Prang!Gelas yang yang terletak di nakas terjatuh saat Nadine tak sengaja menyenggolnya. Dia menjadi salah tingkah ketika melihat Janu keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai handuk."Kamu kenapa?" Janu ikut berjongkok dan membantu istrinya membersihkan pecahan kaca."Itu tadi gak sengaja."Wajah Nadine memerah apalagi tubuh mereka berdekatan sehingga aroma sabun yang dipakai lelaki itu menguar hingga ke inderanya."Hati-hati. Jangan buru-buru." Janu dengan cekatan memasukkan bekas pecahan kaca ke dalam plastik dan membuangnya di tempat sampah yang terletak di sudut kamar."Iya, Mas," jawab Nadine sembari mengambil tissue basah dan membersihkan lantai. Dia khawatir masih ada sisa pecahan dan bisa mengenai kaki. Mendengar Nadine memanggilnya 'mas', senyum melengkung di bibir Janu."Sana mandi. Gak gerah?" tanya Janu mencuri pandang. "Udah," jawab Nadine saat hendak berdiri. Bersamaan dengan itu Janu juga melakukan hal yang sama sehingga kepala mereka berbenturan. Nadine mering
Janu menatap wajah cantik yang masih terlelap di sampingnya. Semalam dia begitu bersemangat hingga membuat Nadine kelelahan. Lelaki itu sudah memesan kamar hotel selama tiga hari agar mereka lebih leluasa berduaan. Setelahnya, terserah Nadine mau tinggal di mana. Di rumah orang tuanya sendiri atau di tempat mertua.Sebagian tabungannya habis untuk biaya pernikahan. Lelaki itu berencana ingin membuka praktik malam, sehingga memerlukan banyak dana untuk mempersiapkannya. Janu tak tahu jika papanya sudah menyediakan satu rumah untuk mereka. "Bangun dong, Cantik. Udah jadi istri kok malas," goda Janu sembari mencubit pipi Nadine. Laki-laki itu tergelak ketika melihat sang istri menggeliat dan menepis tangannya."Ndin masih ngantuk. Jangan ganggu," ucap Nadine yang masih setengah sadar dengan mata terpejam.Tawa Janu menggema di kamar. Itu membuat Nadine terbangun dan mengucek matanya."Astagfirullah," ucap Nadine kaget ketika melihat kondisi mereka."Kamu kenapa?" tanya Janu heran."Kita
Nadine menguap berulang kali. Entah kenapa akhir-akhir ini dia sering mengantuk. Badannya terasa lemas dan gampang lelah. Bahkan di kantor dia tidak semangat bekerja."Bik, aku tidur dulu, ya," pamitnya kepada ART yang sejak tadi membersihkan ruang tamu. Wanita itu meregangkan kedua tangan lalu kembali menguap sembari mengucek mata."Non kenapa, sakit?" tanya wanita paruh baya itu.Sejak menempati kediaman sendiri, Janu memberikan istrinya ART. Lelaki itu tak mau istrinya terlalu lelah karena sedang program hamil. Lagipula wanita itu masih bekerja sehingga tidak mungkin mengurus rumah. "Gak tau, Bik. Badan pegel semua," jawabnya Nadine lemas."Mau datang bulan kali. Bibik juga biasanya gitu."Nadine tersentak ketika mendengar kata-kata itu. Wanita itu buru-buru berjalan menuju kamar, lalu mengambil ponsel dan melihat tanggal. Dia tidak pernah membuat catatan khusus, tetapi harusnya saat ini sudah mendapatkan tamu bulanan.Nadine benar-benar lupa bahwa ternyata dia sudah telat dua min
Janu membubuhkan tanda-tangannya di kertas itu. Hari ini, sertifikat rumah mereka selesai setelah menunggu cukup lama. Nadine duduk mendampingi suaminya saat proses itu berlangsung. Wanita itu terbelalak saat melihat nominalnya. Ternyata harganya cukupmahal mengigat luasanya yang tidak seberapa."Terima kasih." Mereka saling berjabat tangan dan berbincang sebentar. Lalu Janu mengambil ponsel mentransfer jasa notaris sesuai dengan kesepakatan. Di awal dia sudah membayar setengah harga sebagai tanda jadi. "Sudah ya,Pak," ucap Janu sembari menunjukkan resi. Nanti dia akan meminta bukti cetaknya kepada pihak bank."Kok lebih, Pak?" tanya si notaris. Dia tidak menyangka klien-nya yang satu ini murah hati. Kelebihan biaya ini cukup banyak untuknya."Bonus untuk karyawan," Janu berbisik sebelum berpamitan.Setelah semua clear, mereka meninggalkan tempat itu sembari bergandengan tangan. Nadine berjalan pelan karena merasakan mual pada perutnya. "Mau makan di mana?" tanya Janu menawarkan. L
Janu mondar-mandir di depan ruang operasi dengan gelisah. Sudah dua jam dan belum ada tanda-tanda akan selesai. Mereka memang terbiasa dengan kejadian seperti ini sejak awal kuliah bahkan mungkin hingga menutup mata nanti. Namun, ketika itu terjadi kepada orang terdekat, rasanya tetap berbeda."Keluarga Dokter Rani?" tanya Andreas, dokter bedah yang menangani tindakan Rani. "Cuma ada gue sebagai perwakilan. Keluarganya baru bisa datang besok. Paling cepat nanti malam," jawab Janu."Dia kritis. Masuk ruang instensif sampai pulih."Janu tertegun dan mengusap wajah, tak dapat membayangkan bagaimana kondisi Rani sekarang. Lalu dia menarik napas lega. Lelaki itu mengucap syukur bahwa nyawa gadis itu bisa diselamatkan, sekalipun kemungkinan akan cacat. "Lu mau pulang atau nunggu di sini?" Andreas memijat kepalanya yang tegang. Dia juga syok saat menegtahui siapa korban tabrakan kali ini. Apalagi dia yang harus memimpin operasi. Rani adalah wanita yang lelaki itu sukai diam-diam. Namun, l
Lima hari sudah berlalu. Belum ada tanda-tanda perkembangan dari Rani. Wanita itu masih tak sadarkan diri di ruang intensif. Berbagai selang menempel di tubuhnya. Janu dan Andreas bergantian menjenguknya. nadine ingin ikut serta, tapi dilarang. Jadi, dia hanya mendengarkan apa yang diceritakan suaminya setiap pulang dari sana."Mau ke rumah sakit lagi?" Nadine merapikan kerah baju suaminya yang tampak berantakan. Sejak kejadian itu, Janu jarang ada di rumah. Sepulang dari rumahs akit, dia akan mandi dan mengganti pakaian. Lalu makan jika lapar dan langsung pergi lagi ke rumah sakit.Orang tua Rani akan meneleponnya jika belum memberikan kabar. Janu akan buru-buru datang tanpa menghiraukan istrinya. Rasa kasihan karena Rahmat tak memiliki keluarga di Jakarta dan kondisi keuangan yang terbatas, membuat lelaki itu tak tega.Melihat sikap Janu yang seperti itu, nadine menjadi sedikit kecewa. Ada rasa sedih yang menyusup dalam hatinya. Perlahan menjalar bahkan mulai berakar. Dia tahu bahw
Bunyi beberapa alat yang terpasang, saling bersahutan di dalam ruangan itu. Berbagai selang yang melekat di tubuh, membuatnya tetap bertahan sampai sekarang. Harapan tipis, tapi semua orang berdoa untuk sebuah keajaiban. Wanita yang terbaring di ruang intensif itu mulai menggerakkan tangannya. Kesadarannya mulai pulih. Belum sepenuhnya ingat apa yang terjadi, hanya merasakan sakit yang menghantam seluruh bagian, dari kulit hingga tulang. Serasa ruh ingin terlepas dari raganya. Jika boleh memilih, dia ingin kembali ke pangkuan Tuhan, dari pada harus merasakan sakit di antara hidup dan mati. "Suster, Suster. Lihat!" Salah satu perawat memanggil kepala ruangan mereka. Semua orang mengucapkan takbir saat melihat keajaiban itu muncul. Wanita ini kuat, dia berjuang untuk hidupnya. Mungkin, ada banyak hal yang ingin diselesaikan sebelum tiba masanya berpulang. Rani memang luar biasa. "Panggil Dokter Andreas ke sini." Begitulah perintah kepala ruangan. Tak berapa lama, sosok lelaki yang
Rahmat berulang kali mengucapkan syukur atas perkembangan yang dialami Rani. Dia mengusap air mata yang sempat menetes beberapa menit yang lalu. Semua orang serasa mimpi, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat. Perlahan tapi pasti, tubuh yang tak berdaya itu akhirnya mulai sadar, walaupun belum sepenuhnya pulih. Setelah mengucapkan nama lelaki yang di sayangi, Rani kembali tak sadarkan diri. Mata yang berhari-hari terkatup itu bahkan enggan menyapa orang yang dia sebut. Dia kembali ke alam mimpi, larut dalam buaian indah yang telah menemaninya beberapa hari ini."Semua boleh keluar."Perintah dokter senior sempat mengagetkan mereka. Dua orang lelaki itu akhirnya memilih patuh, dan melanjutkan pembicaraan setelah meninggalkan ruangan itu. "Makasih, Nak Dokter," ucap Rahmat menjabat tangan Janu erat. Janu membalasnya dengan melakukan hal yang sama. Mereka sempat berbincang-bincang dengan dokter senior, sebelum akhirnya memilih untuk pulang dan berpisah. Lelaki itu diminta