Share

Bab 3

Tak usah memusingkan dunia yang bising.

Jalani saja hari-hari dengan gagah berani.

Toh hidup ini selalu penuh dengan kejutan, bukan?

Sekeras apapun usahamu untuk mempersiapkan diri,

kau pasti akan tetap terkejut pada akhirnya.

Hari Senin pukul sembilan pagi. Aku sedang mengetik email ketika ponselku berbunyi. Ada notifikasi W******p dari *Samudra. Aku buru-buru menyelesaikan email itu, menekan tombol send, lalu membuka ponselku.

Muncul sebuah foto yang dikirimkan Sam. Foto itu menampilkan empat air terjun yang airnya mengalir dari bukit bersemak yang tidak begitu tinggi. Airnya mengalir melimpah ruah ke bebatuan besar dan landai di bawahnya sehingga nampak seolah-olah ada air terjun-air terjun mini yang mengalir ke kolam berwarna kehijauan di depannya. Aku familiar dengan tempat itu, Sam pernah mengajakku ke tempat itu.

*Samudra:

Wish U were here. (Andai kamu di sini)

Aku:

Me too. Air terjun Sri Gethuk ya ini?

*Samudra:

Iya. Ngadem. Pusing di studio melulu

Aku:

Art block?

*Samudra:

Hahaha. Tahu saja. Dapet salam dari Mas Robert nih.

Aku:

Kok nyulik juragan angkringan sih?

*Samudra:

Emang bisa nyulik sekretarisnya Nilsson?

Aku:

Hehe...

*Samudra:

Nanti pulang kerja aku jemput ya.

Aku:

Yes, please! Can't wait to see you! (Ya, ya! Nggak sabar deh!)

Aku senyum-senyum sendiri melihat layar ponselku. Sam memang bisa jadi begitu perhatian kalau sedang tidak melukis. Seolah-olah dia menjelma menjadi pribadi yang benar-benar berbeda. Aku masih melihat foto air terjun tadi ketika Mr. Nilsson berhenti di depan mejaku. Kursi roda elektriknya menghadap ke arah pintu. Mukanya terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini atasanku itu tampak pucat dan selalu pulang lebih awal sekitar jam satu siang.

"May I help you, Mr. Nilsson?" (Ada yang bisa saya bantu, Mr. Nilsson?)

"I forgot to tell you that I need to go the airport." (Saya lupa bilang kalau saya harus ke airport.)

Aku bingung. Aku yakin betul Mr. Nilsson tidak ada agenda ke luar kota, apalagi ke luar negeri. Aku tidak memesan tiket pesawat apapun untuk minggu ini.

"But I didn't book any flight ticket for you," (Tapi saya nggak memesankan tiket pesawat apa pun buat Mister) kataku akhirnya.

"No, no. I'm not flying anywhere. I'm picking up my nephew. Do you remember Jason?" (Nggak, saya nggak mau pergi ke mana-mana. Saya mau jemput keponakan saya. Kamu ingat Jason kan?)

"Of course I do." (Tentu saja.)

Ingatlah, batinku kecut. Keponakan Mr. Nilsson yang wajahnya mirip Henry Golding itu mana mungkin bisa dilupakan dengan mudah. Berbeda dengan pamannya, Jason memiliki wajah Eurasia yang tampan. Ayah Jason yang merupakan saudara kembar Mr. Nilsson itu berdarah Swedia. Sedangkan ibu Jason sendiri aku tidak tahu berasal dari Asia bagian mana. Yang pasti, perpaduan Eurasia yang sempurna itu sering membuatku kerepotan.

Aku sebenarnya tidak ada masalah dengan Jason secara pribadi. Hanya saja, setahun yang lalu ketika Jason berada di Nilsson Home selama tiga minggu, ruanganku jadi sering didatangi staf-staf wanita dari lantai atas. Mereka mendekatiku hanya untuk berbasa-basi supaya bisa ketemu Jason. Aku tidak sedikit pun menikmati masa-masa dimana aku harus melayani para fans Jason. Ada beberapa staf yang tidak malu-malu minta tolong padaku untuk memfotokannya dengan Jason. Ada juga staf yang tiga hari berturut-turut membawakannya cake sampai akhirnya Jason melarangnya dengan halus. Dan yang paling gila, ada Yuni, salah satu staf bagian exim, yang setiap pagi membuatkannya kopi tanpa diminta. Setiap pagi! Seheboh itulah ruanganku ketika ada Jason. Jadi bagaimana mungkin aku bisa lupa dengan Jason?

"So, can you arrange pak Jono to take me to the airport now?" (Jadi, kamu bisa atur Pak Jono untuk mengantar saya ke bandara sekarang?)

"Sure, Mr. Nilsson. Please wait." (Tentu, Mr. Nilsson. Mohon tunggu sebentar.)

Tak lama setelah Mr. Nilsson pergi, Damar dari departemen Human Resource dan dua orang pekerja laki-laki membawa masuk sebuah meja ke ruanganku. Meja itu modelnya sama persis dengan mejaku.

"Buat apa mejanya ditaruh di sini, Mar?

Dia menyerahkan selembar kertas padaku. "Buat temen baru kamu dong. Masa buat pajangan."

"Temen baru? Siapa?"

Damar menggosok-gosok ujung hidungnya yang tidak gatal. Setelah dua pekerja laki-laki tadi selesai meletakkan meja sesuai arahannya dan keluar dari ruanganku, Damar mulai bicara lagi.

"Jason akan gabung dengan kita."

"Serius, Mar?"

"Serius lah. Aku sudah selesai ngurus RPTKA, IMTA sama KITAS-nya."

"Kok Mr. Nilsson nggak bilang apa-apa sama aku?"

Damar tersenyum. "Nggak usah khawatir, sementara ini yang tahu dia mau kerja di sini cuma aku sama Bu Farah."

"Posisi apa, Mar? Geser posisiku?" tanyaku cemas.

"Mana mau si Jason jauh-jauh ke sini cuma jadi personal assistant pakdhenya, Yu? Kamu ini ada-ada saja."

"Terus posisi apa? Kenapa duduknya di sebelahku?"

"Kalau di RPTKA sih Business Development Manager."

"Ya masak manager duduknya sebelahan sama aku. Kenapa nggak di atas saja? Jadi satu sama semua departemen lainnya."

Aku sudah ngeri membayangkan harus bekerja dalam satu ruangan dengan Jason. Staf-staf wanita dari lantai atas pasti akan sering-sering datang ke ruanganku lagi.

"Memangnya kenapa? Kamu grogi sebelahan sama bule ganteng?"

"Grogi gundulmu, Mar. Aku tuh males ngeladenin fans Jason."

Damar tersenyum lebar. Dia tahu betul aku tidak akrab dengan staf-staf wanita dari departemen keuangan dan exim. Aku bisa akrab dengan Damar pun karena kami masuk ke Nilsson Home pada saat yang bersamaan. Beberapa kali bercakap-cakap ketika menunggu antrian interview dan psikotest membuat kami langsung akrab ketika kami berdua diterima di perusahaan ini.

"Anggaplah ini kesempatan emas untuk bergaul dengan departemen keuangan dan exim, Yu. Memangnya kamu nggak bosen makan siang sama aku dan Mbak Maya melulu?"

"Nggak lah. Aku nggak selevel sama mereka. Repotlah kalau aku harus pakai barang branded dulu baru bisa temenan sama mereka."

Damar tersenyum maklum. "Iya iya. Tuh buruan tanda tangan form serah terima inventarisnya," kata Damar akhirnya.

Aku membaca dokumen itu. Setelah memastikan item barangnya sudah tepat, aku menandatangani dan menyerahkannya kembali ke Damar.

"Oke, aku balik dulu ke atas. Nanti ada teknisi ke sini nambah stop kontak. Suruh pasang di situ," kata Damar sambil menunjuk dinding di belakang meja yang baru tadi.

"Yes boss. Ada lagi?"

"Iya, satu lagi. Tuh mulut kamu dilap dulu. Cemong tahu!" kata Damar sambil berjalan keluar dari ruanganku.

Aku buru-buru mengambil cermin dari make up pouch. Sial, ada bekas Van Houten yang membentuk dua bulan sabit kecil di masing-masing sudut kanan dan kiri bibirku.

Aku masih memakan sepiring rujak berdua dengan Mbak Maya di kantin ketika Yuni dan Anita menghampiri kami. Mereka masing-masing membawa sebotol Coca Cola dan teh botol Sosro. Setelah mengambil kursi plastik dari meja sebelah, mereka duduk di meja yang sama dengan kami. Tumben sekali mereka mau duduk dengan kami.

"Katanya mulai besok Mr. Jason kerja di sini ya, Mbak?" tanya Yuni sambil memainkan sedotannya di botol Coca Cola yang digenggamnya.

Oh, rupanya Jason yang membuat mereka mampir ke meja kami. "Yang aku dengar sih begitu," jawabku.

"Mulai besok, aku akan sering mampir ke ruanganmu lagi, Mbak. Aku mau ngasih kopi ke Mr. Jason setiap pagi. Dia kan suka banget sama kopi buatanku," katanya dengan senyum yang penuh dengan rasa percaya diri.

Siapa bilang Jason suka dengan kopimu? Dulu aku yang terpaksa meminum kopi itu setiap hari karena dia tidak suka kopi dengan gula. Dan kopimu kemanisan, batinku.

"Terserah kamu saja, Yun," kataku dengan senyum yang terpaksa kutampilkan atas dasar kesopanan.

"Pacar Mbak Yuni nggak keberatan kalau tahu?" tanya Anita sambil memainkan rambutnya yang di-curly ujung-ujungnya.

"Ya jangan sampai tahu lah," jawabnya sewot.

"Nanti saya yang kasih tahu," tiba-tiba Damar menyela sambil duduk di kursi yang kosong di sebelahku. Dia membawa segelas es teh dan semangkuk soto panas.

"Eh, Mas Damar jangan begitu dong," kata Yuni dengan nada memelas.

"Pacarmu anak QC itu kan?" tanya Damar sambil mengaduk sotonya.

"Aduh, jangan dong, Mas. Saya janji nggak akan buatin kopi Mr. Jason lagi deh."

Damar menyeruput es tehnya. "Jangan genit-genit di kantor. Saya nggak mau ada ribut-ribut yang nggak ada kaitannya dengan pekerjaan di perusahaan ini."

"Iya, Mas," jawab Yuni pendek lalu meminum Coca Cola-nya sampai tandas. "Saya permisi dulu. Yuk, Nit," Yuni berdiri dari duduknya lalu mencolek pundak Anita.

"Duluan ya, Mbak, Mas," pamit Anita pada kami bertiga.

Setelah Yuni dan Anita pergi, Mbak Maya mulai tertawa terkikik. "Mar, Damar. Tega banget kamu sama Yuni," katanya.

"Sebenarnya sih aku nggak peduli, Mbak. Biar pun dia sudah pacaran sama anak QC, kalau masih mau main-main sama cowok lain itu urusan dia. Tapi karena cowok yang dia taksir itu keponakannya Pak Bos, aku harus tegur dia. Aku nggak mau ada ribut-ribut yang nggak penting di sini."

"Terima kasih ya, Mar," ujarku sambil menepuk-nepuk lengannya.

"Kenapa terima kasih sama Damar, Yu?" tanya Mbak Maya heran.

"Ya berkat Damar, fans Jason yang bikin rame ruanganku berkurang satu," kataku sambil nyengir.

"Sini sun dulu," kata Damar menyodorkan pipi kanannya padaku.

"Ogah," aku tertawa sambil mendorong pipinya dengan dua jariku.

"Kalau begini sih kamu menang banyak dong, Yu," kata Mbak Maya sambil mencocol potongan timun ke sambal rujak.

"Kok bisa?" tanyaku.

"Kamu memonopoli Jason. Gantengnya kamu nikmati sendiri. Nggak bagi-bagi sama kita."

"Kita? Aku masih normal, Mbak," potong Damar cepat.

"Kita staf perempuan, maksudku. Kamu sih nggak usah ikutan," ujarnya sewot.

"Enak saja nuduh aku monopoli. Kalau bisa ya, Jason duduknya di lantai atas saja. Aku ikhlas."

"Ah, aku nggak percaya kalau kamu nggak kesengsem juga sama Jason."

"Yang ganteng-ganteng bule begitu bukan tipeku, Mbak."

"Hati-hati, Yu. Yang bukan tipemu, bisa jadi jodohmu lho," kata Mbak Maya dengan nada serius.

"Iya, Yu. Mungkin cowok kurus yang bukan tipemu kayak aku ini bisa jadi jodohmu," sambung Damar.

Mbak Maya melempar potongan mangga muda ke dada Damar, "Ngarep!"

Aku tertawa mendengar gurauan itu. Tidak pernah sedikit pun aku membayangkan pria lain yang akan menjadi jodohku. Di benakku hanya Sam yang kuharapkan menjadi jodohku. Sebelum tidur pun sering kali aku membayangkan pernikahan kami kelak. Aku dan dia menggunakan baju pernikahan adat Jawa, duduk di pelaminan sambil saling bertatapan dengan mesra. Senyum tidak lepas dari wajah kami.

"Jadi sudah pasti ya Jason mulai kerja besok?" tanya Mbak Maya membuyarkan lamunanku.

"Sudah pasti," jawab Damar sambil melap keringat di dahinya dengan tissue.

"Tinggal di mana dia? Satu rumah sama Mr. Nilsson?" tanyaku iseng.

"Iya. Untung saja aku nggak disuruh nyariin apartemen buat dia. Kerjaan lagi banyak."

"Semoga betah lah dia di sini," kataku akhirnya.

"Betah lah, ada kamu di sebelahnya. Coba yang duduk di sebelahnya Damar, pasti dia langsung minta balik ke negaranya," kata Mbak Maya sambil nyengir.

"Heran deh. Dari tadi Mbak Maya kayak lagi nyomblangin aku sama Jason."

"Apa salahnya, Yu? Dia single, kamu single."

"Salah, aku nggak single," kataku menyanggahnya.

"Halah, Sam belum nikahin kamu. Kamu masih single di mataku," kata Mbak Maya tidak mau mengalah.

"Sudah, sudah. Jangan sampai ada Yuni kedua di sini," kata Damar melerai kami.

Tiba-tiba Mbak Maya terkikik lagi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, "Aku masih nggak habis pikir. Bisa-bisanya dia bikin kopi setiap hari buat Jason tahun lalu. Kalau saja dia tahu yang meminum kopi buatannya itu Hayu, dia pasti mencak-mencak!"

"Sssttt! Nggak enak kalau ada yang dengar," bisikku pada Mbak Maya.

"Kamu yang minum kopinya? Bukan Jason?" tanya Damar sambil menoleh padaku.

Aku berbisik padanya, "Jason nggak suka kopi yang dikasih gula."

Meledaklah tawa Damar. Mbak Maya ikut tertawa terkikik. Beberapa karyawan yang makan di dekat meja kami melihat kami dengan keheranan. Aku rasa ada baiknya Jason mulai bekerja di sini. Pasti seru sekali melihat tingkah-tingkah aneh para staf wanita yang tergila-gila dengan ketampanannya. Aku jadi tidak sabar menunggu besok pagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status