Share

Hush! No Drama Allowed
Hush! No Drama Allowed
Penulis: Helmina Ang

Bab 1

Bukankah tidak apa-apa,

jika merasa nyaman terjebak dalam rutinitas?

Salahkah berpuas diri dengan apa yang dimiliki saat ini?

Panggillah aku si membosankan, aku tidak keberatan.

Tak banyak perusahaan furnitur yang berorientasi ekspor di Yogyakarta. Dari yang tak banyak itu, Nilsson Home adalah salah satunya. Perusahaan furnitur yang didirikan oleh Karl Nilsson di daerah Timbulharjo, Yogyakarta itu telah berdiri sejak dua belas tahun yang lalu. Aku bekerja di perusahaan itu sebagai asisten pribadi Mr. Nilsson selama lima tahun terakhir.

Selama hidupku, aku tidak pernah tinggal di kota lain. Bagiku Yogyakarta adalah rumahku dan aku tidak punya keinginan untuk mencoba hidup di kota lain. Tentu saja aku pernah ke Jakarta atau Denpasar waktu sekolahku dulu mengadakan study tour, tapi kedua kota besar itu pun tidak ada yang memikat hatiku. Sama halnya dengan pilihanku untuk tetap tinggal di kota ini, aku juga tidak memiliki keinginan untuk menjajal pekerjaan di perusahaan lain. Rutinitas pekerjaanku di perusahaan ini sudah membuatku nyaman. Memang ada kalanya Mr. Nilsson menjadi sangat penuntut, tapi semua masih bisa kuatasi.

Sebagai asisten pribadi, aku beruntung memiliki ruang kerja semi pribadi yang berukuran enam kali empat meter dan terhubung secara langsung ke ruang kerja Mr. Nilsson. Dinding ruanganku dihias dengan wallpaper warna ivory bertekstur yang memberi kesan profesional. Hanya ada dua buah lemari arsip, sebuah meja kerja, dan kursi kantor yang semuanya berwarna abu-abu muda yang senada di ruanganku.

Aku menguap dan secara otomatis menutup mulut dengan tangan kananku. Kenapa hari ini sepertinya berjalan begitu pelan? Aku melihat jam tanganku. Masih jam tiga sore. Hari Jumat begini selalu membuat setiap orang ingin menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat di Nilsson Home.

Sama seperti mereka, aku juga ingin meninggalkan kantor pada jam lima tepat sore ini. Aku sudah tidak sabar ingin segera menikmati hari libur dengan Sidney Sheldon yang kubeli minggu lalu.

Sambil menyeruput kopiku yang sudah dingin, aku kembali memeriksa checklist harian di buku agendaku.

Membagikan notulen meeting kemarin via email , centang.

Membalas email yang masuk hari ini, centang.

Mengirim sample kain ke Pak Danu, centang.

Menyelesaikan laporan kas kecil mingguan, centang.

Memperbarui jadwal Mr. Nilsson untuk minggu depan, centang.

Semua pekerjaan yang harus dilakukan hari ini sudah kuselesaikan. Aku mengklik ikon refresh untuk memastikan tidak ada email penting yang terlewat. Setelah beberapa detik, jumlah email yang ada di inbox masih sama seperti tadi. Tidak ada satu pun email baru. Baiklah, apa yang harus aku lakukan sekarang supaya tidak bosan? Kalau saja Mr. Nilsson tidak pulang awal hari ini, pasti ada saja pekerjaan yang harus aku lakukan untuknya.

Aku paling tidak suka duduk di mejaku tanpa melakukan sesuatu. Daripada bengong, lebih baik ngobrol dengan Mbak Maya saja, putusku. Semoga saja dia tidak sedang repot.

Ketika aku sampai di lobby, Mbak Maya kelihatan sangat kesal saat menjawab telepon. Kedua alisnya mengkerut, mulutnya manyun. Aku berjalan mendekati mejanya yang terlihat rapi, terlalu rapi malahan. Tidak ada buku catatan, tidak ada bolpoin, tidak ada apapun kecuali telepon yang sedang dia gunakan. Sepertinya dia ingin segera meninggalkan meja kerjanya ketika bel pulang berbunyi.

"Ya, saya mengerti. Tapi dari tadi saya sudah bilang kan, Pak Joko tidak bekerja di sini lagi," jawab Mbak Maya dengan nada kesal. Dia melihatku berjalan ke arahnya. Dia segera memberi sinyal padaku untuk mendekat ke receiver telepon yang dipegangnya. Mbak Maya sengaja meletakkan receiver di antara telinga kirinya dan telinga kananku. Aku mendengar suara pria yang sedang meracau dengan nada tinggi dari receiver itu. Seperti dugaanku, pria itu adalah penagih hutang dari suatu bank. Baru mendengarnya beberapa detik saja sudah membuatku kesal, apalagi Mbak Maya yang dari tadi meladeninya.

"Anda sangat dipersilahkan untuk datang ke kantor kami dan bertemu dengan atasan saya untuk melaporkan sikap saya yang tidak sopan. Selamat sore," katanya menyudahi percakapan itu.

Tak berapa lama, telepon itu berdering lagi. Mbak Maya memutar matanya dengan kesal lalu menjawab telepon itu. "Kok Bapak telepon lagi? Tadi katanya mau ke sini ketemu atasan saya?"

Si penelepon berteriak-teriak mengucapkan sumpah serapah yang terdengar olehku yang berdiri di sebelah Mbak Maya. Orang itu benar-benar edan, batinku. Mbak Maya menutup telepon itu tanpa mengatakan apa pun lagi dan segera mencabut kabelnya. Dia menarik napas dalam-dalam lalu menoleh ke arahku.

"Gimana, Yu? Butuh alat tulis apa?" tanyanya singkat.

"Mmm... Nggak butuh apa-apa sih, Mbak. Cuma mau ngobrol."

"Udah kelar ya kerjaanmu?"

Aku mengangguk saja sambil tersenyum.

"Aku bisa stres kalau semua debt collector yang telepon ke sini kayak orang gila tadi," katanya sambil memijat pelan kedua pelipisnya.

Aku mengambil salah satu kursi di showroom yang tidak jauh dari mejanya. Aku duduk sambil menyilangkan kakiku di sebelahnya. "Dari bank mana sih tadi yang telepon?" tanyaku penasaran.

"Nggak tahu. Dia tadi nggak ngomong dari bank mana. Tahu-tahu nyrocos minta data pribadinya Pak Joko," katanya sambil mendengus.

"Tapi kan Pak Joko sudah nggak kerja di sini lagi," balasku.

"Nah, persis! Persis begitu itu tadi aku jawabnya. Sampai empat kali aku bilang begitu. Bukannya dia tutup teleponnya, dia malah nuduh aku bohong."

"Telepon begini nggak diurus sama HR, Mbak?"

"Nggak, Yu. HR cuma ngurus telepon begini kalau orang yang dicari masih aktif kerja di sini. Kalau orang yang dicari sudah resign, HR kasih wewenang aku yang jawab. Ya wajarlah aku yang disuruh jawab. Bayangin saja, sehari ini saja aku sudah terima lima telepon dari macam-macam bank yang nyari Pak Joko."

"Memangnya Mbak Maya nggak akan kena marah kalau kabel teleponnya dicabut begitu?" tanyaku.

"Damar bilang nggak apa-apa kalau dicabut sebentar untuk menghindari orang gila kayak tadi." kata Mbak Maya menyebutkan nama supervisor HR yang dekat dengan kami.

Aku iba padanya yang sering kena marah via telepon dari bank-bank yang ngotot mencari karyawan Nilsson Home yang cicilannya macet. Dia tidak mendapat keuntungan dari pinjaman-pinjaman itu, tapi pihak bank tetap saja marah-marah atau memaki-makinya. Walaupun Mbak Maya sering menerima telepon seperti itu, dia tidak pernah berniat mengundurkan diri. Dia sudah cukup puas menjadi resepsionis di perusahaan ini selama 10 tahun. Sama denganku, dia tidak punya keinginan kemana-mana lagi.

"Mending minum coklat panas aja yuk, Mbak," ajakku mengalihkan pembicaraan.

"Mau sih. Tapi ini nih, nggak setuju," katanya sambil mengusap perutnya yang buncit. Sejak melahirkan anak keduanya, Mbak Maya sangat memperhatikan berat badan dan bentuk tubuhnya. Usianya baru tiga puluh tujuh tahun. Sekarang berat badannya 68 kg dan lipatan perutnya terlihat jelas ketika dia duduk. Dia selalu mengikat rambutnya ala ekor kuda yang tinggi dan sering memakai pakaian gelap, yang menurutnya, membuatnya terlihat ramping.

Di perusahaan ini, aku tidak punya banyak teman dekat. Posisiku sebagai asisten pribadi Mr. Nilsson membuatku dijauhi staf-staf lain, terutama staf perempuan. Mbak Maya bilang mereka tidak mau kelepasan bicara tentang perusahaan ini di depanku. Mereka takut kalau aku mengadukannya ke Mr. Nilsson.

Mbak Maya berbeda. Dia malah banyak membantuku selama ini. Aku masih ingat perkenalanku dengan Mbak Maya lima tahun yang lalu. Pagi itu pukul sepuluh, aku sedang mencuci tangan di wastafel ketika pintu toilet tiba-tiba terbuka. Dia berdiri di tengah pintu dengan ekspresi bingung. Setelah kami saling memandang melalui pantulan masing-masing di cermin besar yang ada di toilet itu selama beberapa detik, aku baru sadar ada noda besar di bajunya, tepatnya di dada sebelah kiri. Air susunya merembes. Untungnya, hari itu aku memakai kardigan rajut warna abu-abu gelap. Aku segera meminjamkan kardigan itu kepadanya. Ukuran baju kami masih sama-sama M waktu itu.

"Weekend mau ngapain, Yu?" tanya Mbak Maya tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

"Belum tahu. Mungkin kalau Sam lagi senggang, kami mau nonton film."

"Pacarmu itu seniman, Yu. Orang paling luang waktunya sedunia."

Satu hal tentang Mbak Maya yang selalu membuatku terheran-heran, dia tidak pernah sungkan mengatakan apa pun yang terlintas di kepalanya.

"Sam lagi sibuk akhir-akhir ini. Dia ada proyek sama hotel baru di Kuala Lumpur. Katanya tiga lukisan harus selesai akhir bulan ini," kataku membela pacarku.

"Kamu itu bukan pacar yang ribet. Malah gampang banget dibikin senang menurutku. Tapi kok kayaknya Sam nggak ada usaha untuk membuatmu senang ya."

"Kan dia lagi sibuk, Mbak. Kalau kerjaannya selesai, nanti juga dia jadi manis lagi kayak biasanya. "

"Percaya, Yu. Saking manisnya, dia pernah nganggurin kamu di stasiun Tugu dua jam lebih gara-gara dia ketiduran," Mbak Maya memutar matanya.

"Itu kejadian dua tahun lalu, Mbak. Heran deh, masih saja diungkit-ungkit," aku mulai cemberut.

"Ya sudah, lupakan yang itu. Tapi waktu dia ke Kalimantan selama dua minggu trus nggak ngasih kabar kamu sama sekali, kamu ingat tho? Katanya dia mau fokus pada alam untuk menginspirasinya."

"Udah ah. Mbak Maya nih sukanya ungkit-ungkit kesalahan Sam."

"Serius deh, Yu. Hidup kamu tuh sudah komplit banget. Cuma kurang pasangan hidup saja. Carilah lelaki yang menghargai kamu. Yang mau berusaha membahagiakan kamu."

"Mbak Maya lupa ya kalau Sam sering bikin aku bahagia?" kataku berdiri lalu mengembalikan kursi yang kududuki tadi ke tempatnya semula.

"Seingatku dia lebih sering bikin kamu galau deh."

"Dalam setiap hubungan pasti ada ups and downs, Mbak."

"Setuju. Tapi bagaimana kalau lebih banyak downs daripada ups-nya?"

"Ya berarti lagi dapat ujian, Mbak."

Mbak Maya menggeleng-gelengkan kepalanya, "Ya sudah. Intinya sebagai sahabat, aku mau kamu bahagia. Aku bukannya nyinyir, Yu. Tapi menurutku, Sam nggak pantas buat kamu. You deserve a better man."

"Serius deh, Mbak Maya nyinyir hari ini," aku meringis padanya lalu berjalan menuju ruanganku.

Aku melamun beberapa kali sebelum bel pulang berbunyi gara-gara memikirkan apa yang dikatakan Mbak Maya tadi. Setahun yang lalu, bisa dibilang kalau aku sudah puas dengan kehidupanku, dengan semua hal yang aku miliki. Aku tidak menginginkan mobil, tas bermerek, sepatu mahal, atau bahkan pernikahan yang hampir sempurna seperti pernikahan Mbak Maya. Tapi entah mengapa akhir-akhir ini hatiku sedikit memberontak. Ada rasa sepi yang menjalar sebelum aku tertidur setiap malam. Ada bagian dari diriku yang menginginkan keberadaan seseorang di sampingku untuk membuang rasa sepi yang semakin nyata. Dan di saat-saat seperti itulah aku menginginkan Sam yang menjadi orang itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status