan berdasr abjad dan nomor. Lalu, setengah meter dari depan meja ada sofa dan meja pendek.
Ruangan kerja Damian disekat oleh meja kaca sehingga dia bisa melihat sekretarisnya, Titania sedang sibuk menghadap ke depan komputer dan tengah mengetik.
Damian meletakkan tas kerjanya di atas meja, dipandangnya Steve yang sudah mengulum senyum dengan alis mata yang digerak gerakkan.
"Gimana perjalanan lu bos?" Tanya Steve langsung Nyamber.
"Capek. Nyetir dari Garut ke Jakarta sendirian bikin kaki pegel," jawab Damian sambil memencet telepon yang terhubung ke sekretarisnya.
"Tit, tolong buatkan kopi, dua," sahut Damian.
"Iya pak," jawab Titania.
Damian melepaskan tombol penghubung dengan sekretarisnya, lalu kemudian duduk di atas kursi direkturnya.
"Lu enggak ada klien Steve?" Tanya Damian yang langsung dijawab dengan decakan lidah oleh Steve.
"Ada, gue ada janji sama pak Darmaji, nanti jam 1 siang. Mumpung gue ada waktu mau ngobrol ngobrol santai sama lu bro. Soal rencana malam nanti nyari setetes surga,"
Steve menggunakan kata 'setetes surga' untuk menggambarkan kegiatannya mencari kesenangan malam di ibu kota.
"Memangnya ada tempat yang asyik?" Damian menyahuti.
Harus diakui, yang memiliki informasi tentang dunia malam dan para kupu-kupunya adalah Steve. Lelaki satu ini, yang merupakan kolega Damian, sekaligus bawahannya-karena secara herarki, Damian yang memiliki kantor advokat Rajasa dan dia mengajak beberapa pengacara untuk bergabung dengan kantor advokatnya. Salah satunya Steve, kawan di bangku kuliah yang bandelnya memang sudah mendarah daging.
Mendadak pintu ruangan di ketuk. Damian berujar, "masuk," pada sisi pintu. Lalu, pintu tersebut terbuka. Titania masuk sambil membawa nampan dan dua gelas keramik kopi yang mengepul ngepul.
Titania meletakkan dua cangkir kopi hitam di atas meja, lalu pergi keluar ruangan lagi. Sempat Steve melirik ke arah pinggul Talita yang kecil.
Ketika sekretaris Damian itu sudah kembali keluar, Steve secara serampangan berkomentar, "elu enggak tertarik sama tita? Bodynya lumayan. Walau terlalu tipis menurut gue, tapi kadang body tidak menentukan bagaimana cara main, ya kan?"
"Elu bagusnya ayak dulu omongan sebelum dilempar. Dia sekretaris yang gue bayar secara profesional."
"Memangnya perempuan perempuan itu enggak lu bayar secara profesional. Kau kan bilang, mereka juga kerja, dan harus melakukan secara profesional," Steve tertawa sendiri dengan ucapannya.
"By the way, si Anggela itu profesional kan?" Selidik Steve. Sebenarnya dia penasaran sekali tentang apa yang terjadi semalam antara Damian dan Anggela, apalagi Damian sampai bilang mau menghancurkan perempuan itu.
Setahu Steve, Damian tidak pernah meremehkan sebuah pekerjaan dan menghargai dedikasi seseorang pada pekerjaannya, bahkan termasuk para kupu-Kupu malam, toh mereka juga salah satu pengguna jasanya. Namun, Sampai dia marah sekali, Steve jadi penasaran apa perempuan 1000 dolar itu menyinggung Damian.
Mendengar pertanyaan Steve Damian menggerakkan tangannya, "menurut gue, dia tidak profesional," ucap Damian singkat.
Mana mungkin dia bilang pada Steve bahwa pelayanan gadis itu luar biasa sampai membuatnya menginginkan Anggela melebihi biasanya.
"Ya udah, lupain aja yang itu, pokoknya Gue ajak elu ke tempat yang oke," ucap Steve berjanji.
"Di mana?"
Steve nyengir, memperlihatkan giginya yang tertata rapih. "Pokoknya Ada, mantep tempatnya," ucapnya sambil mengerling ke arah Damian.
"Gue lagi males ke spa atau main karakter,"
"Iya, iya. Ini bukan yang itu, ini tempat lain. Sebenarnya bukan tempat aneh sih, kita juga pasti udah kenal lah, cuma gue denger tempatnya tersembunyi, jadi bikin tambah penasaran kan?" Cerita Steve sambil menyesap kopinya.
Damian melirik arloji miliknya, branded ternama, terbuat dari lapisan emas. "Jam 9 oke, gue ada makan malam sama bonyok," ucap Damian sambil mengangguk ke arah Steve. Mata Damian sudah mengarah ke pintu, cara mengusir halus Steve untuk pergi dari ruangannya.
"Bentar bos, gue belum kelar ngopi nih."
"Gue ada janji." Sahut Damian, yang langsung menekan tombol telepon yang tersambung dengan tempat Titania, "Tita, Ibu Marnis sudah datang?"
"Belum pak," sahut Titania dari tempat duduknya.
"Tuh, tamu elu aja belum datang, biar gue ngopi-ngopi cantik dulu Napa?" Sahut Steve sambil mengambil kembali cangkir kopinya, menikmati lagi sesapan dari kopi tersebut.
Damian geleng-geleng kepala.
Mereka bercakap cakap sampai Tita, dari meja sekretarisnya memberi kabar bahwa tamu Damian sudah datang.
Mau tidak mau Steve menyingkir sambil menggerakkan mulutnya tanpa suara pada Damian sambil mengetuk jamnya. Mengingatkan Damian tentang janjinya untuk pergi nanti malam. Damian hanya mengangguk sekilas sambil mempersilahkan kliennya masuk.
**
Tepat jam 9 Steve menjemput Damian di hotel horison. Sebelumnya Damian makan malam dengan ayah dan ibunya, dan ketika jam menunjukkan pukul sembilan, Damian pamit dan pergi dengan Steve. Mereka menelusuri jalanan ibu kota di malam hari, dimana pendar pendar cahaya menghiasi sepanjang jalan.
Keduanya masuk ke dalam sebuah pelataran gedung yang terlihat tidak terawat dan terbengkalai, dimana kondisi lampunya temaram. Ada seorang penjaga yang berjaga di gedung tersebut.
Setelah melewati penjaga mereka berhasil masuk ke dalam gedung. Kondisi penerangannya buruk sekali. Damian mengikuti langkah Steve yang sudah berjalan di depannya sebagai penunjuk jalan. Mereka memasuki lorong yang awalnya sepi, lalu perlahan ketika lorong semakin ke dalam tampak pemuda pemudi saling berpelukan di sisi tembok.
Lampu mulai terlihat terang walau untuk ukuran mata, masih buram. Lalu mereka sampai di sebuah ruangan. Di depannya dua orang bertubuh besar dan kekar berjaga di depan.
"Tifani," ucap Steve pada kedua orang tersebut. Mendengar ucapan Steve, lelaki itu langsung menyingkir dari depan pintu sambil membuka tali yang seolah dipagari di depan pintu.
Damian mengikuti langkah Steve masuk, lalu ketika dia melangkahkan kaki ke dalam ruangan, sekali lagi mereka dihadapkan pada lorong. Cahaya terlihat menyala dari ujung lorong.
Ketika akhirnya Damian dan Steve berhasil sampai di depan pintu keduanya langsung disambut oleh sebuah lantunan lagu yang keluar dari sebuah grand piano.
Ruangan masih remang remang, tapi mata Damian bisa melihatnya. Pojok dalam, tampak sebuah panggung kecil dengan tiang tiang di sisi-sisinya.
Damian menatap ke arah Steve dan menepuk bahunya, Steve yang sedang mengedarkan pandangannya mencari kursi yang tepat, langsung menegokkan kepala ke arah Damian.
"Ini?" Damian membulatkan mata.
Steve tersenyum, "kau pasti suka. Walau kita pernah mendatangi tempat serupa, tapi tempat ini katanya spesial, terutama hari ini." Sahut Steve sambil mengedipkan matanya sebelah, lalu kemudian dia berjalan masuk ke dalam ruangan.
Lantunan lagu yang terdengar dari grand piano kini mulai berubah ritme.
Steve berjalan masuk ke dalam ruangan, diikuti oleh Damian. Mereka mengambil posisi paling pinggir, karena posisi depan sepertinya sudah diisi oleh orang lain.Di depan mereka sebuah panggung yang memanjang. Posisi panggung memiliki posisi lebih tinggi dari tempat mereka duduk. Di atas panggung ada lima buah tiang yang menjulang dan berkilat bisu. Di ujung panggung, seseorang sedang memainkan musik menggunakan grand piano, sesuatu yang tidak umum ditempat tersebut. Dihadapan piano ada sebuah tirai yang menutup, sepertinya merupakan tempat untuk keluar, atau mungkin untuk tempat untuk masuk para penari yang sudah beraksi.Damian tahu tempat apa itu. Itu adalah tempat bagi penari striptis, atau sebutan lainnya penari telanjang di tiang. "Kukira apa, ternyata penari tiang," bisik Damian pada Steve.Steve menoleh ke arah Damian, mengulas senyum, "gue tahu elo khatam yang beginian, tapi gue jamin, yang ini beda," ucap Steve sambil menjilat bibirnya yang terasa kering."Apanya yang beda?"
Damian menengok ke arah Steve yang terlihat terpesona dengan cara penampilan Anggela yang tidak biasa. Muncul dengan gaun lebar, lalu melepasnya dengan drastis, seperti sulap. Gadis itu membuat banyak lelaki terpukau dengan performance nya yang spektakuler.Kini Anggela menari ditengah para penari lain. Gadis itu menaikkan pinggulnya, meninggikan dagunya, dan meliuk ke bawah ke atas.Empat gadis lainnya melakukan hal serupa, meliuk dengan gerakan sama, menciptakan harmoni indah para wanita penari tiang. Dilantuni dengan denting piano yang naik dan tinggi, mengikuti gerakan penari yang kadang perlahan, kadang cepat."Penampilan yang epik," bisik Steve menengok ke arah Damian. "Aku suka perempuan berambut merah itu!"Damian merasa ada api yang membakar hatinya, seperti sebuah perasaan cemburu. Dia tidak menyukai Anggela menunjukkan keelokan tubuhnya dihadapannya para lelaki mata keranjang ini.Namun, memangnya siapa Damian. Dia pun sama, penikmat surga dunia.Steve yang tidak menyadari
Anggela lihat bemper mobilnya dan cukup puas ketika mengetahui bahwa mobil miliknya baik-baik saja. Sekarang gadis itu menatap ke arah mobil yang berhadapan dengan mobilnya dengan sisi mobil sedikit miring. gadis itu meletakkan dua tangannya ke pinggang. siluetnya sempurna sangat indah, bisa membuat lelaki manapun meneguk ludah memandangnya.Damian yang melihat perempuan obsesinya itu, Dengan cepat turun dari mobil."Anggela!" Panggil Damian dengan cepat. jantung lelaki itu terpompa cepat, timbul hasrat luar biasa seperti hendak meledak dalam dadanya.Anggela menengok ke arah suara yang memanggilnya, tangan perempuan itu terlipat di depan dada. Melihat sosok Damian, kepalanya meneleng ke arah kiri, alis Anggela terangkat sebelah, "iya?""Aku sudah mencarimu kemana-mana, dan aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini.""Apa aku mengenalmu?" Anggela bertanya heran, melihat ada seseorang yang memanggil dan sok akrab dengan dirinya."Kau tidak ingat aku?" Damian melotot, tidak perc
Tik tok, detik jam terdengar menggema dalam kepala Damian. Pemuda itu membuka tangannya dan melihat jam berapa ini? Sudah jam 9 malam, dia ketiduran menunggu.Damian mengeram, merasa marah dan seperti terbakar. Lalu, di teleponnya Steve."Ya bos?" Steve menyahuti dari sebrang sana. Saat ini dia sedang mengetik di depan laptop, memeriksa berita acara untuk persidangan mendatang. Kebetulan jadwal sidang Minggu depan dan dia ingin memiliki persiapan maksimal."Lu lagi apa?""Gue lagi baca untuk kasus Pak Anggara. Sidangnya Minggu depan, kalau tidak ada persiapan bisa gawat.""Oh," Damian ingat, kasus hak waris dari sebuah keluarga kaya. Sudah masuk persidangan, tinggal tunggu waktu saja."Gimana bos? Udah kelar ngeluarin tai macannya?" Tanya Steve meledek. Damian tertawa hambar. Antara dia dan Steve, mereka selalu menyebut acara klimaks dalam penyatuan antara lelaki dan perempuan sebagai istilah ngeluarin tai macan. Istilah itu sudah digunakan sejak jaman kuliah. Kode yang hanya mereka
Anggela menatap lelaki dihadapannya, sedikit merasa heran ketika melihat sikap dingin dan tak acuh dari lelaki di hadapannya. Kemarin lelaki ini mengemis satu malam dengannya, sekarang sikapnya sungguh sombong sekali.Anggela lalu hendak menuju interkom yang dipasang di dinding ruangan tersebut, hendak meminta agar memasang lagu. Tapi Damian menghentikannya."Tidak perlu lagu, aku ingin kau menari tanpa musik."Anggela menatap ke arah Damian, sedikit bingung, tapi Anggela langsung memperbaiki emosinya. Anggela terbiasa menguasai diri, dia tidak Sudi memperlihatkan sisi hatinya pada siapapun.Gadis cantik itu mengangguk. Dia lalu membelakangi Damian. Mula-mula punggungnya bergoyang dengan nada patah-patah. Dari bagian bawah, lalu goyangannya naik ke atas. Anggela masih memunggungi Damian. Kini damian menaikkan satu kakinya ke atas pahanya sendiri, menikmati pertunjukan dari perempuan yang dibenci dan diinginkan sekaligus. Perasaannya yang sungguh-sungguh rumit.Anggela memutar lehernya
"Show me," Anggela kini meletakkan dua tangannya dipinggang, dengan kaki yang dilebarkan dengan mengenakan hak tinggi, membuat tampilannya begitu menggoda.Damian berdiri, memperbaiki dasinya, lalu mendekat ke arah Anggela, "aku tahu, bagimu uang bukan segalanya, jadi apa yang membuat mu tertarik, aku memikirkannya dengan seksama." Damian mengetuk ujung jarinya ke arah dahi.Anggela mengangkat dagunya, mulai terlihat tertarik."Jadi, nona Anggela, aku ingin kau jadi istriku. Aku akan menyayangimu setiap hari. Memenuhi semua kebutuhanmu. Kau hanya perlu menghangatkan aku setiap malam. Kurasa ini perjanjian yang bagus,"Anggela membelalakkan matanya, dan ini pertama kali Damian melihat emosi terpampang dihadapan gadis nan misterius ini.Damian mendekat, menyentuh pipi gadis dihadapannya. Mata Anggela seolah menggambarkan beragam perasaan yang tidak terbaca. Lalu, gadis itu melipat tangannya di dada."Kukira anda mau ngomong apa....""Kau tidak perlu lagi melayani lelaki lelaki lain, cu
Damian menatap ke arah kertas kertas di hadapannya, itu adalah berkas kasus yang tengah dipelajarinya. Saat dia tengah konsentrasi menatap ke arah kertas tersebut, pintu ruangannya diketuk dari luar.Damian mengangkat kepalanya, "masuk," ujarnya.Pintu terbuka, dari balik pintu sebuah kepala menyembul sambil melebarkan senyum."Bro, mau makan siang bareng nggak?" Tanya Steve.Damian melirik arloji di balik kemejanya. Jam kritis waktu untuk istirahat."Gue enggak. Ada berkas kasus yang harus gue pelajari. Pesan saja."Steve sedikit manyun, lalu kemudian dia berkata lagi, "Ya udah, gue duluan kalo gitu." Steve menunjukkan jempolnya ke arah Damian, lalu kemudian pintu di tutup kembali.Damian lalu memencet tombol telepon yang menghubungkannya dengan sekretarisnya, Titania."Ya pak?" Suara Titania terdengar lembut."Tit, tolong pesenin makan ya, yang biasa." Ucap Damian."Baik pak," jawab Titania.Damian menunggu pesanan makanannya sambil membuka-buka lembar kertas, memberi content pada s
Rama mengawasi ekspresi Damian yang terlihat berubah. Sebagai seorang yang bekerja di bidang penyelidikan, memerhatikan raut wajahnya seseorang merupakan bagian dari pekerjaannya."Kenapa Dam? Elu kenal?" Rama langsung menyahuti ketika melihat Damian terpaku sejenak. Damian mengangkat wajahnya, ragu apa sebaiknya dia menginformasikan hal yang dia tahu. Tapi kalau itu dilakukannya, bisa-bisa tempat tersebut digerebek. Kalau sudah begitu akan banyak yang dirugikan. Dirinya, Anggela dan tentu lelaki yang memiliki hasrat yang sama dengan dirinya.Lagipula, tanpa informasi dari Damian juga pasti Rama cepat atau lambat akan mendapat petunjuk tentang tempat rahasia itu. Kalau sudah begitu, sepertinya rencana menjemput Anggela harus dipercepat. Bila perkiraannya tidak salah, semua orang di tempat itu pasti akan diinterogasi. "Enggak, gue enggak kenal. Kasihan saja masih muda, tapi sudab meninggal, pasti banyak impiannya yang belum terkabul. Dia mati karena apa?" Damian menjawab cepat setela