Share

Pertemuan

Sabtu malam di sebuah kamar yang penghuninya sedang asyik sendirian. Entah apa yang sedang dikerjakan Janu. Matanya fokus dan tak berkedip menatap layar laptop.

'Jack, nongkrong, yuk.'

Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Ternyata dari Abraham. Janu yang sedari tadi hanya bermalas-malasan segera membuka dan membacanya.

'Males gue.'

'Ada cafe baru di dekat rumah sakit. Kopinya enak.'

'Ajak yang laen aja.'

'Lu lagi ngapain?'

'Ngeliatin rekam medis pasien.' Begitulah jawaban yang Janu ketikkan.

'Ya elah segitunya. Ini hari libur, Bro. Nyantai dikitlah.'

'Beneran gue males.'

'Makanya keluar Jangan ngadem di rumah mulu. Mana tau ketemu cewek cakep?'

'Yaudah Bentar. Di mana sih tempatnya.' Balas Janu lagi.

'Ntar gue share lokasi.'

'Oke.'

'Nah gitu, dong. Gue sama anak-anak nungguin.'

Janu mematikan laptop dan membuka lemari untuk berganti pakaian. Lelaki itu menyemprotkan parfum dan menyugar rambut. Tak perlu berlebihan karena dia sudah tampan dari lahir.

Janu menatap diri di cermin, lalu mengusap dagu. Cambangnya mulai tumbuh. Jika satu mingu lagi tidak dicukur, maka penampilannya akan terlihat berantakan.

Janu mengambil kunci mobil dan segera keluar kamar. Saat melewati ruang keluarga untuk berpamitan, Mama dan papanya terlihat sedang asyik berduaan. Romantis sekali mereka, saat menonton sambil berpelukan dan tertawa senang.

"Mau ke mana?" tanya Anton.

"Jalan dulu, Pa."

"Ngapelin cewek, ya?" Sarah mengerling suaminya sembari memberi kode dengan alis.

"Enggak, Ma. Diajakin Abraham nongkrong di cafe. Ada yang baru katanya."

"Ya udah pergi aja sana. Pulang maleman dikit juga boleh."

"Mama kok gitu."

Janu tak habis pikir. Mamanya mungkin ingin dia sesekali nakal, jangan jadi anak baik terus agar cepat dapat jodoh.

"Kali aja di cafe kamu ketemu yang bening-bening gitu. Kan jadinya mama cepet punya mantu." Wanita paruh baya itu tersenyum saat mengatakannya.

"Iya. Entar kalau nemu, aku bawain satu buat mama."

Janu mengalah dan memilih untuk menuruti apa yang menjadi keinginan orang tua. Dia malas mendengarkan omelan mamanya.

"Nah gitu, dong. Kalau cocok kan nanti mama bakalan ada temennya. Jadi gak sepi di rumah."

"Udah dulu ya, Ma, Pa. Janu berangkat," pamitnya.

"Hati-hati. Jangan aneh-aneh," pesan Anton.

Janu mengiyakan, lalu berjalan keluar rumah dan menyalakan mesin. Mobilnya meluncur ke tempat yang sudah disebutkan Abraham tadi.

Loppecoffee.

Itulah cafe yang dimaksud Abraham tadi. Suasananya tampak nyaman dan elegan dengan parkiran yang cukup luas. Desain tempat yang modern, sangat cocok untuk tempat nongkrong kaula muda. Namun sebelum mencicipi kopinya, Janu tak akan merekomendasikan kepada siapa pun.

Ada beberapa cafe yang tempatnya bagus dengan harga makanan yang lumayan tinggi, tetapi rasa kopinya kurang enak. Barista-nya malas kalau begitu. Kadang, Janu tidak segan untuk menegur dengan menulis di secarik kertas dan memasukkannya di kotak saran, atau meletakkan di meja kasir.

"Jack. Sini."

Abraham melambaikan tangan saat melihat sahabatnya itu masuk. Janu langsung menghampiri dan berjalan ke arah mereka. Sepertinya malam ini akan ramai ceritanya.

"Hei."

Janu menyalami mereka satu per satu dan saling bertegur sapa. Ada lima orang yang duduk di sana dan ternyata dokter semua. Mereka bekerja di rumah sakit yang berbeda, jadi tidak saling mengenal. Ada yang masih dokter umum, ada juga yang sudah spesialis seperti dirinya.

"Nah, komplit udah. Lu pesen makanan gih. Kita semua udah. Tinggal nunggu dianterin," kata Abraham.

Setelah berbincang sebentar, seorang pelayan datang menghampiri mereka dan menyodorkan sebuah daftar menu. Janu membolak-baliknya dan memilih segelas Espresso juga sepotong cheese cake untuk menemaninya malam ini.

"Gimana kerjaan, lancar?" tanya Abraham.

"Lancar aja, sih. Gue masih adaptasi," jawab Janu.

"Lu jangan kaku banget. Nyantai dikitlah. Perawat itu dikasih senyum. Jangan cool bener."

Mereka tergelak mendengar ocehan Abraham.

"Gak ada yang cakep. Kalau ada juga pasti gue kasih senyum. Yang paling manis malah," balas Janu asal.

"Banyak kok yang manis. Mata lu aja yang kurang jeli."

"Banyak emang, tapi bini orang. Gue gak minat," jawab Janu malas.

"Yah, gak apa-apa juga kali. Lumayan, buat gebetan."

"Gue males yang begituan. Mending yang single aja kalau ada. Gak kerja dua kali."

"Cieee, penganut garis lurus, nih!"

"Biar aja cewek yang suka jadi pelakor. Kita kaum Adam gak usah ikutan jadi pebinor."

Gelak tawa mereka menggema ke seluruh ruangan. Cafe ini baru dibuka sehingga pengunjungnya masih sepi dan mereka bisa bebas berekspresi.

Tak lama pesanan pun datang. Mereka mulai asyik berbincang sembari menikmati hidangan dan membahas berbagai macam permasalahan yang yang terjadi di rumah sakit. Juga beberapa berita yang up to date tentang dunia medis dan kesehatan.

Janu mulai mencicipi kopi saat tak sengaja menatap ke arah pintu. Tampak tiga orang gadis cantik melenggang masuk sembari bersenda gurau. Rasanya salah seorang di antara mereka terasa cukup familiar. Lalu, lelaki itu teringat akan sesuatu.

Janu masih menatap mereka ketika gadis itu juga menoleh ke arahnya. Lelaki itu langsung tersedak karena malu kedapatan sedang memerhatikan.

"Lu kenapa, Bro?"

"Gak apa-apa."

Janu masih menatap ke arah gadis itu secara terang-terangan sembari melihat gerak-geriknya. Mulai dari caranya berjalan hingga duduk dan memesan makanan.

"Lu ngeliatin siapa sih? Dari tadi gak konsen," tanya Irfan, salah seorang di antara mereka.

"Itu," kata Janu memberi kode.

Dengan cepat mereka serentak menoleh ke arah yang dimaksud lelaki itu. Kalau tentang wanita, kaum Adam memang bergerak cepat. Apalagi kalau cantik, langsung disikat.

"Bening pisan," kata Abraham sembari berdecak.

"Gue kenal yang baju merah," kata Janu sembari mencoba mengingat.

"Lah, di mana?"

"Pasien gue. Di hari pertama, yang resek itu."

"Oh, yang lu ceritain waktu itu? Yang nyerobot antrean?"

"Iya."

"Gila! Cantik bener," ucap Abraham tak berkedip.

"Anak bank."

"Oh, pantes lu gak mau ngelirik perawat di rumah sakit. Lu sukanya yang megang duit, bukan yang megang pasien."

Gelak tawa kembali menggema. Janu hanya bisa menggeleng melihat tingkah Abraham. Sekalipun begitu dia tak pernah marah atau tersinggung. Lelaki itu menganggap semua hanya sebagai candaan.

"Eh, tapi coass yang baru juga cakep-cakep. Lu gak minat, Jack?"

"Buat kalian aja, deh. Gue tau lu semua pada suka yang daun muda."

"Bagus kalau gitu, Jack. Saingan kita berkurang. Ya gak?"

"Bener, tuh. Kalau semua digebet sama si Jack, kita kebagian sisanya. Untung dia anak baik."

Janu tak terlalu memerhatikan apa yang dibicarakan oleh teman-temannya. Matanya kembali fokus menatap gadis itu, yang malam ini terlihat memukau dengan gaun berwarna merah.

"Samperin sana. Daripada galau," kata Fredy, teman mereka yang lain.

"Ntar gue liat situasi dulu."

"Dia ngelirik ke sini juga kali. Dari tadi malah."

Janu tersenyum. Memang benar, di ujung sana, si gadis terlihat malu-malu sembari melirik ke arahnya berulang kali.

"Samperin sana. Lu dari tadi ngiler kayaknya. Sampai makanan pun gak disentuh."

Abraham mulai mengompori saat melihat Janu yang terlihat ragu-ragu dari tadi. Apalagi teman-teman yang lain ikut mengiyakan sarannya.

"Bro. Kita jomlo itu boleh aja resisten sama yang namanya malam minggu. Tapi, jangan resisten jugalah sama yang namanya cinta. Apalagi sudah ada di depan mata. Ya, gak?" ucap yang lain menimpali.

Gelak tawa kembali menggema. Janu akhirnya menyerah dan berjalan mendekati gadis itu setelah mendapat dukungan teman-temannya.

Entah mengapa kali ini Janu menjadi nekat. Ada rasa ketertarikan kepada gadis itu sejak pertama kali mereka bertemu di rumah sakit. Pasien yang satu ini memang beda, pastinya juga menggoda iman.

"Hai," sapanya langsung tertuju kepada sasaran. Janu sama sekali tidak melirik yang lain.

"Dok ... ter," sapa Nadine terbata.

"Udah sehat?"

"Udah."

"Duduk sini, Mas." Salah seorang teman Nadine menunjuk kursi, tepat di samping gadis itu.

"Janu."

Dia memperkenalkan diri kemudian menarik kursi dan duduk sembari menatap Nadine dengan lekat. Gadis itu menjadi salah tingkah, apalagi teman-temannya malah menertawakan.

Lama mereka terdiam dalam kecanggungan hingga akhirnya salah seorang gadis berkata, "Eh, kita pindah duduk yuk. Di sini panas. Di sana aja deket AC."

"Kalian mau ke mana?" tanya Janu heran.

"Ke pojok sana, Mas. Adem."

"Lah, gue ditinggalin?" tanya Nadine karena merasa tak enak hati.

"Soalnya kita berasa jadi obat nyamuk. Jadi mending nyingkir dulu, deh," jawab yang lain sembari mengedipkan mata.

"Eh, gak bisa gitu, dong. Kita kan datangnya bareng," protes Nadine. Sebenarnya salam hati dia senang juga jika bisa berduaan dengan Janu.

"Lu kan ada pak dokter. Ya kan, Mas Janu?"

Nadine mendelik karena malu. Di saat begini teman-temannya justeru menggoda. Bukannya menemani agar dia tak semakin gugup.

"Kalau gitu biar saya yang temenin dia," kata Janu santai.

"Oke kalau gitu kita bubbye dulu."

Dua gadis itu bergegas menjauh. Kini Nadine menjadi semakin gelisah. Apalagi sekarang mereka tinggal berdua.

Melihat ada kesempatan, Janu semakin terang-terang menatap Nadine. Lelaki itu menjadi gemas ketika melihat pipi gadis itu memerah. Dia teringat kembali saat pemeriksaan waktu itu.

"Dokter ke sini sama siapa?"

"Temen. Di sana," tunjuk Janu.

Ketika Nadine menoleh, teman-teman Janu bersorak menggoda balik mereka sehingga wajah gadis itu semakin merona.

"Malam minggu gak ngapelin pacar? Kok pergi sama temen?" Nadine bertanya.

"Kamu sendiri gak diapelin pacar? Malam minggu jalan sama temen."

"Belum punya."

Nadine tertunduk saat mengucapkanya. Gadis itu semakin salah tingkah hingga telapak tangannya berkeringat padahal cuaca di dalam cukup dingin.

"Siapa juga yang mau sama kamu? Galak, gak sabaran. Suka nyerobot antrean. Gak mau ngalah sama pasien lansia," sindir Janu.

"Ih."

Nadine membuang pandangan. Dalam hatinya menggeturu karena tak menyangka jika Janu masih ingat akan kejadian waktu itu. Padahal sudah lama, satu bulan yang lalu.

Nadine sendiri bahkan sudah lupa. Bahkan dia tak menyangka jika akan bertemu dengan Janu hari ini.

"Dokter sendiri juga siapa yang mau? Genit. Ngeliat pasien cantik malah senyum-senyum," balas Nadine tak mau kalah.

"Siapa sih, pasien saya yang cantik?" Lelaki itu balas menggoda.

Nadine memilih diam dan tidak mau menjawab. Sudah pasti jika ditanya lagi, jawabannya adalah dia. Lama mereka terdiam dengan pikiran masing-masing hingga pesanannya datang.

"Makan, Dok."

"Nanti aku pesen."

"Ya udah. Aku lapar, mau makan duluan."

Janu kembali memerhatikan tingkah Nadine. Gadis itu makan dengan terburu-buru sehingga bekasnya menempel di sudut bibir. Rasanya dia inging mengusapnya dengan jemari.

"Dokter kenapa ngeliatin saya kayak gitu?"

"Kamu cantik."

Nadine meletakkan sendok dan menatap Janu dengan berdebar-debar. Dipuji oleh seorang lelaki tampan membuat hatinya berbunga-bunga.

"Tapi sayang--"

"Kenapa?" tanya Nadine penasaran. Rasanya tidak mungkin jika Janu menyatakan cinta padahal mereka baru kenal.

"Nama kamu siapa? Saya lupa. Pasien saya banyak."

Nadine tertegun untuk beberapa saat, lalu menghempaskan sendok karena kesal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status