Suara desahan dan erangan terdengar memenuhi sebuah kamar, di hotel bintang lima di tengah kota metropolitan. Pendingin ruangan yang ada di sana seolah tidak berfungsi dengan benar, sebab udara yang terasa benar-benar panas.
Arnold masih memacu tubuhnya di atas tubuh wanita yang dia temui tadi. Entah sudah berapa lama, tetapi dia belum juga mendapatkan pelepasan yang diinginkan.
Sementara, Grace bergerak liar tidak karuan di bawah. Sungguh, perkataan orang-orang tentang Arnold memang benar adanya. Pertahanan pria itu terlalu kuat. Terlebih lagi, dia sudah mengalami pelepasan untuk yang kedua kalinya. Menandakan betapa kuatnya pria itu.
“Ar—“ panggil Grace dengan napas tersengal-sengal. Wanita itu mencengkeram kuat pinggang pria yang ada di atasnya.
“Sedikit lagi, Honey.” Arnold menurunkan tubuhnya. Membungkam bibir Grace yang terus mengeluarkan suara seksi, sehingga membuat hasratnya kian menggebu.
Peluh sudah membasah
Tidak ada yang dapat mengubah kebiasaan buruk Arnold. Kelab malam, alkohol, dan para wanita, sudah menjadi kebiasaan sehari-hari yang tidak lagi terasa asing.Semua hal itu adalah tempat Arnold berlari, dari kemunafikan hidup yang dia jalani. Tempat dia singgah, saat rasa lelah dan perih mendera. Bolehkah sekali saja Arnold memiliki pilihan?Arnold ingin sekali memberontak? Ah tidak, semua ini adalah bentuk pemberontakan kecil yang dia lakukan. Dia hanya berharap, suatu saat kebiasaan buruk ini, akan membuat Tuan Danique memikirkan kembali, tentang keputusannya terhadap Arnold.Tak hanya itu, ada sang kakek yang juga memiliki peranan penting, dalam memerintahkan semua. Meski pria paru baya itu tinggal di Belanda, tetap saja seluruh kendali perusahaan ada di tangannya.“Opa, aku tidak mau menjadi seorang pengusaha. Aku kurang berminat di bidang itu.” Arnold menatap kakeknya dengan penuh permohonan.“Tidak ada penolakan, Ar. Kau ada
Jakarta, 2018Lamunan Arnold tentang masa lalu, buyar begitu saja karena suara seseorang yang berbicara kepadanya, secara tiba-tiba. Pria itu menengadahkan kepala, untuk memastikan siapa orang yang telah berani mengganggu waktunya.“Kenapa aku ada di sini? Aku sudah bilang, suasana hatiku sedang buruk, dan aku akan kembali ke kantor jika sudah membaik.” Arnold menatap kesal pria yang duduk di hadapannya saat ini.Perdebatannya dengan Grace beberapa saat lalu, masih menyisakan sedikit rasa kesal. Belum lagi, kejadian ketika Arnold benar-benar melihat Sofia ada di depan mata, tetapi dia gagal menemui wanita itu. Rasa kesal itu semakin bertambah, dan membuat suasana hatinya kian memburuk.“Ini sudah jam makan siang. Aku tidak sengaja melihatmu di sini.” Arzan menunjukkan jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Menandakan bahwa pria itu tidak berniat mengikuti atau menguntit Arnold.Namun, entah mengapa di kantor tadi, dia
Sofia terlihat mengusap wajahnya dengan sedikit kasar. Wanita itu ketiduran dari sore sepulang dari kafe. Entah apa yang kini dilakukan oleh El, dia juga tidak tahu.Dengan mata yang masih sedikit mengantuk, Sofia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Dia belum memasak makanan, untuk makan malam.Wanita itu bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Menanggali setiap pakaian yang menempel di tubuhnya. Lalu mulai mengguyur tubuh dengan air yang terasa sedikit dingin.Rasa lelah yang beberapa saat lalu sempat mendera, hilang begitu saja. Dinginnya air yang menyentuh kulitnya langsung, membuat Sofia merasa lebih segar.Tak butuh waktu lama, wanita itu segera menyelesaikan kegiatan di dalam kamar mandi. Dia harus segera memasak, sebelum El benar-benar kelaparan......“El!” panggil Sofia ketika sudah ke luar dari dalam kamarnya. Mata berwarna cokelat itu mencari keberadaan anak laki-lakinya di dalam ruang
Arzan menghempaskan tubuhnya begitu saja di atas sofa. Dia baru saja mengantarkan dokter keluarga yang memeriksa kondisi Arnold. Kondisi pria itu sedang tidak baik-baik saja. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Arnold sehingga dia mengalami gangguan kecemasan seperti ini lagi. Entah sudah yang ke berapa kalinya Arnold mengalami hal seperti ini. Awalnya memang terlihat begitu sepele, tetapi semakin kemari kondisi pria itu benar-benar menakutkan. Arzan mendongakkan kepalanya. Menatap langit-langit apartemen milik Arnold. Sepertinya, malam ini dia akan menginap di sini, untuk menemani Arnold. Arzan tidak bisa jika harus meninggalkan sahabatnya itu sendirian. “Siapa dia?” Tiba-tiba Arzan teringat akan perkataan Arnold sebelum pria itu benar-benar kehilangan kesadarannya. Dahi Arzan sedikit mengernyit. Dia tidak tahu siapa orang yang dimaksud oleh Arnold. “Apakah Sofia?” Mendadak kepalanya terasa berdenyut nyeri. Dia kembali m
Dareen berjalan dengan sedikit tergesa, sehabis menerima panggilan dari Arzan. Dia merasa sedikit khawatir.Lagi-lagi Arnold—kakaknya itu selalu saja menarik perhatian seorang Dareen. Entah apa yang sebenarnya mendasari perasaan khawatir yang datang dalam diri Dareen. Satu yang dia pahami, meskipun mereka tidak dekat, tetapi mereka tetap seseorang yang memiliki hubungan darah.Dareen menekan bel setelah sampai di depan pintu apartemen milik Arnold. Dia memang tidak tahu apa pun akses untuk masuk ke dalam sana. Dulu dia tahu, tetapi semenjak dia sering datang tiba-tiba, Arnold mengganti seluruh akses keluar masuk apartemennya, dengan dalih bahwa dia tidak suka diganggu.“Kau sudah datang?” tanya Arzan ketika sudah membuka pintu.Dareen mengangguk. Dia langsung saja masuk tanpa menunggu izin dari Arzan lagi.Melihat ruang tamu yang kosong, tanpa kehadiran Arnold, membuat dahi Dareen sedikit mengernyit. Satu pertanyaan yang terlintas
Di sinilah Sofia berada. Wanita itu terlihat berkali-kali meremat tangannya sendiri. Berusaha menghalau rasa gugup yang sejak tadi tidak bisa hilang.Nicholas menoleh. Menatap wanita yang sangat dicintainya itu, dengan tersenyum lembut. Diraihnya tangan Sofia yang terasa begitu dingin.“Kau gugup, Sayang?” tanya Nicholas seraya mengusap lembut tangan Sofia.Sofia menunduk. Wanita itu sama sekali tidak berani menatap wajah Nicholas. Padahal mereka masih berada di dalam mobil, tepat di depan rumah keluarga Nicholas.“Hei, kemari lihat aku!” Nicholas meraih dagu Sofia agar wanita itu menatapnya.“Aku takut.” Akhirnya bibir tebal milik Sofia berbunyi setelah cukup lama diam.Nicholas tersenyum. Dia paham dengan perasaan yang kini dialami oleh Sofia. Pria itu mendekatkan wajahnya. Menyingkirkan beberapa anak rambut yang memang dibiarkan oleh sang empu, tergerai begitu saja.Satu kecupan lembut mendarat d
Arnold kembali mengelilingi kota pada malam hari. Tidak ada yang dapat pria itu lakukan di saat dilanda sepi seperti saat ini.Jiwa itu telah lama merasakan kesendirian tanpa ujung. Bahkan, Arnold sama sekali tidak tahu tempat seperti apa yang harus dia kunjungi. Tempat di mana yang harus di datangi, dan siapa yang akan menjadi obat kegundahannya.Sejak kejadian beberapa hari lalu, Arnold semakin enggan berdekatan atau berbicara kepada siapa pun. Dengan Arzan sekali pun. Pria itu hanya ingin menghabiskan hari-harinya, tanpa gangguan dari siapa pun.Arnold melajukan mobil miliknya menuju taman kota. Dia ingin sedikit menghirup udara segar di malam hari.Sesampainya di taman kota, Arnold turun dari dalam mobil. Pria itu bersandar pada badan mobil, seraya menatap beberapa orang yang berlalu lalang di hadapannya.Taman kota memang terlihat begitu ramai di malam hari. Banyak orang berpegangan tangan sembari berjalan dengan tersenyum manis.Secerc
Sofia duduk dengan tersenyum kecil. Degup jantung wanita itu masih berdetak kencang tidak karuan. Bukan lagi karena gugup bertemu dengan Nicholas, tetapi karena kehadiran Alicia.“Mom,” panggil Nicholas kepada ibunya, yang sejak tadi hanya memandang Sofia dengan senyum penuh arti.“Eh, iya. Maafkan Mommy, Sayang.” Wanita paru baya itu menoleh, melihat ke arah suaminya.Sofia hanya bisa membalas dengan senyuman. Dia merasa canggung dengan situasi seperti ini. Situasi yang belum pernah dia hadapi.Sementara, Alicia masih duduk terdiam. Menatap Sofia dengan banyak pertanyaan. Ingin rasanya sejak tadi dia memberondong Sofia, tetapi Nicholas tidak mungkin membiarkan hal tersebut.“Siapa namamu, Sayang?”“Sofia, Mom. Aku sudah memberi tahu tadi, kan.” Nicholas menggeleng pelan. Pertanyaan macam apa itu.“Bukan kau, yang Mommy tanya!”“Sofia, Tante.” Sofia terseny