Share

Bab 2

Hatiku mudah terikat.

Dan kamu berdiri terlalu dekat.

Kini masa depan terlihat pekat,

tak lagi memikat.

Jarum jam dinding baru menunjuk angka tujuh ketika ada ketukan di pintu rumahku. Aku segera bangkit dari sofa. Aku melihat sebentar pantulan wajahku di cermin dan menyisir sebentar rambutku yang beratakan. Pintu itu kembali diketuk agak keras dibanding ketukan yang pertama tadi. Aku bergegas membuka pintu, berharap Sam lah yang berdiri di balik pintu. Kekecewaan langsung menghinggapi hatiku. Ternyata Laras, sepupuku, yang berdiri di situ dengan senyum lebarnya yang khas.

"Kamu kan tinggal disini, Ras. Kenapa nggak buka pintu sendiri sih?" omelku.

"Kunciku ketinggalan di kamar," Laras menjatuhkan diri di sofa.

"Lain kali kuncinya diikat ke hidungmu."

"Ide bagus tuh. Piye carane, Mbak?" godanya.

Aku tidak menghiraukan leluconnya. Aku kembali duduk di sofa dan menyibukkan diri dengan ponselku. Laras memiringkan tubuhnya sedikit ke arahku. Dia sedang menyenandungkan lagu Glenn Fredly dengan lembut. Tanpa aku sadari, dia mengintip ke layar ponselku tepat ketika aku melihat-lihat akun i*******m Sam.

"Aaah... kirain dari tadi manyun kenapa. Ternyata ya ckckck," kata Laras tiba-tiba. Kali ini dia dengan terang-terangan melihat layar ponselku.

Aku menoleh padanya dengan kesal, "Nggak sopan amat sih lihat-lihat hape orang."

"Sorry, Mbak. Akhir-akhir ini Mbak Hayu sering cemberut. Aku jadi penasaran."

Aku meletakkan ponselku di atas meja. Kusandarkan kepalaku ke sandaran sofa lalu duduk bersila sehingga menyebabkan sofa tua itu berderit. Aku menatap langit-langit sambil menghembuskan nafas agak berat. Aku tahu Laras mencoba mencari tahu kenapa aku uring-uringan akhir-akhir ini. Kami sudah hidup bersama sejak ibuku meninggal dunia lima tahun yang lalu, jadi dia pasti tahu kalau ada yang mengganggu pikiranku.

"Aku kangen Sam," kataku akhirnya.

"Memangnya kapan Mbak terakhir ketemu Mas Sam?"

Aku tidak menjawabnya. Bukan karena aku tidak mau, tapi aku lupa kapan terakhir kali Sam menemuiku. Mungkin tiga minggu yang lalu, atau sebulan yang lalu?

"Oke, nggak dijawab nih. Kalau telepon atau wa, terakhir kapan?" tanyanya tidak sabar.

"Dua hari yang lalu," kataku singkat.

"Dia bilang apa?"

"Dia bilang mau ngajak jalan weekend ini. Dia juga minta maaf sudah sibuk banget akhir-akhir ini," jawabku jujur. Well, itu tidak seratus persen benar sih. Sam tidak pernah meminta maaf. Dia adalah orang yang sulit untuk meminta maaf.

"Mbak sudah coba telepon dia? Ini Jumat malam. Sudah masuk weekend lho."

"Nggak ah. Nanti aku dibilang kayak anak ABG yang selalu nagih pacaran tiap malam minggu."

"Hah? Mas Sam pernah bilang begitu?"

"Nggak sih. Aku cuma nggak mau sampai dia mikir begitu."

"Gusti! Kalian tuh pacaran sudah lama. Nggak mungkin lah Mas Sam bakal mikir begitu. Telepon saja sekarang. Kalau dia nggak jawab, ya Mbak sudah tahu lah harus bagaimana. Bukan hal baru juga kan Mas Sam nggak jawab telepon?"

Bahuku terkulai lemas. Akhirnya aku mengirim pesan kepada Sam lewat W******p lalu meletakkan ponselku lagi di atas meja.

"Aku mau bikin teh. Mbak mau?" tanya Laras mengalihkan pembicaraan. Dia tahu kalau aku tidak mau menelepon Sam. Karena pembawaannya yang halus, Laras tidak pernah memaksaku untuk melakukan sesuatu walaupun hal itu baik untukku.

"Aku bodoh ya, Ras?" tanyaku mengabaikan tawaran Laras.

"Bodoh kenapa?"

"Ya bodoh karena masih mempertahankan hubunganku sama Sam."

"Kenapa ngomong begitu sih, Mbak?"

"Mbak Maya pernah bilang kalau hubunganku sama Sam itu nggak sehat. Akhir-akhir ini aku jadi mikir begitu juga."

"Kenapa Mbak Hayu jadi ikut mikir begitu?"

"Ya kan kamu tahu sendiri, Ras. Sam sampai sekarang masih sering melakukan apa saja sesuka dia. Tahu-tahu ngilang. Nggak bisa dihubungi."

"Kan dari dulu memang begitu. Berarti hubungan kalian sudah nggak sehat dari dulu?" Laras nyengir.

"Semprul kowe, Ras. Diajak curhat malah cengengesan."

"Kalau ada yang bilang hubungan Mbak sama Mas Sam nggak sehat, jangan diambil pusing. Yang jalani hubungan ini kan Mbak, bukan mereka. Kalau memang nggak layak dilanjutkan, ya Mbak yang harus menilainya sendiri. Jangan memutuskan sesuatu berdasarkan apa kata orang," kata Laras sambil beranjak dari sofa. "Aku mau buat teh dulu."

Sebenarnya, aku sudah sering berfikir bahwa hubunganku dengan Sam tidak layak dipertahankan lagi. Tidakan-tindakan Sam lah yang seringkali membuatku meragukan kelanjutan hubungan kami. Lelaki mana yang pergi selama dua minggu ke Kalimantan tanpa mengabari kekasihnya? Atau adakah lelaki yang lebih memilih nonton konser Jazz dengan teman-temannya daripada menemani kekasihnya yang sedang dirawat inap di rumah sakit? Atau sudah lumrahkah seorang seniman terlalu sibuk dengan lukisannya sampai-sampai tidak menghubungi kekasihnya sama sekali selama berminggu-minggu? Ya, begitulah Sam.

Tapi mau sekeras apapun aku berusaha melepaskannya, sepertinya semesta masih berpihak pada hubungan kami. Hampir setiap kali aku merasa ragu, Sam seolah-olah tahu dan dia muncul lagi dengan segala pesonanya. Membuaiku untuk jatuh cinta lagi padanya. Selalu saja seperti itu.

-.-.-.-.-

"Mbaaak, bangun! Itu ada yang nyari," Laras mengguncang-guncang bahuku.

"Suruh kesini lagi nanti. Ini hari Minggu, Ras. Aku mau bangun siang," protesku masih dengan mata terpejam.

"Ini sudah jam delapan, Mbak. Kurang siang?"

Aku masih memeluk guling tak menggubrisnya.

"Ya sudah, Mas Sam aku suruh pulang saja ya?" tanya Laras dengan suara yang sengaja dikeraskan.

Setelah beberapa detik, aku membuka mataku yang terasa sangat berat. Aku baru tertidur jam dua pagi tadi setelah menyelesaikan Sky Is Falling-nya Sidney Sheldon.

"Kalau ini cuma bercanda, awas kamu, Ras!"

"Itu orangnya nunggu di teras. Disuruh masuk, apa disuruh pulang?"

Aku langsung duduk sambil memegang kepalaku yang sedikit berdenyut-denyut.

"Suruh nunggu sebentar, aku mandi dulu."

Aku mengamati Sam yang sedang duduk di sofa sambil menonton TV. Rambutnya yang bergelombang dibiarkan tergerai sebahu. Banyak yang menyangka rambut Sam ditata di salon dengan highlight pirang di beberapa bagian. Hanya orang-orang terdekat saja yang tahu kalau semburat pirang itu muncul karena dia sering menghabiskan banyak waktu di bawah matahari. Entah berkeliling di pantai atau candi-candi di sekitar Yogyakarta untuk mencari inspirasi.

"Mau liatin aku sampe kapan, Yang?" tanya Sam menyadarkanku.

Aku segera duduk di sebelahnya. Pagi ini aku memakai kaos oblong oversized berwarna hitam bertuliskan Metallica yang sudah mulai pudar dan celana pendek batik Kawung warna hijau muda. Rambut panjangku yang melewati bahu kubiarkan tergerai. Sam menyukai rambut panjangku. Dia sering kali mengelus-elus atau memainkan rambutku. Seperti saat ini, dia mulai memainkan ujung rambutku dengan jari-jarinya.

"Aku bawain lopis buat sarapan. Mau aku bikinin teh sekalian nggak, yang?"

"Ini kan rumahku, masa kamu yang bikin teh."

"Ya kan aku sudah hafal di mana dapurnya, bagaimana cara nyalain kompornya, kayak apa teh yang kamu suka," kata Sam sambil mengelus-elus puncak kepalaku dan menyunggingkan senyum terbaiknya.

"Aku nungguin kamu tadi malam, Yang. Aku WA juga nggak kamu bales," kataku merajuk.

"Nanggung, semalam sekalian bersihin studio. Kenapa?"

Aku meremas tangannya. Mata kami beradu. Ada banyak yang ingin aku katakan, tapi seperti biasa, aku ragu-ragu mengatakannya pada Sam.

"Aku kangen kamu, Yang," kataku akhirnya.

"I miss you too. And guess what? Today I'm yours," (Aku juga kangen kamu. Dan coba tebak, hari ini aku jadi milik kamu) kata Sam sambil memelukku.

"Kalau begitu, hari ini kita di rumah saja ya. Nonton film."

Sam melepas pelukannya lalu tersenyum. "Capek banget ya? Kerjaan lagi banyak?" tanya Sam dengan penuh perhatian.

"Nggak juga sih. Cuma males saja keluar rumah hari Minggu. Macet banget."

"Jogja kan memang begitu tiap Minggu. Kenapa males keluar rumahnya baru sekarang?"

Sam meletakkan sikutnya di sandaran sofa dan menyandarkan kepalanya di atas tangannya. Dia terlihat sangat santai dan tampan. Alisnya tebal, bulu matanya panjang tapi tidak lentik, matanya agak sipit, hidungnya mancung, bibirnya berwarna agak gelap, dagunya sedikit berbelah, dan kulitnya sawo matang. Aku selalu merasa bahwa Sam adalah pria Jawa yang paling tampan yang aku kenal. Selain itu, aku suka cara Sam yang selalu tampil santai dan enak dilihat. Seperti hari ini, Sam memakai kaus v-neck lengan pendek warna abu-abu, jeans warna hitam, dan sepasang sepatu Converse warna hitam favoritnya.

"Hey, kok bengong sih." Kata Sam sambil menyentil hidungku.

Pipiku menghangat. Aku menangkupkan kedua tanganku di pipi Sam.

"Jangan sering ngilang, Yang. Aku sampai lupa kalau kamu ganteng."

Sam tersenyum lebar lalu mencium dahiku.

"Buruan lopisnya dimakan. Aku bikinin teh. Trus habis itu kita keluar ya!"

"Mau kemana memangnya?"

"It's a surprise. Yang penting dandan yang cantik biar nggak malu-maluin," kata Sam sambil berjalan ke arah dapur.

"Malu-maluin gundulmu, Yang!" Aku melemparkan bantal sofa ke arah Sam dan mengenai punggungnya. Dia hanya tertawa terkekeh.

Aku melongo ketika Sam memarkirkan motornya di depan toko emas Semar Nusantara di Demangan. Awalnya aku pikir akan diajak ke salah satu tempat wisata alam yang ada di Gunung Kidul seperti biasanya. Aku tidak pernah mengira akan diajak ke toko emas seperti sekarang.

Kami masuk ke dalam toko yang penuh dengan pengunjung yang melihat-lihat perhiasan emas yang dipajang di kotak-kotak kaca besar yang berjejer rapat. Sam berhenti di etalase yang memajang berbagai model cincin emas. Mungkinkah Sam memintaku untuk memilih cincin tunangan? Sebaiknya pilih cincin model polos atau yang ada permatanya? Kalau di I*******m, artis-artis Hollywood suka memamerkan cincin tunangannya yang bertahta berlian. Ah, tak perlu berlian. Pilih cincin dengan satu batu permata kecil saja yang memberi kesan manis dan sederhana.

Harapan-harapan yang menyenangkan itu tidak bertahan lama, ternyata Sam hanya menanyakan kepada salah satu pramuniaga di situ untuk menunjukkan etalase mana yang memajang kalung. Dan sekarang kami berdiri di depan etalase yang memamerkan berbagai macam kalung emas dengan liontin-liontin indah.

"Pilih, Yang!" kata Sam sambil merangkul pundakku.

"Buat siapa?"

Sam memandangku heran, lalu tersenyum tipis.

"Buat kamu dong. Aku kan nggak suka pakai kalung."

"Dalam rangka apa?"

Sam mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, "Banyak nanya. Aku cium disini mau?"

Pipiku menghangat. Aku tahu betul kalau Sam tidak pernah ragu-ragu membuktikan ancamannya. Aku segera mengedarkan pandanganku pada kalung-kalung yang ada di etalase di hadapan kami. Ada dua buah kalung yang menarik perhatianku. Aku menunjuk dua buah kalung emas warna rose gold dengan liontin yang berbeda. Liontin kalung yang pertama berbentuk bunga anggrek dengan tiga permata kecil warna putih berjejer sebagai tangkainya, sedangkan liontin kalung yang kedua berbentuk dua sayap yang disatukan dengan satu batu permata warna biru muda berbentuk hati.

"Kamu suka yang mana, Yang?" aku meminta saran Sam yang sedang berkonsentrasi mengamati kedua liontin itu.

"Yang ini saja," kata Sam sambil meraba liontin yang berbentuk sayap.

"Kenapa?"

"Cocok sama nama kamu, Rahayu Maheswari. Bidadari yang cantik. Bidadari harus punya sayap, kan?"

Seketika pipiku menghangat lagi. Perempuan mana yang tidak tersipu dipuji begitu di tempat umum yang ramai begini?

"Suaminya romantis banget sih, Mbak," celetuk wanita setengah baya yang sedang memilih-milih kalung emas di sebelah Sam yang juga mendengar pujiannya tadi.

Aku cuma membalasnya dengan anggukan dan senyum terima kasih. Sambil meremas jari-jari Sam dengan erat, aku menyerahkan kalung yang dipilihnya ke pramuniaga tadi. Sambil menunggu nomor antrian kami dipanggil oleh kasir, kami duduk bersebelahan di sofa hitam tanpa sandaran yang tersedia di toko itu.

"Jadi ini dalam rangka apa? Ulang tahunku kan masih tiga bulan lagi, Yang."

"Memangnya kalau ngasih sesuatu ke kamu harus ada dalam rangka apanya ya?"

"Bukan begitu maksudku. Maksudku, pemberianmu ini spesial. Aku jadi penasaran, apa yang bikin kamu baik banget begini?"

Sam tersenyum dan mengelus kepalaku dengan lembut. Gerakan yang sering dilakukan Sam ini tidak pernah gagal membuatku senang dan Sam tahu itu.

"Dalam rangka Mr. Bong sudah bayar termin kedua. Pelunasannya masih nunggu nanti kalau lukisanku sudah sampai di KL. So, I just wanna give you something nice." (Jadi, aku mau kasih kamu sesuatu yang bagus.)

"It's more than nice. You are so kind." (Ini sih lebih dari bagus. Kamu baik banget)

"And you look so happy." (Dan kamu kelihatan senang.)

"Of course, I'm happy!" (Tentu saja aku senang!)

"I like seeing you happy." (Aku suka melihatmu senang.)

Ya, inilah Sam yang berkali-kali membuatku jatuh cinta lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status