Share

Bab 12

Di dalam mobil, Sergio mengerutkan keningnya erat-erat.

Tekanan di dalam mobil begitu rendah, membuat sopir tidak berani bernapas keras-keras. Jadi-jarinya yang mencengkeram setir pun bergetar pelan.

Meskipun Sergio tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia bisa merasakan kemarahan pria itu.

Pelaku yang menyebabkan Sergio bersikap seperti ini benar-benar tidak berperasaan. Dia mabuk dan tertawa bodoh beberapa kali.

Hazel bahkan mencecap sekali dua kali untuk kembali merasakan rasa manis dari minuman yang dia minum barusan.

Sergio menatap sisi wajah Hazel untuk waktu yang lama, menanyakan pertanyaan yang dia sembunyikan di dalam hatinya, "Kenapa datang buat minum di sini?"

Bertemu Hazel di bar hari ini adalah sesuatu yang tidak dia duga sebelumnya.

Karena penandatanganan perjanjian pernikahan, Sergio jadi susah tidur.

Rasanya seperti ada api di dalam hatinya yang telah mengaum, membuat seluruh tubuhnya dalam keadaan hiperaktif.

Dia telah terganggu sepanjang hari ini, tidak sabar untuk bertemu Hazel. Namun, dia juga takut Hazel akan membatalkan perjanjian itu.

Lucu sekali. Selama ini, dia tidak pernah takut pada apa pun, entah itu ketika membicarakan bisnis atau menghadapi acara-acara besar. Namun, dia hanya takut melihat mata Hazel yang dingin dan penuh ketakutan saat menatapnya.

Jadi, dia menelepon Rafael dan mentraktirnya ke mari untuk minum-minum.

Dia tidak menyangka akan bertemu dengan Hazel di tempat ini.

Sebagai balasannya, pertanyaan Sergio disambut dengan senyum nakal seorang gadis remaja dan ucapan cadel. "Enak sekali."

Sergio mengulurkan tangan dan menyingkirkan sehelai rambut yang menempel di pipi Hazel, lalu merapikannya di belakang telinga. Dia terus memperhatikan wajah Hazel yang pucat dan ceria.

Dia melembutkan nada bicaranya, "Kamu nggak boleh minum terlalu banyak meskipun enak. Kalau nggak, kamu sendiri yang jadi nggak nyaman."

Bibir merah Hazel sedikit cemberut, membalas dengan ketidakpuasan, "Manis, mana mungkin aku merasa nggak nyaman."

Sergio tidak berdaya, benar-benar tidak bisa berunding dengan pemabuk kecil di depannya ini. Dia benar-benar tidak bisa diajak bicara baik-baik.

Lupakan saja. Bicarakan nanti saat dia sadar.

Bukannya Sergio ingin mengganggu kesenangan Hazel ketika minum-minum. Dia hanya berpikir bahwa berbahaya bagi seorang gadis untuk keluar larut malam.

Untung saja bar Rafael memiliki keamanan yang memadai. Jika tidak, dengan penampilan Hazel ini, entah akan ada berapa banyak pria yang tertarik kepadanya.

Sergio tengah berpikir yang tidak-tidak, lalu mendengar Hazel tiba-tiba berbicara, "Kamu sangat tampan."

Dengan kulit Hazel yang putih dan paras yang cantik, siapa pun yang memandangnya pasti akan luluh.

Tidak terkecuali Sergio.

Melihat penampilan Hazel yang begitu patuh, semua depresi dan kebosanan Sergio langsung menghilang.

Dia mencondongkan tubuh mendekati Hazel. Sorot matanya yang gelap dan dalam berkilauan dengan cahaya yang tidak jelas.

Dia merendahkan suaranya dan tersenyum, lalu bertanya dengan sumringah, "Kalau begitu, apa kamu suka?"

Menyukainya?

Kalaupun itu hanya omongan orang mabuk, selama Hazel yang mengatakannya, Sergio akan percaya.

Hazel terdiam, menatap wajah tampan di dekatnya dan sedikit tersadar.

Sergio tidak terburu-buru, menunggu jawabannya dengan sabar.

Tepat ketika Sergio merasa dia tidak akan mendapatkan jawaban dari Hazel, gadis itu perlahan-lahan menganggukkan kepalanya, lalu menggeleng.

Sergio pun bertanya tidak mengerti, "Apa artinya? Kamu mengangguk lalu menggeleng? Kamu suka atau nggak?"

Hazel memiringkan kepalanya sambil berpikir, lalu berkata dengan jujur, "Seharusnya suka. Ya. Aku suka pria tampan, tapi aku nggak boleh menyukainya."

Sergio terdiam, tidak mengerti apa maksud perkataan Hazel. Lalu, dia kembali bertanya dengan sabar, "Kenapa nggak boleh menyukainya?"

Ekspresi Hazel mulai berubah serius, sorot matanya menunjukkan keengganan. Lalu, dia menjawab, "Kamu memang tampan, tapi aku sudah punya suami."

Melihat ekspresinya yang seakan mengatakan "Aku sangat menjunjung tinggi prinsip, jadi jangan menggodaku untuk melakukan kesalahan". Seketika, hati Sergio melunak.

Dia mengusap kepala kecil Hazel dan mengiakan pelan, "Ya. Hazel memang wanita yang punya prinsip."

Hazel memandangnya penuh penghargaan, lalu diam-diam memberi jarak.

Dia berkata dengan serius, "Jadi, aku harus menjaga jarak dengan pria lain. Jangan mendekat."

Hazel adalah orang yang keras kepala, banteng pun tidak akan bisa mematahkan keyakinannya.

Sama seperti sekarang. Meski sedang mabuk, tanpa sadar dia masih ingat bahwa dia sudah menikah.

Oleh karena itu, dia tidak boleh terlalu dekat dengan pria lain.

Padahal dia tidak memiliki perasaan kepada suaminya.

Seketika itu juga, Sergio merasa sangat bahagia hingga melupakan apa yang ingin dia tanyakan. Mungkin dia tidak perlu menanyakannya lagi.

Lupakan saja. Tidak penting lagi apakah Hazel minum-minum seperti ini karena Justin atau bukan.

Setidaknya mulai sekarang, Hazel adalah miliknya dan tidak ada yang bisa merebut Hazel darinya.

Dulu, dia menganggap Justin adalah keponakannya. Jadi, Sergio selalu menahan diri dan mengubur pemikiran-pemikiran di dalam hatinya yang tidak bisa dia ungkapkan secara terbuka.

Namun sekarang berbeda. Justin sendiri yang memutuskan untuk menarik diri.

Saat Hazel bangun, dia merasa pusing dan sakit kepala hebat.

Dia mencoba memijit kepalanya, lalu membuka matanya perlahan. Butuh beberapa saat baginya untuk menyadari bahwa saat ini dia berada di kamar tidur Sergio.

Bukankah tadi malam dia minum bersama Winda?

Bagaimana dia kembali?

Kenapa dia tidak memiliki ingatan akan hal ini sedikit pun??

Sebelum Hazel sempat berpikir lebih jauh, dia merasa ada yang tidak beres saat menggerakkan tubuhnya.

Tanpa sadar, dia mendongak dan melihat ada seseorang yang berbaring di sampingnya.

Itu Sergio!

Kali ini, keduanya berpelukan erat.

Lengan Sergio bertumpu pada pinggangnya, sementara Hazel berbaring miring. Tidak hanya bertumpu pada lengan Sergio, tetapi dia juga menjatuhkan kakinya di atas tubuh Sergio.

Tadi malam ... mereka benar-benar tidur bersama?

Napas Hazel langsung tersendat. Dia bangun dari tempat tidur karena ketakutan, ingin melarikan diri dari tempat ini.

Mungkin karena terlalu terburu-buru, Hazel tidak sengaja tersandung saat mencoba berdiri dan kembali jatuh ke tempat tidur.

Dia tanpa sadar menutup matanya erat-erat. Tepat ketika Hazel mengira dia akan jatuh, sepasang tangan yang hangat dan kuat tiba-tiba menggenggam pinggang rampingnya.

Lalu, tubuhnya jatuh dengan mantap di atas tubuh pria itu.

Sebuah geraman pelan terdengar dari atas kepala. Hazel pun mendongak dan kebetulan bertemu dengan sepasang mata yang begitu dalam.

Hazel berjuang untuk beranjak dari atas tubuh Sergio, lalu mengalihkan pandangannya. Dia pun tidak lupa untuk membela diri, "Aku nggak sengaja."

Sergio menunduk dan menyentuh tubuhnya sendiri dengan pelan. Di sana masih ada kelembutan dan kehangatan unik dari tubuh Hazel.

Ada sedikit kilat enggan di matanya, membuatnya berdecak pelan.

Entah kapan dia bisa memeluk dan mencium Hazel secara terang-terangan dan sebanyak yang dia mau.

Ketika belum mendapatkan Hazel, dia masih bisa menahan diri. Namun ketika sudah mendapatkannya, dia menginginkan lebih banyak.

Hazel tiba-tiba teringat sesuatu dan sorot matanya tiba-tiba berubah waspada saat menatap Sergio.

Dia mencoba bertanya, "Om, kenapa Om tidur di sini?"

Sergio mendongak dan menatapnya, menunjukkan gurat bercanda. Lalu, dia menjawab, "Ini kamarku. Apa aku harus meminta izin kepada orang lain kalau ingin tidur di sini?"

Hazel tiba-tiba tersedak.

Ya, ini kamar Sergio.

Vila ini saja milik Sergio. Jadi, dia bisa tidur di mana pun dia mau.

Ditatap oleh mata Sergio dengan penuh arti, wajah Hazel langsung melemah.

Dia tersenyum canggung dan langsung mengganti topik pembicaraan. "Om, tadi malam aku pergi ke bar. Apa Om yang membawaku kembali?"

"Hmm."

Sergio perlahan duduk, merapikan baju tidurnya yang sedikit berantakan dan menjawab dengan suara pelan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status