Share

Bab 11

Winda tahu bahwa, dengan cara kerja otak Hazel yang begitu lambat, dia pasti masih tidak paham. Jadi, dia langsung mengubah topik pembicaraan, "Hazel, sudah jangan dipikirkan. Hari ini kita minum sampai mabuk."

Hazel mengangguk kuat-kuat, lalu menenggak minumannya. "Ya. Bersulang!"

Di dunia ini adalah banyak pria, tidak sepadan kalau dia harus merasa sedih hanya karena seorang bajingan seperti Justin.

Hazel melakukan pertunangan itu juga bukan karena dia mencintai Justin, tetapi karena itu adalah keinginan ibunya yang sudah meninggal.

Namun saat di mobil barusan, Hazel berpikir cukup lama. Ibunya memilihkan pasangan untuknya karena ingin Hazel memiliki seseorang yang bisa melindunginya dan menemaninya menjalani kehidupan yang damai.

Namun, Justin tidak bisa memberikan semua itu kepada Hazel. Sebaliknya, dia malah menyakitinya.

Dengan begitu, pertunangan ini telah kehilangan makna aslinya.

Hazel yakin kalau ibunya akan menghormati keputusannya.

Minuman yang dipesan Hazel memiliki kadar alkohol paling rendah, jadi menyisakan sedikit rasa manis di mulut. Karena enak, Hazel meminumnya beberapa gelas lagi.

Setelah meminumnya, dia juga menjilat bibirnya tanpa ragu, seperti kucing yang telah mencuri ikan.

Dia terlihat sangat cantik, terutama matanya. Karena mabuk, tatapannya sedikit kabur, memberikan kesan polos dan naif. Ini memberikan pesona berbeda dalam diri Hazel.

Bahkan di bar yang remang-remang, orang-orang tidak bisa mengalihkan pandangan mereka dari sosoknya.

Banyak orang di sekeliling yang memperhatikan Hazel, ingin menghampiri dan berbicara dengannya.

Namun sebelum bisa bertindak, mereka melihat seorang pria dengan temperamen dingin dan wajah tampan tengah berjalan mendekat.

Status pria itu sekilas terlihat tidak biasa. Mereka yang barusan memiliki pemikiran bodoh langsung mengurungkan niat mereka.

Hazel merasakan gelombang panas melonjak di pipinya, perlahan, lalu berubah menjadi seperti gelombang yang mengamuk.

Pemandangan di depan matanya juga mulai goyah dan kabur.

Tiba-tiba, rasanya seperti ada suara lembut dan rendah yang memanggil namanya.

"Hazel?"

"Hmm?" Hazel menjawab secara naluriah, lalu perlahan membuka matanya.

Di depan matanya, ada sebuah bayangan buram yang tampak seperti seorang pria. Namun, Hazel tidak bisa melihat seperti apa tampang pria itu.

Dia samar-samar bisa merasakan kedekatannya. Aroma pinus yang harum tercium di hidungnya. Agak familier, tetapi dia tidak merasa keberatan dengan aroma itu.

"Mabuk?"

Hazel memegang segelas anggur di tangannya. Rona merah merona mewarnai wajahnya yang mungil. Matanya berkedip, memberikan kesan polos dan jernih.

Pipinya sedikit menggembung, lalu menggeleng pelan. "Nggak, kok."

Sergio mengerutkan keningnya, mengusap dahi dan pipi Hazel dengan punggung tangannya.

Suhu dahinya normal, tetapi pipinya terasa panas.

Sepertinya dia benar-benar mabuk.

Hazel mengedipkan matanya yang basah, terlihat seperti seekor rusa yang kebingungan.

Dia menatap Sergio dan tanpa sadar menyembunyikan gelasnya di belakang punggungnya. "Jangan ambil minumanku! Ini milikku!"

Ini adalah pertama kalinya Sergio melihat penampilan mabuk Hazel. Dia tidak bisa berkata-kata untuk beberapa saat.

Sergio membujuk dengan sabar, "Ya. Aku nggak akan merebut minumanmu. Sudah malam, ayo kita pulang. Hazel, yang nurut, ya?"

Hazel langsung menggelengkan kepalanya. "Aku nggak mau menurut."

Dia sudah menjadi anak yang penurut sejak masih kecil. Semua orang memintanya menjadi anak yang penurut dan pengertian.

Namun, tidak ada yang pernah bertanya kepadanya apakah dia bersedia melakukannya atau tidak.

Dia sama sekali tidak ingin mendengar kata itu sekarang.

Sergio tidak tahu apa yang ada di benak Hazel saat ini, tetapi hatinya terasa perih saat dia menatap matanya.

Dia mengulurkan tangan dan mengusap bagian atas rambut Hazel yang berantakan, kembali membujuknya, "Ya. Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau nurut. Aku akan tetap menemanimu di sini, ya?"

"Benarkah?" Mata Hazel langsung berbinar, lesung pipit di kedua pipinya pun terlihat, menunjukkan senyuman yang sangat manis.

"Ya, benar." Sergio mengangguk membenarkan.

"Kamu baik sekali." Hazel menurunkan kewaspadaannya pada Sergio dan diam-diam mengeluarkan gelasnya dari balik punggungnya.

Sambil memegangnya, dia diam-diam menatap mata Sergio dan akhirnya lega melihat Sergio terlihat biasa saja seperti biasanya, tidak seperti orang yang akan mengambil gelasnya.

Sergio duduk tepat di sampingnya. Matanya yang tak berdasar menyembunyikan kelembutan dan kasih sayang yang tak terlukiskan.

Baru setelah Hazel menghabiskan separuh dari minuman di gelasnya, Sergio berkata kepada Hazel, "Hazel, masih mau minum?"

Hazel menjilat bibirnya dengan puas dan menggeleng pelan. "Nggak, sudah cukup."

Dia meletakkan gelasnya yang kosong di atas bar dan duduk tegak. Sikapnya benar-benar terlihat sangat patuh dan penurut.

Mata Sergio tertuju pada mata Hazel yang berair, lalu sorot matanya berubah muram.

Dia menggunakan ujung jarinya untuk menyeka sisa minuman di bibir Hazel, lalu mengaitkan bibirnya dengan puas, "Pintar. Ayo kita pulang."

Tidak yakin kata mana yang menyentuh hati Hazel, matanya tiba-tiba basah. "Aku nggak punya rumah lagi. Mereka nggak menginginkanku ...."

Mata Sergio tersentak, lalu melemparkan pandangan penuh tanya ke arah Winda. "Apa yang terjadi?"

"Mungkin disakiti oleh ayahnya. Hari ini dia kembali ke rumah Keluarga Vandana. Tapi aku nggak tahu apa saja yang sudah terjadi."

Sergio mengangguk pelan, menandakan kalau dia mengerti.

Dengan gerakan lembut, dia menggendong Hazel, lalu menoleh dan menatap Winda. "Aku akan membawanya pulang."

Winda yang masih belum pulih dari keterkejutannya langsung mengangguk tanpa sadar.

Orang ini terkenal rendah hati dan misterius, jarang menghadiri acara-acara publik.

Sebelumnya, Winda hanya pernah melihatnya di majalah-majalah keuangan. Tidak disangka dia akhirnya bisa melihat Sergio secara langsung. Semua ini berkat Hazel!

Baru setelah Sergio meninggalkan bar dengan Hazel dalam pelukannya, dia akhirnya kembali tersadar.

Rafael Bramantyo tengah menunggu di luar bar. Dia sangat terkejut saat melihat Sergio keluar dengan menggendong seorang wanita dalam pelukannya.

Dia langsung berjalan mendekat, menatap dengan rasa ingin tahu ke arah pelukan Sergio.

Namun, Sergio melindungi gadis itu dengan erat, hanya menyisakan bagian belakang kepalanya yang terlihat.

Tak terpengaruh, Rafael masih ingin mendekat untuk melihat lebih dekat sosok wanita itu.

Detik berikutnya, sebuah pandangan yang menakutkan tiba-tiba menghampirinya, dibarengi dengan rasa dingin yang menusuk tulang.

Dia langsung bergidik, lalu tersenyum sinis. "Sergio, aku cuma penasaran. Cih, nggak lihat pun aku tahu. Siapa lagi kalau bukan gadis kecil Keluarga Vandana?"

Rasa suka Sergio pada Hazel adalah sesuatu yang mungkin tidak diketahui orang lain, tetapi beberapa teman-temannya tahu akan hal ini.

Selama bertahun-tahun, selain Hazel, Rafael belum pernah melihat wanita kedua yang bisa membuat Sergio jatuh hati.

"Sudah tahu dan masih tanya."

Sergio menatapnya dengan tatapan dingin, tidak menjawab dengan positif. Namun, itu bisa dianggap sebagai pengakuan diam-diam.

Dia menunduk dan menatap gadis kecil yang pipinya menempel di dadanya. Seketika, rasa dingin di bawah matanya mencair seperti gletser.

Bahkan melalui lapisan kain, dia dapat dengan jelas merasakan embusan napas yang begitu hangat dari hidung gadis itu.

Dada yang tadinya kosong rasanya langsung terisi dan terasa hangat.

Bibirnya terkatup bahkan tanpa dia sadari. Tanpa menoleh ke belakang, dia masuk ke dalam mobil dan berkata kepada Rafael, "Ayo pergi."

Rafael masih memiliki banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan, tetapi dia tidak menyadari bahwa Sergio sudah pergi!

Hal itu membuatnya mengumpat, "Bukannya tadi bilang mau minum? Kalau kamu pergi, siapa yang menemaniku? Dasar pria heteroseksual yang nggak berperikemanusiaan!"

Sebuah balasan terdengar di telinga Rafael, "Aku sudah punya istri, untuk apa menemanimu."

Rafael, "..."

Sial! Apa hebatnya punya seorang istri!

Punya istri hanya buat menggertak dia yang jomblo saja!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status