Siapa sangka, liburan yang awalnya terasa begitu menyenangkan tiba-tiba berubah menjadi sebuah bencana? Tiba-tiba Tante Ariane dan Om Frank melamarku untuk dinikahkan dengan Aldert, anak angkat mereka. Kami sedang berlibur di Brussel waktu itu terjadi, mengacaukan daya kerja otak, jantung dan pernapasanku secara total. Menjajah kebahagiaan yang selama hampir satu bulan kudapatkan di Netherlands, tentu saja. Merubah istilah holiday menjadi broken day.
Apakah aku tidak berusaha untuk menolak? Sudah. Mati-matian bahkan, dengan mengerahkan seluruh kekuatan jiwa dan raga. Tapi mereka ditambah dengan Mama justru semakin gigih untuk mengalahkan pendirianku. Oh, sebenarnya aku mengalah---pada akhirnya---karena Batik tak merespon sama sekali ketika aku berterus terang dan meminta pendapatnya.
"Jadi, gimana ini, B?" tanyaku setenga
"Ha, oh, eh maksud Tante?" antara terkejut, bingung dan takut aku bertanya. Berusaha mencegah kemungkinan terburuk yang akan terjadi dalam hidup ini. Ya Tuhan, berarti benar hari ini mereka akan melamarku? Oh, tadi saat melihat roti tart dan kotak perhiasan itu … Berharap hanyalah setangkai bunga tidur semata-mata tapi kenyataannya? Oh, kadang-kadang aku memang separah itu! Seharusnya aku melarikan diri, bukan? Sejauh mungkin. Lebih baik hilang dan tak ditemukan lagi dari pada seperti ini ceritanya. Alur hitam dalam sebuah drama tanpa naskah. Kalaupun ada, naskah mentah. "Para tetangga sudah menunggu kita?"Sialnya, Tante Ariane justru menyimpulkan sebuah senyuman. Memandangku dengan sorot mata super lembut, menghangatkan. "Ya, para tetangga. Kita mengundang mereka untuk menyaksikan pertunangan kalian. Aldert sudah selesai didandani papanya dan sekarang saatnya Tante mendandani Hill. L
"Saya, emh, Hill permisi ke toilet dulu Om …!" kataku pada Om Frank dengan penuh permohonan di dalam hati. "Sebentar …?"Om Frank mengangguk, bangkit dari tempat duduknya dan mengantarkan aku sampai ke pintu ruang gang. "Bisa sendiri Hill, atau perlu Om panggilan Tante Ariane?"Secepat mungkin aku menggeleng-gelengkan kepala. Berjalan cepat ke luar ruang multi fungsi, berpikir dengan cepat bagaimana cara menghubungi Mama. Ini puncak perjuangan untuk membebaskan diri dari alur cerita gila Ariane-Rumi. Jadi, aku harus menuntaskannya meskipun sudah berada tepat di ujung tanduk. Yeaaah, aku harus mendengar langsung dari Mama mengenai semua kegilaan hidup ini. Harus."Mama, Mama?" aku yakin, saat ini sudah seperti Rose dalam film Titanic saat menem
"Lepaskan, Aldert!" kataku setengah menjerit. Dia merangkulku dari belakang, menyentuhkan bibir hangat dan basahnya ke tengkukku.Jelas dia semakin gila. Apa lagi? Acara tunangan paksaan sudah selesai digelar. Mama, Tante Ruby, Uta, Eyang Putri dan Budhe juga ikut menyaksikan melalui video call. Sekarang, di jari manis kiriku sudah melingkar cincin kawin dengan huruf A terukir di bagian dalam ulirnya. Begitu juga dengan jari manis kiri Aldert. Melingkar cincin kawin berbentuk bundar polos dengan huruf T terukir di bagian dalam ulirnya. Cincin kawin yang meremukkan seluruh hati ini dengan sempurna. Hebat, dahsyat."Lepaskan aku, Aldert. Jangan kurang ajar kamu, kita belum menikah!" larangku dengan air mata yang mulai berjatuhan di wajah. Jangan tanyakan lagi bagaimana kabar otak, jantung, saraf-saraf dan
"Good morning, every body!" aku memasang wajah super cerah sewaktu tiba di dapur plus ruang makan keluarga. Meskipun jantung, otak, saraf dan peredaran darah sempat konslet tapi aku membulatkan tekad. Ini satu-satunya jalan untuk aku bisa segera pulang ke Indonesia, tanah tumpah darahku. Negeri kaya raya subur makmur di mana ada Batik, cinta sejati. Cinta mati."Hi, Aldert!" atas nama cinta tulus suciku pada Batik aku melemparkan senyum manis padanya, "Nice dream last night?"Alih-alih bahagia atau minimal senang, Aldert justru mendelik. Serius, seakan-akan baru saja aku mengatakan, "Hi, Play Boy atau hi, Buaya Darat Crazy Brengsek Predator ganas, tadi malam kamu mimpi dikeloni Mbak Kunti, ya?"Wah, awal yang sangat bagus bukan, Guys? Tidak sia-sia juga dulu aku
Sambil menyembunyikan senyum dalam hati, aku menyimpan ponsel di kantong bagian depan tas punggung merah kecil tercinta. Mengalihkan pandangan ke Aldert yang masih mengerucutkan bibir. "Sudah sih Aldert, jangan cemberut terus. Nanti gantengnya hilang, lho? Nanti kalau kita pulang jalan-jalan terus mama kamu pangling, gimana?"Aldert melihatku sekilas. "Habis kamu sih Pretty, lagi jalan sama tunangan juga teleponan sama cowok lain."Aku membelalakkan mata. Memasang wajah tersanjung setinggi-tingginya. "Idih, cemburu nih? Hahahaha … Aldert, Aldert. Katanya nggak selevel sama Arnold tapi kok, nisa cemburu gitu, sih?"Si Crazy Brengsek Predator ganas itu diam tak berkutik. Kembali fokus ke tugas menyetir. "Sebentar lagi kita sampai di Amsterdam nih, Pretty. Ka
Amstel. Canal of Amsterdam.Di sinilah kami berada sekarang, menaiki perahu dayung menyusuri aliran kanal yang bersih dan jernih. Aldert terlihat bersemangat mendayung, tentu saja. Mengulum senyum super manis sampai terlihat basah. Setengah mengerikan, setengahnya lagi menenteramkan hati. Eh! Maksudku, minimal tidak ada gejala usil, nakal atau semacamnya di sana."Bagaimana, Pretty Sweety?" pertanyaan Aldert membuatku gelagapan. "Lima puluh meter lagi ada jembatan pemberhentian. Kita akan terus berperahu atau istirahat dulu? Sebentar lagi juga sudah masuk jam makan siang." lanjutnya dengan mata berbinar-binar. Kalau kamu masih ingin berperahu, aku dengan senang hati mendayung atau mau aku ambil foto lagi? Oh, mau aku buatkan video?" tawar Aldert kental dengan nada merayu. "Mumpung masih di atas di perahu kan, kapan lagi?"
"Arnold, I am here!" kataku setengah berbisik begitu dia mengangkat teleponku. "Infront of Albert Heijn. Where are you?" (Di depan Albert Heijn. Kamu di mana?)Arnold terdengar lega saat menjawab pertanyaanku. Sepertinya dia juga tersenyum. Ah, dia pasti gembira karena aku bisa menjumpainya di sini. "OK, Hill. I'll go there as soon as possible. So wait for me, please? (Oke, Hill. Aku akan ke sana sesegera mungkin. Jadi, tolong tunggu aku, ya?)Sedikit lebih tenang dari pada detik-detik sebelumnya aku mengangguk. Menyimpulkan senyum bahagia. "OK, Arnold
Arnold melekatkan pandangan padaku setelah meneguk minuman dingin bersodanya. Intinya dia menanyakan berapa lama waktu yang kebutuhan untuk bisa pergi dari sini sebelum Hari H pernikahan yang mereka rencanakan. Dengan air mata bersembulan---merasa nyawa sudah di ujung tanduk---aku mengatakan kalau waktuku kurang dari tiga minggu. Arnold menyeringai, entah apa artinya."Give me a pen, please?" (Beri aku pulpen, tolong?) permintaan Arnold membuat semangatku bangkit kembali. Tanpa sedikit pun berusaha untuk menghapus air mata, aku merogoh ke dalam tas. Mengambil pulpen dan buku diary."Here you are, Arnold." aku mengangsurkan dua benda kesayangan itu padanya. Memandang lekat-lekat mata biru laut yang terlihat sedikit menyipit. Seb