[Lu, gimana akadnya lancar? Oh iya, maaf ya Lu Bibi gak bisa datang si Om sakit.]
[Iya gak apa-apa.][Oh, iya apa boleh Bibi minjem duit, Lu?][Berapa, Bi?][10 juta aja ada? Calon suami kamu kan kaya. Bisa lah, ya?]Astaghfirullah! Makhluk Mars kembali bertambah satu. Setelah hampir satu tahun menghilang tiba-tiba Bi Cicih menghubungiku dan bukannya datang memberi selamat eh, dia malah mau meminjam uang.Astaga! Ada ya saudara model begini? Banyak.Sebenarnya, Bi Cicih itu adalah adik bungsu dari almarhum ayah. Dulu saat usaha kami sedang maju dia sering sekali berkunjung tapi pas kami lagi mundur sampai nelangsa mana ada dia nongol. Bahkan saat aku meminjam uang untuk sekolah Rani saja dia bilang selalu tak ada padahal aku tahu dia baru membeli tas yang harganya mahal.Kemudian sekarang, setelah aku mau menikah, eh dia baru nge-W* lagi untuk hal yang tak penting pula."Helow! Anda sehat?" rutukku kesal sambil menyimpan ponsel di atas meja rias. Seandainya bukan karena Ayah sudah kublokir nomornya dari dulu.Huuuuh! Sabar, Lu ... nggak boleh ngambek, nanti maskara luntur.Aku menghembuskan napas dalam. Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Pak Rifat, kami sepakat mengadakannya sebelum semua hutang terbayar karena kalau menunggu semua bayar hutang mau kapan dapat warisannya? Begitu kata Pak Rifat. Apalagi, kedua keluarga sepakat mempercepat dikarenakan berbagai pertimbangan. Namun, meski begitu Pak Rifat berjanji akan tetap membantuku tapi dengan status yang baru yaitu ... SUAMI.Tok. Tok. Tok."Lu, gimana udah siap?" Sebuah ketukan di pintu kamar pengantin mengalihkan fokusku pada seseorang yang berdiri di sana.Dialah Wak Romlah, satu-satunya keluarga Ibu yang bisa aku andalkan. Masih teringat seminggu yang lalu usai menagih hutang pada Bang Jago, aku menemui Wak Romlah bersama Pak Rifat untuk memastikan kesiapan pernikahan.Hasilnya alhamdullilah Wak Romlah telah membereskannya dengan baik, dia sama sekali tak memanfaatkan status Pak Rifat sama sekali seperti Bi Cicih. Meski aku sudah banyak merepotkannya dia tetap mendukungku sekali pun dia dalam kesusahan.Menyadari itu, aku jadi bersyukur masih memiliki keluarga yang sayang padaku dan Rani tanpa melihat kami dari materi."Lu? Hey? Eh, kok malah bengong? Yok, keluar yu? Rifat udah ijab kabul, kalian udah sah!" kata Wak Romlah menarik pikiranku kembali pada kenyataan. Hah? Kami sudah sah? Cepet bener ...!Aku menatap wajah Wak Romlah dengan tatapan sendu. Rasanya masih terasa mimpi hanya dalam hitungan hari aku telah jadi istri. "Wak!" panggilku serak. Entah kenapa melihat Wak Romlah tiba-tiba aku ingat almarhum Ibu dan Ayah. Seandainya mereka masih ada, mereka pasti akan sangat bahagia sekarang."Iya, Lu?""Wak, makasih, ya? Lulu nggak tahu harus bilang makasih gimana. Cuman Uwak yang mau bantu keluarga Lulu dan jadi orang tua bagi Lulu," kataku sedih.Tanpa bisa kucegah air mataku mengalir deras ke pipi, sebagai seorang gadis yatim piatu kehadiran orang terdekat sangat berarti untuk mengangkat beban di pundakku. Terutama saat mengharukan yang sakral seperti sekarang."Iya, sama-sama Lu. Udah jadi kewajiban Uwak, sebagai keluarga kamu. Uwak bersyukur kamu dapat Rifat, jadi istri yang baik buat dia ya, Lu?" pesan Wak Romlah seraya membantuku berdiri. Lalu, mengelus punggungku lembut.Aku menyusut buliran bening yang mengalir di sudut mata. "Ya, W*. Insya Allah," kataku sedikit berat. Ada ganjalan di hati yang tak bisa kujelaskan pada W*k Romlah.Entahlah, perasaanku saat ini nggak karuan saat Wak Romlah memboyongku keluar. Ada grogi, deg-degan, malu dan takut menjadi satu. Biasanya hatiku tak akan seheboh ini ketemu Pak Rifat tapi kali ini lain. Ada gelenyar lain yang hinggap, terutama saat aku sudah berada di samping Pak Rifat dengan status berbeda.Baiklah. Jadi ini takdirku? Menjadi pengantin karena hutang mertua yang langsung dianggap lunas setelah kami menikah. Sah!Aku masih merasa ingin pingsan.(***)Ada yang bilang. Saat kita tidak punya apa-apa, segala ucapan kita pun dianggap kentut tapi ketika kita hampir punya segalanya, entah itu tahta, harta dan kekuasaan kita kentut pun dijadikan sabda.Waktu itu aku berpikir, perumpamaan itu cukup berlebihan tapi ternyata saat ini aku mulai mengakuinya.Siapa sangka, saat resepsi malam ini aku malah dikejutkan oleh kedatangan para penghutang yang biasanya tak pernah membaca W*-ku kalau aku menagihnya. Namun, sekarang mereka malah saling bergantian menyalamiku sambil menyelipkan amplop dan meminta maaf sudah mengabaikanku.Ada Mang Usep, Bi Uyun, Teh Tini, Si Nci dan kawan-kawan kurang lebih dua belas orang yang hadir. Uniknya mereka datang untuk membayar hutang. Ini pada kenapa, ya? Apa mereka dapat ceramah di pengajian yang sama sehingga bertaubat?Melihat fenomena langka ini, aku jadi bahagia. Seenggaknya tinggal 10 orang di daftar catatan nama-nama penghutang dalam buku warisan ibu yang belum membayar dari jumlah sebelumnya 25 orang.Amazing! Amazing!"Selamat ya, Neng. Maaf Mang Udin baru bisa bayar, Mang Udin doakan moga langgeng," kata Mang Udin yang datang ke acara resepsi bareng bini barunya. Dia adalah penghutang keduabelas, sebelumnya dia sangat susah ditagih tapi kerjaannya kawin-cerai mulu."Iya, Mang sama-sama. Makasih juga udah datang dan mau bayar hutang semoga berkah rezekinya," bisikku sambil menangkupkan tangan. Pak Rifat bilang aku harus terbiasa menjaga diri dari yang bukan mahram."Iya Neng, kepaksa. Eh, bukan udah kewajiban maksudnya. Oh ya, selamat juga buat Den Rifat, lunas ya, Den?" kata Mang Udin seraya beralih ke depan Pak Rifat.Aku bengong. Kenapa Mang Udin bilang lunas-nya sama Pak Rifat? Apa peristiwa aneh ini ada hubungannya dengan suamiku ini?"Iya Mang. Terima kasih udah datang," kata Pak Rifat membalas uluran tangan Mang Udin. Lelaki yang malam ini terlihat sangat tampan dengan memakai tuksedo itu tampak sangat santai menyalami Mang Udin yang notabene baru dikenalnya.Eh, atau mereka sudah bertemu sebelumnya?"Sama-sama. Habis ini langsung buka menu utama atuh ya, Den? Perlu tutorial, gak?" canda Mang Udin yang langsung dicubit sama Teh Amih."Insya Allah Mang, gak perlu. Mudah-mudahan udah khatam," timpal Pak Rifat yang langsung membuat keduanya tertawa.Mang Udin mengacungkan dua jempol. "Bagus eta, jangan disia-siakan ya. Sebelum kita bimbing istri kita ke syurga akhirat mending ke syurga dunia dulu. Kalau perlu referensi gaya bilang aja, Mamang udah pengalaman, opat (empat) kali atuh da."Mereka berdua lagi-lagi tergelak tanpa memperdulikan aku yang sudah panas dingin mendengarnya.Hati perawan mana yang bisa santai kalau kedua lelaki ini membahas malam pertama?"Eh, Pih, jangan begitu. Den Rifat mah udah pasti lebih handal, dari gantengnya aja udah beda, emangnya Papih di tengah-tengah suka angkat tangan," celetuk Teh Amih semakin membuatku malu. Muke gile! Apa nggak ada bahasan lain kah selain bahasan ranjang? "Eh, kalau berhenti di tengah-tengah mah mana mungkin kamu bunting atuh," seloroh Mang Udin lagi sambil terkekeh geli begitu juga Pak Rifat.Ya Allah! Selamatkan hamba-Mu yang masih suci ini."Ya udah! Ah, udah! Kasian Neng Lulu, makin keringetan denger obrolan kita. Hayu, ah, Pih, kita ke bawah itu para tamu udah nunggu buat giliran." Teh Amih menepuk lengan suaminya memberi kode yang langsung diiyakan oleh Mang Udin.Alhamdullilah akhirnya mereka pun turun dari singgasana pengantin setelah membuat jantungku ketar-ketir. Kuseka keringat yang membasahi dahi, rasanya membayangkan malam pertama saja sudah membuat bulu kuduk berdiri.Pak Rifat melirikku sambil tersenyum lembut."Udah, jangan dianggap obrolan Mang Udin, saya gak akan ambil menu utama sekarang kok, sesuai janji saya. Kecuali ....""Kecuali apa?" tanyaku mulai waspada."Kecuali kamu maksa," goda Pak Rifat yang langsung membuatku reflek menelan ludah.Aduh, bahaya. Apa aku tidur di luar aja ya?Jika ada yang bertanya padaku. Malam pertama ngapain aja? Jawabannya adalah mencari daftar nama hutang. Astaghfirullah! Aku heran. Kapan penderitaan sebagai debt collector cantik ini berakhir? Belum juga gaun dilepas aku sudah mulai kebingungan karena buku kramat milik almarhumah Ibu hilang. Perasaan aku menyimpannya di koperku sehari yang lalu tapi karena persiapan yang menyita waktu aku lupa memeriksanya lagi.Bahaya! Aku bisa berdosa jika buku itu raib.Aku sudah mencari di seantero rumah Pak Rifat yang menjadi tempat resepsi sampai ke kamar pengantin hasilnya NOL. Aku tidak menemukan buku kramat mendiang Ibu. Gawat! Kalau hilang bagaimana aku akan melacak nama penghutang nomor 16-25? Siapa sih yang ngambil? Penunggu rumah Pak Rifat? Atau Pak Rifat? Nah! Pasti dia. Enggak salah lagi, soalnya hari ini telah terjadi keanehan yaitu 12 orang penghutang mendadak taubat. Kejadian langka ini pasti ada hubungannya dengan lelaki ya
=======Tidurku tak nyenyak karena terlalu lelah dan masih memikirkan omelan Pak Rifat akibat dia sebal telah aku tuduh mencuri buku almarhumah Ibu, padahal itu buku ada di atas tumpukan bajuku sendiri. Lebih tepatnya buku kramat itu terjebak di antara lingerie dan celana dalam yang menjadi hadiah dari ibu mertua. Pantas aku tak sadar. Heran aku tuh. Bagaimana bisa itu buku nyasar ke sana? Astaga! Ceroboh sekali. Dengan rasa kantuk yang teramat, kupaksakan diriku bangkit karena kulihat keluar jendela tampaknya sudah siang. Padahal aku merasa baru tidur sebentar, itu pun setelah shalat subuh.Namun, saat kesadaranku mulai pulih aku merasa ada yang ganjil, aku tertegun.Sebentar! Perasaan sebelumnya aku tidur di sofa karena tidak mungkin sekasur sama Pak Rifat. Kok, aku ada di kasur sih? Siapa yang memindahkan? Pasti dia. Enggak salah lagi. Terus, di mana dia sekarang?Aku menyisir seluruh sisi kamar
"Aww! Aww sakit Pak!" ringisku ketika Pak Rifat mengoleskan salep ke bekas gigitan Ceu Fiyah.Sekarang kami lagi berdiri berhadapan di depan apotik karena Pak Rifat bersikeras untuk memeriksa kondisi tanganku sehabis digigit Ceu Fiyah. Katanya, kulitku bisa infeksi jika tidak diobati."Udah jangan bawel, suruh siapa kamu menghadapi wanita bar-bar kayak gitu sendirian? Tanpa memberitahu saya."Lagi-lagi dia menceramahiku tentang kesalahan tadi. Padahal seandainya dia tahu aku melakukan itu karena tidak ingin merepotkannya.Aku tidak mau ketergantungan. Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya itu enggak enak.Aku menundukan kepala dalam."Iya, Pak. Maaf, lain kali saya bilang," sesalku lirih yang hanya disambut delikan jutek dari Pak Rifat. Ya ampun! Galaknya suamiku. Aku cemberut sambil terus memperhatikannya yang dengan telaten mengobati tapak bekas gigi Ceu Fiyah.Asli ya, itu c
Mobil mogok, dikejar waria, belum makan, kelaparan dan kemalaman. Luar biasa! Perfect-nya acara tagih-menagih malam ini hingga membuat kami tak bisa berkata-kata. Untunglah, aku bisa datang tepat waktu sebelum mereka semakin beringas dan mengambil harta berharga Pak Rifat.Terbayang di benakku jika terlambat sedetik saja. Bisa-bisa keperjakaan suamiku dipertaruhkan. Kan, asem.Aku yang bertindak sebagai istri juga belum mencoba, masa udah sama yang lain? Hash! Ngeri.Namun, kalau dipikir-pikir kasian juga suamiku tadi pasti dia sangat kaget. Seorang Rifat yang terbiasa dengan lingkungan adem, ayem, tentram loh jinawi mendadak harus menghadapi hal-hal baru yang 'nganu'.Anehnya kok aku malah mau tertawa, ya melihat mukanya? Ternyata seorang ahli taekwondo kalah sama perempuan jadi-jadian. Mana pucat banget lagi mukanya kayak lihat setan."Jang Rifat, mau istirahat di kamar anak Uwak? Pasti capek, kan
Mandi selama satu jam tadi di rumah Wak Mince adalah rekor mandiku yang paling lama dikarenakan aku sampai takut keluar kamar mandi gara-gara Pak Rifat nangkring di depannya.Dia menungguku untuk meminta penjelasan. Kenapa aku membuka pintu tanpa permisi? Sehingga dia yang sedang berpose seksi harus terpampang nyata.Untunglah, setelah meminta Wak Mince menjelaskan bahwa aku tak tahu ada orang di kamar mandi, akhirnya si tampan nan rupawan berhenti untuk ngambek. Namun, tetap saja yang namanya Rifat Shangkar itu sensian bahkan sampai mobil diperbaiki dan kami pergi, dia tetap diam seribu bahasa."Masih kesel ya, Pak?" tanyaku pada sosok pria yang sejak tadi hanya bisa diam memandang ke jalan.Kali ini kami sedang berada di lampu merah menuju ke rumah ibu mertua. Mungkin setengah jam lagi kami akan tiba."Menurut kamu?" liriknya sadis."Ya, kan saya udah minta maaf.""Harga diri saya gak akan selesai dengan kata minta maaf," katanya menusuk. "Kamu tetap salah
"Satu juta, dua juta tiga juta bla ... bla ... bla ...."Aku menghitung uang yang ada di tasku dengan perasaan yang bersemangat.Otakku baru ingat kalau selama ini saking fokusnya menagih sampai lupa menghitung hasil dari pembayaran. Ternyata setelah dihitung-hitung jumlahnya hampir mencapai 20 juta.Dua puluh juta? Alhamdullilah!Kalau begini, minggu depan sepertinya aku sudah bisa mulai membuka toko kelontong milik Ibu dan melunasi spp Rani dan Gian--adik angkat yang ada di pesantren.Melihat hasil yang luar biasa ini. Dalam hati aku bersyukur, nggak sia-sia aku berjuang sampai menikah dengan Pak Rifat demi terselesaikannya misi mendatangi satu-persatu penghutang agar mereka lekas membayar. Meski belum semua tapi sudah terlihat hasilnya.Pak Rifat emang is the best, pokoknya! Apalagi saat dia secara gentle mau membayarkan hutang Mak Endut yang kesulitan makin kretek kretek-lah hati ini.Eits, bentar ... jangan bilang k
Kehidupan sebagai orang yang bersinggungan dengan hutang itu bisa dibilang manis-manis asem. Manis kalau dikasih partner Pak Rifat dan asem kalau Ayman si adik ipar ini mulai berulah.Semenjak perjumpaanku di kafe dengan Ayman. Hidupku seperti zombi, mati nggak mau hidup pun segan.Permintaannya yang kelewat nyeleneh bikin aku naik darah.Masa dia memintaku bererai sama Pak Rifat? Oh, tidak! Tidak sekarang maksudnya. Entah kalau nanti gimana situasi dan kondisi tapi kalau bisa jangan deh.Suami langka begitu susah nyarinya. Di mana lagi coba aku menemukan lelaki yang mau menghisap kentutku sampai ketiduran? Ayman pun pasti ogah.Hanya Pak Rifat yang bisa begitu.Selain alasan itu, jujur saja kuakui kalau aku mulai terbiasa dengan kehadiran Pak Rifat mungkin agak ketergantungan. Jadi, jika melepaskannya hanya karena hutang si Uwak pada Ayman itu sih namanya kejam. Meski Ayman juga mengaku menyayangiku tapi tetap saja ini sudah ter
Pernah lihatemak-emak pura-pura gila pas ditilang polisi? Nah, kondisi Mbak Sumi itu nggak jauh beda. Cuman untuk memberikan validasi mengenai tingkat kewarasan Mbak Sumi aku masih harus membuktikannya. Karena sesuai info yang kudengar Mbak Sumi itu baru setengah tahun tinggal di sini dan emang jarang keluar rumah hanya keluarganya menyebarkan gosip kalau mereka adalah orang kaya yang jatuh miskin gara-gara suami Mbak Sumi selingkuh.Namun, sesedih apa pun cerita Mbak Sumi, itu semua tak membuatku gentar.Karena seingatku dulu dia juga pernah menyebarkan kabar kesedihan yang bohong hingga orang pada iba termasuk ibuku.Maka jangan salahkan aku, jika diri ini tak ikhlas kalau tangan Mbak Sumi parkir sembarangan di tubuh atletis milik Pak Rifat. Dadaku sontak memanas seperti melihat Kim Seon Ho dan Kim So Hyun tiba-tiba nikah tanpa pemberitahuan."Jangan meluk laki aku, Mak! Lepasin!" Aku menarik kuat tangan Mbak Sumi yang masih nangkr