Share

Gombal

Nadine langsung masuk ke kamar setelah tiba di rumah dan mengabaikan panggilan sang mama. Dia masih kesal karena perbuatan Janu di cafe tadi. Gadis itu langsung berganti pakaian dan merebahkan diri untuk melepas penat. Malam Minggu bukannya senang, tetapi malah dongkol setengah mati.

Ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk di w******p.

'Hei.'

Nadine melihatnya sebentar dan tak berniat membalas. Gadis itu sudah menduga jika Janu akan menghubunginya lewat chat. Dia mencebik lalu melemparkan benda pipih itu ke kasur.

Nadine teringat saat perjalanan tadi. Janu memaksa untuk mengantarnya pulang. Sepanjang perjalanan mereka hanya terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

Janu fokus menyetir dengan santai, sementara Nadine berpura-pura bermain ponsel. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Mereka benar-benar canggung.

"Kamu cantik."

Dokter Janu bilang dia cantik dan semua orang mengakui hal itu.

"Tapi sayang--"

Nadine memberanikan diri untuk bertanya karena melihat gelagat Janu yang berbeda sejak awal mereka memasuki cafe. Lelaki itu memberikan sinyal suka dari cara memandang dan berbicara kepadanya.

Nadine berharap dalam hati, semoga kejomloan akut yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun bisa segera berakhir bahagia dengan dokter tampan itu.

"Nama kamu siapa? Saya lupa. Pasien saya banyak."

Sial! Wajah Nadine seketika berubah. Selera makannya hilang, padahal baru saja mencicipi red velvet yang dipesan tadi. Janu lupa dengan namanya karena pasiennya banyak. Lalu, kenapa lelaki itu tidak bertanya sejak awal bertemu.

Nadine menutup wajah dengan bantal. Ponselnya bergetar terus, tanda ada banyak pesan yang masuk.

'Saya minta maaf soal yang tadi.'

Nadine sengaja mengabaikannya karena ngin tahu reaksi Janu jika dia bersikap cuek.

'Saya beneran lupa nama kamu.'

Janu berkata jujur saat menyampaikannya. Tipe lelaki yang tidak suka berbual kalau sedang melakukan pendekatan dengan lawan jenis. Dia memang tidak pandai menggombal hanya untuk menyenangkan hati wanita.

Nadine menjadi gamang, ingin membalas pesan itu tetapi gengsi. Namun, jika tidak dijawab malah membuatnya penasaran. Gadis itu mengetukkan jari di layar ponsel dan masih menimbang-nimbang.

Sementara itu, Janu mondar-mandir di kamarnya karena gelisah menunggu balasan dari Nadine. Saat mengantar gadis itu pulang, dia memaksa meminta nomor ponselnya.

Awalnya Nadine menolak, tetapi akhirnya luluh juga. Apalagi saat Janu membayarkan semua tagihan makanan mereka. Kedua teman gadis itu bahkan bersorak dan berulang kali mengucapkan terima kasih.

Janu berkali-kali melihat ponsel, berharap akan ada balasan dari Nadine. Sayang, status pesannya hanya dibaca. Sepertinya gadis itu memang benar-benar marah.

Akhirnya Janu menyerah, yang penting nomor gadis itu sudah disimpan. Nanti dia bisa menghubunginya lagi. Kalau perlu menelepon sebagai permintaan maaf.

Janu merebahkan diri di ranjang karena merasa begitu lelah. Besok libur jadi dia hanya perlu visite ke bangsal rawat inap. Setelahnya dia bisa pulang dan beristirahat seharian di rumah.

Ada banyak tanggung jawab yang harus dia pikul, juga waktu yang banyak tersita untuk pekerjaan. Bebagai macam hal berkelebat di benaknya. Lelaki itu kembali mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Nadine.

Ternyata melupakan nama seorang wanita, padahal kita menyukainya cukup fatal. Dia baru tahu hari ini. Selama ini lelaki itu memang tidak terlalu mengerti cara mendekati wanita. Mungkin sesekali dia harus belajar dengan sesama rekan seprofesi yang jago bergonta-ganti pasangan.

'Ya udah kalau masih ngambek.'

'Kalau gak mau maafin saya juga gak apa-apa.

'Ingat jangan telat makan.'

'Siapin cemilan sama obat di tas.'

'Jangan banyak pikiran.'

'Kalau sakit ingat saya.'

'Saya siap mengobati.'

Rentetan pesan Janu kirim karena sedari tadi tak bisa menghilangkan resahnya.

'Asal kamu jangan ...."

'Jangan apa?' Akhirnya Nadine membalas karena merasa penasaran.

'Jangan godain pas saya mau periksa.'

Nadine terdiam karena ternyata Janu tahu akan niatnya waktu itu.

'Saya laki-laki normal. Gak kuat iman kalau melihat yang begituan.' Begitulah pesan balasan yang dikirim Janu.

Nadine menutup wajah dengan bantal karena malu ketika Janu mengingatkan kejadian itu lagi. Dia kembali melihat pesannya dan bingung hendak membalas apa.

'Iya, Pak dokter.' Jarinya kembali meluncur mengetikkan kata-kata, sembari mengulum senyum.

Sederetan pesan dari si dokter tampan itu memenuhi notifikasinya malam ini. Sejak tadi tawa Nadine menggema di dalam kamar. Rasa kesalnya berangsur hilang berganti bahagia tiada tara.

Nadine belum pernah dia dirayu seperti ini sebelumnya. Gadis itu kembali melihat pesan-pesan yang dikirimkan Janu dan membacanya ulang. Lalu, dia meletakkan tangan di depan dada sembari merasakan detak jantungnya yang semakin kencang. Inikah yang namanya cinta?

***

Janu memarkir Toyota Fortuner miliknya dengan cantik. Awal bulan begini biasanya parkiran akan penuh karena pasien yang membludak. Lelaki itu berjalan santai menuju meja resepsionis untuk menyetor telunjuknya pada finger print. Dia berjalan mundur saat sidik jarinya terdeteksi untuk memberikan kesempatan kepada karyawan yang lain.

Beberapa pegawai rumah sakit, khususnya wanita, tampak berbisik-bisik saat dia datang. Ada yang sengaja berkerumun untuk mendekatinya karena ingin berkenalan secara langsung atau sekedar bertegur sapa. Saat dia membalikkan tubuh, Janu hampir terjatuh karena menyenggol seseorang.

"Maaf, Dokter."

Rani menatap Janu dengan ketakutan. Gadis itu merasa sungkan karena pernah ditegur oleh lelaki itu sewaktu lambat menangani pasien di Instalansi Gawat Darurat. Dia baru lulus sebagai dokter umum, sehingga masih grogi jika menangani kasus-kasus tertentu.

"Hati-hati."

Janu mengucapkan itu sembari tersenyum karena Rani selalu menghindar setiap kali bertemu.

"Permisi, Dokter." Rani berpamitan karena tak mau berbasa-basi lebih lama.

"Eh, Dokter Rani. Maaf soal yang waktu itu."

Rani tertegun melihat senyum Janu yang langka. Rasanya dia ingin mengambil gambarnya dan memamerkan kepada khalayak ramai kalau senyum lelaki ini manis sekali. Dia seperti mendapat rezeki nomplok hari ini.

"Iya gak apa-apa, Dokter."

"Saya duluan, ya."

Janu segera menyingkir karena penggemarnya mulai berdatangan. Lelaki itu hanya menanggapi dengan anggukan ketika beberapa karyawan wanita menyapanya.

"Dokter, mundur dikit, dong!"

Seseorang sengaja menyenggol Janu saat dia akan berbalik.

"Ada apa, ya?"

"Gantengnya kelewatan."

Seketika suara tawa menggema di mana-mana. Janu sungguh tak menyangka akan mendapatkan sarapan pagi seperti ini.

Mereka tergelak kemudian berlal meninggalkan Janu yang masih terbengong mendengar ucapan yang tadi.

Rani yang melihat kejadian itu juga ikut tertawa, kemudian berjalan bersisian dengan Janu. Suasana di antara mereka perlahan mulai mencair.

"Langsung ke poli, Dok?"

Rani mendongak ketika berbincang dengan Janu. Lelaki itu begitu jangkung sehingga dia harus mengerasakan suara saat berbicara.

"Iya. Dokter Rani mau ke mana?"

"Ke atas dulu. Ada sosialisasi penggunaan hand hygine buat para perawat di ruangan. Saya dan tim PPI dimintain tolong sama komite medik."

"Kapan rapatnya? Kok saya gak tahu."

"Seminggu yang lalu. Sekarang rumah sakit lagi gencar sosialisai penggunaan masker dan hand hygine."

Mereka asyik berbincang sehingga membuat beberapa perawat yang lewat memandang Rani dengan tatapan iri.

Janu memang menjaga jarak dengan wanita sekalipun itu sesama rekan medis. Bukannya sombong, hanya dia malas karena pernah menjadi bahan gosip saat program Wajib Kerja Dokter Spesialis di sebuah rumah sakit.

"Bener, Dokter. Kadang kita suka lupa."

"Untuk hand hygine apa harus sesuai dengan tujuh langkah itu?"

"Sebagian sudah, ada juga yang belum. Semua perlu diedukasi lagi. Kadang jika terburu-buru beberapa orang suka abai."

"Berarti pengeluaran untuk belanja cairan cuci tangan meningkat, dong?" tanya Janu.

"Pastinya, Dokter. Hanya saja itu kan dapurnya instalansi farmasi. Bukan ranahnya kita."

Mereka melanjutkan perbincangan hingga Janu menghentikan langkah. Dia akan berbelok menuju poli penyakit dalam, tempatnya bekerja hingga nanti pukul dua siang.

"Saya jalan dulu."

Janu berpamitan dengan sopan. Tutur katanya juga halus. Kalau sudah begitu, wanita mana yang tidak akan jatuh hati melihatnya.

"Sampai ketemu lagi ya, Dokter."

Rani membalas ucapan Janu dengan hati berdebar. Berada di satu tempat kerja juga tidak menjamin mereka bisa bertemu setiap saat.

Janu mengiyakan kemudian berbalik, ketika Rani memanggilnya kembali.

"Eh, Dokter!"

"Ya?"

"Selamat bekerja."

Senyuman paling tulus Rani hadiahkan kepada Janu. Lelaki itu tertegun. Ada desiran halus di dadanya saat melihat dua lekuk di sudut pipi gadis itu. Senyumnya mirip seperti seseorang yang pernah singgah di masa lalunya.

Janu mengangguk lalu berjalan menuju ruangan. Perawat pendampingnya sudah menunggu sejak. Lelaki itu mengambil snelli dan segera memakainya.

"Berapa daftar pasien hari ini, Suster?"

"Seratus lima orang, Dokter."

"Saya sendiri atau--"

"Dibagi dua dengan Dokter Anwar. Hanya saja beliau kan sudah mau pensiun. Jadi pasien dokter lebih banyak." Perawat itu menjelaskan.

"Saya dapat berapa?"

"Tujuh puluh lima pasien. Sisanya untuk dokter Anwar."

"Berarti jam dua siang belum tentu selesai, ya?"

"Jam tiga sepertinya, Dokter."

"Oke. Berarti nanti tolong jika ada yang nganterin snack, jatah saya di-double. Saya butuh tenaga ekstra hari ini," ucapnya sembari menghela napas.

"Baik, dokter."

"Kamu siapkan dulu yang lain. Saya ada keperluan sebentar," ucapnya sembari melirik Tag Heurer Formula 1 di tangannya. Masih ada waktu dan dia ingin mengirim pesan.

'Aku pulang sore. Pasien hari ini ramai. Lanjut visite lagi.'

Jaanu sudah berjanji kepada ibunya untuk mengantar ke sebuah butik setelah selesai bekerja. Ada sebuah gaun yang beliau ingin beli.

Dia menunggu hingga beberapa saat, tetapi belum ada respons. Lelaki itu kembali memainkan jari untuk membuka media sosial yaitu I*******m. Dahinya berkerut saat melihat ada satu akun yang mengikutinya.

"Nadine moet ini siapa?" terka Janu dalam hati.

Akun itu menyukai hampir semua postingannya. Padahal selama empat tahun ini foto yang dia unggah tidaklah banyak. Hanya moment tertentu saja yang dia bagikan, misalnya saat wisuda kelulusan, peringatan hari Raya Idul Fitri, travelling dengan teman-teman dan beberapa kegiatannya di rumah sakit.

Janu menjadi penasaran, kemudian membuka profile akun tadi. Tampaknya berbagai macam foto selfie seorang gadis dengan berbagai pose di berbagai tempat wisata yang menjadi latarnya.

Ada juga beberapa foto saat gadis itu mengikuti pelatihan kerja di berbagai hotel ternama. Total postingannya hampir seribuan. Gadis itu mungkin setipe orang yang suka mengabadikan setiap moment yang berharga dalam hidupnya.

Dari semua postingan yang ada, tampak gadis itu sedang memeluk dua orang pria wanita paruh baya dan seorang remaja lelaki. Itu pastilah orang tua dan adiknya. Mereka sedang berlibur ke pulau Dewata.

"Nadine. Pasien gue yang cantik itu."

Janu membatin dalam hati, lalu membuka WhatssApp dan mencari nama seseorang. Nadine Bank Alaya. Dia memang menyimpan nomor gadis itu beserta tempat kerjanya agar tidak lupa. Bisa gagal lagi pendekatannya jika sampai terulang.

'Ada stalker rupanya.'

Janu mengetikkan kata-kata itu sembari mengulum senyum. Tak lupa dia menyelipkan emoji senyum setelahnya. Pesannya sudah terkirim, tetapi belum terbaca. Gadis itu pasti sedang melayani nasabah.

Janu tersenyum saat mengingat tingkah Nadine. Gadis itu sungguh absurd hingga mencarinya mencarinya di media sosial.

"Dokter, apa kita sudah bisa mulai?"

"Oke."

Janu mengaktifkan 'mode sunyi' pada ponselnya meletakkan benda itu di meja. Satu per satu pasien mulai masuk. Lelaki itu mulai berkonsentrasi dengan pekerjaan, hingga tak menyadari bahwa ada banyak pesan yang masuk dari mamanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status