Share

Bab 9. Sah?

[Lu, gimana akadnya lancar? Oh iya, maaf ya Lu Bibi gak bisa datang si Om sakit.]

[Iya gak apa-apa.]

[Oh, iya apa boleh Bibi minjem duit, Lu?]

[Berapa, Bi?]

[10 juta aja ada? Calon suami kamu kan kaya. Bisa lah, ya?]

Astaghfirullah! 

Makhluk Mars kembali bertambah satu. Setelah hampir satu tahun menghilang  tiba-tiba Bi Cicih menghubungiku dan bukannya datang memberi selamat eh, dia malah mau meminjam uang.

Astaga! Ada ya saudara model begini? Banyak.

Sebenarnya, Bi Cicih itu adalah adik bungsu dari almarhum ayah. Dulu saat usaha kami sedang maju dia sering sekali berkunjung tapi pas kami lagi mundur sampai nelangsa mana ada dia nongol. Bahkan saat aku meminjam uang untuk sekolah Rani saja dia bilang selalu tak ada padahal aku tahu dia baru membeli tas yang harganya mahal.

Kemudian sekarang, setelah aku mau menikah, eh dia baru nge-W* lagi untuk hal yang tak penting pula.

"Helow! Anda sehat?" rutukku kesal sambil menyimpan ponsel di atas meja rias. 

Seandainya bukan karena Ayah sudah kublokir nomornya dari dulu.

Huuuuh! Sabar, Lu ... nggak boleh ngambek, nanti maskara luntur.

Aku menghembuskan napas dalam. Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Pak Rifat, kami sepakat mengadakannya sebelum semua hutang terbayar karena kalau menunggu semua bayar hutang mau kapan dapat warisannya? Begitu kata Pak Rifat. 

Apalagi, kedua keluarga sepakat mempercepat dikarenakan berbagai pertimbangan. Namun, meski begitu Pak Rifat berjanji akan tetap membantuku tapi dengan status yang baru yaitu ... SUAMI.

Tok. Tok. Tok.

"Lu, gimana udah siap?" Sebuah ketukan di pintu kamar pengantin mengalihkan fokusku pada seseorang yang berdiri di sana.

Dialah Wak Romlah, satu-satunya keluarga Ibu yang bisa aku andalkan. Masih teringat seminggu yang lalu usai menagih hutang pada Bang Jago, aku menemui Wak Romlah bersama Pak Rifat untuk memastikan kesiapan pernikahan.

Hasilnya alhamdullilah Wak Romlah telah membereskannya dengan baik, dia sama sekali tak memanfaatkan status Pak Rifat sama sekali seperti Bi Cicih. Meski aku sudah banyak merepotkannya dia tetap mendukungku sekali pun dia dalam kesusahan.

Menyadari itu, aku jadi bersyukur masih memiliki keluarga yang sayang padaku dan Rani tanpa melihat kami dari materi.

"Lu? Hey? Eh, kok malah bengong? Yok, keluar yu? Rifat udah ijab kabul, kalian udah sah!" kata Wak Romlah menarik pikiranku kembali pada kenyataan. 

Hah? Kami sudah sah? Cepet bener ...!

Aku menatap wajah Wak Romlah dengan tatapan sendu. Rasanya masih terasa mimpi hanya dalam hitungan hari aku telah jadi istri. 

"Wak!" panggilku serak. 

Entah kenapa melihat Wak Romlah tiba-tiba aku ingat almarhum Ibu dan Ayah. Seandainya mereka masih ada, mereka pasti akan sangat bahagia sekarang.

"Iya, Lu?"

"Wak, makasih, ya? Lulu nggak tahu harus bilang makasih gimana. Cuman Uwak yang mau bantu keluarga Lulu dan jadi orang tua bagi Lulu," kataku sedih.

Tanpa bisa kucegah air mataku mengalir deras ke pipi, sebagai seorang gadis yatim piatu kehadiran orang terdekat sangat berarti untuk mengangkat beban di pundakku. Terutama saat mengharukan yang sakral seperti sekarang.

"Iya, sama-sama Lu. Udah jadi kewajiban Uwak, sebagai keluarga kamu. Uwak bersyukur kamu dapat Rifat,  jadi istri yang baik buat dia ya, Lu?" pesan Wak Romlah seraya membantuku berdiri. Lalu, mengelus punggungku lembut.

Aku menyusut buliran bening yang mengalir di sudut mata. "Ya, W*. Insya Allah," kataku sedikit berat. Ada ganjalan di hati yang tak bisa kujelaskan pada W*k Romlah.

Entahlah, perasaanku saat ini nggak karuan saat Wak Romlah memboyongku keluar. Ada grogi, deg-degan, malu dan takut menjadi satu. Biasanya hatiku tak akan seheboh ini ketemu Pak Rifat tapi kali ini lain. Ada gelenyar lain yang hinggap, terutama saat aku sudah berada di samping Pak Rifat dengan status berbeda.

Baiklah. Jadi ini  takdirku? Menjadi pengantin karena hutang mertua yang langsung dianggap lunas setelah kami menikah. Sah!

Aku masih merasa ingin pingsan.

(***)

Ada yang bilang. Saat kita tidak punya apa-apa, segala ucapan kita pun dianggap kentut tapi ketika kita hampir punya segalanya, entah itu tahta, harta dan kekuasaan kita kentut pun dijadikan sabda.

Waktu itu aku berpikir, perumpamaan itu cukup berlebihan tapi ternyata saat ini aku mulai mengakuinya.

Siapa sangka, saat resepsi malam ini aku malah dikejutkan oleh kedatangan para penghutang yang biasanya tak pernah membaca W*-ku kalau aku menagihnya. Namun, sekarang mereka malah saling bergantian menyalamiku sambil menyelipkan amplop dan meminta maaf sudah mengabaikanku.

Ada Mang Usep, Bi Uyun, Teh Tini, Si Nci dan kawan-kawan kurang lebih dua belas orang yang hadir. Uniknya mereka datang untuk membayar hutang. 

Ini pada kenapa, ya? Apa mereka dapat ceramah di pengajian yang sama sehingga bertaubat?

Melihat fenomena langka ini, aku jadi bahagia. Seenggaknya tinggal 10 orang di daftar catatan nama-nama penghutang dalam buku warisan ibu yang belum membayar dari jumlah sebelumnya 25 orang.

Amazing! Amazing!

"Selamat ya, Neng. Maaf Mang Udin baru bisa bayar, Mang Udin doakan moga langgeng," kata Mang Udin yang datang ke acara resepsi bareng bini barunya. 

Dia adalah penghutang keduabelas, sebelumnya dia sangat susah ditagih tapi kerjaannya kawin-cerai mulu.

"Iya, Mang sama-sama. Makasih juga udah datang dan mau bayar hutang semoga berkah rezekinya," bisikku sambil menangkupkan tangan. Pak Rifat bilang aku harus terbiasa menjaga diri dari yang bukan mahram.

"Iya Neng, kepaksa. Eh, bukan udah kewajiban maksudnya. Oh ya, selamat juga buat Den Rifat, lunas ya, Den?" kata Mang Udin seraya beralih ke depan Pak Rifat.

Aku bengong. Kenapa Mang Udin bilang lunas-nya sama Pak Rifat? Apa peristiwa aneh ini ada hubungannya dengan suamiku ini?

"Iya Mang. Terima kasih udah datang," kata Pak Rifat membalas uluran tangan Mang Udin. Lelaki yang malam ini terlihat sangat tampan dengan memakai tuksedo itu tampak sangat santai menyalami Mang Udin yang notabene baru dikenalnya.

Eh, atau mereka sudah bertemu sebelumnya?

"Sama-sama. Habis ini langsung buka menu utama atuh ya, Den? Perlu tutorial, gak?" canda Mang Udin yang langsung dicubit sama Teh Amih.

"Insya Allah Mang, gak perlu. Mudah-mudahan udah khatam," timpal Pak Rifat yang langsung membuat keduanya tertawa.

Mang Udin mengacungkan dua jempol. "Bagus eta, jangan disia-siakan ya. Sebelum kita bimbing istri kita ke syurga akhirat mending ke syurga dunia dulu. Kalau perlu referensi gaya bilang aja, Mamang udah pengalaman, opat (empat) kali atuh da."

Mereka berdua lagi-lagi tergelak tanpa memperdulikan aku yang sudah panas dingin mendengarnya.

Hati perawan mana yang bisa santai kalau kedua lelaki ini membahas malam pertama?

"Eh, Pih, jangan begitu. Den Rifat mah udah pasti lebih handal, dari gantengnya aja udah beda, emangnya Papih di tengah-tengah suka angkat tangan," celetuk Teh Amih semakin membuatku malu. 

Muke gile! Apa nggak ada bahasan lain kah selain bahasan ranjang? 

"Eh, kalau berhenti di tengah-tengah mah mana mungkin kamu bunting atuh," seloroh Mang Udin lagi sambil terkekeh geli begitu juga Pak Rifat.

Ya Allah! Selamatkan hamba-Mu yang masih suci ini.

"Ya udah! Ah, udah! Kasian Neng Lulu, makin keringetan denger obrolan kita. Hayu, ah, Pih, kita ke bawah itu para tamu udah nunggu buat giliran."  Teh Amih menepuk lengan suaminya memberi kode yang langsung diiyakan oleh Mang Udin.

Alhamdullilah akhirnya mereka pun turun dari singgasana pengantin setelah membuat jantungku ketar-ketir. Kuseka keringat yang membasahi dahi, rasanya membayangkan malam pertama saja sudah membuat bulu kuduk berdiri.

Pak Rifat melirikku sambil tersenyum lembut.

"Udah, jangan dianggap obrolan Mang Udin, saya gak akan ambil menu utama sekarang kok, sesuai janji saya. Kecuali ...."

"Kecuali apa?" tanyaku mulai waspada.

"Kecuali kamu maksa," goda Pak Rifat yang langsung membuatku reflek menelan ludah.

Aduh, bahaya. Apa aku tidur di luar aja ya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status