Share

Bab 8. Ampun Bang Jago!

"Ampun Bang Jago!"

Begitulah slogan yang seringkali diucapkan para warga di sini, kalau udah mulai berbicara tentang kegalakan Bang Jago. Tak ada satu pun warga yang berani dekat-dekat rumahnya apalagi nyari perkara.

Soalnya sekali salah ngomong takutnya senggol bacok. Itulah yang mendasari Ibu jarang menagih hutang pada Bang Jago karena nggak berani, sementara aku berurusan dengan dia saja belum pernah.

Hash! Ngeri.

Lalu sekarang, setelah lima purnama terlewati dan ibuku meninggal, aku terpaksa harus  datang menagih hutang. Apa tidak nyari mati namanya? Kenal musuh aja nggak, sok-sok-an mau nagih preman yang jelas-jelas galakan dia.

Asem. Asem.

"Pak! Ayo, dah! Balik aja yuk, saya masih perawan nih Pak takut kenapa-napa," kataku sambil menarik kausnya Pak Rifat.

Sudah sepuluh menit kami berdiri mengawasi rumah Bang Jago dan sudah sepuluh menit juga kami menunggu si preman pulang ke rumahnya sambil menyusun strategi karena si empunya rumah belum nongol juga.

Aku penasaran. Entah apa yang akan dilakukan calon imamku satu ini jika Bang Jago nanti muncul. Tapi sepengamatanku Pak Rifat sudah memiliki rencana karena katanya meski dulu Pak Rifat sama Bang Jago pernah jadi lawan tawuran waktu SMA tetap saja pasti banyak hal yang berubah. Kami tidak bisa gegabah.

"Ngapain pulang, Lu? Kita udah di sini, pantang pulang sebelum perang," kata Pak Rifat santai. 

"Iya, tapi kan Pak, dia itu preman loh temennya pasti banyak. Apalagi kalau dia tahu Bapak musuh lamanya, bisa-bisa pas pulang kita jadi kue apem." 

Aku terus membujuk Pak Rifat untuk mengurungkan niat menagih hutang pada Bang Jago tapi lelaki bermata elang itu menggelengkan kepala tegas.

"Nggak! Ini kan amanah dari Bu Sarminah dan saya calon suami kamu. Itu berarti, ini amanah calon mertua saya. Paham?"

"Iya, paham. Tapi ...!"

"Hey, Jago! Tunggu!"

Terlambat. Lagi-lagi Pak Rifat berbuat seenaknya. Tanpa diskusi terlebih dahulu, lelaki itu memanggil sesosok pria besar dengan tato di lengannya.

Oalah! Mumet! Bukan apa-apa, aku hanya khawatir pada keselamatan Pak Rifat, bagaimana pun dia belum ijab kabul.

"Hey! Siapa lo manggil-manggil, gue?" bentak Bang Jago.

Pak Rifat menyeringai ketika Bang Jago yang mau masuk rumahnya otomatis terdiam di depan pintu ketika mendengar namanya dipanggil.

Seolah tidak ingin membuang kesempatan, Pak Rifat gegas menghampiri Bang Jago dan memberi kode agar aku berlindung di belakangnya.

"Ini saatnya show time, Lu! Banyak doa, ya?" bisik Pak Rifat sambil berjalan mendekat.

"Pak, ciyus nih Pak? Gak usah istikhoroh dulu?"

Aku memegang baju Pak Rifat kuat layaknya anak kecil yang takut kehilangan induknya. Kulihat senyum tipis mengembang sekilas ketika dia melihat wajahku yang memandangnya cemas.

"Enggak! Udah kamu tenang aja, percaua sama Allah dan ... saya," kata Pak Rifat meyakinkanku. 

Ya Allah. Tetap saja aku tegang!

(***)

Bang Jago menghisap rokoknya yang tinggal setengah lalu menghembuskannya ke udara. Dia memiringkan bibir meledek Pak Rifat yang berdiri tenang dengan gaya khasnya yaitu memasukan tangan ke dua saku celananya.

Saat ini, tepatnya di halaman rumah Bang Jago kedua jantan itu tengah berhadapan dengan wajah yang sama-sama tegang. Sementara aku hanya bisa berdiri satu meter di pinggir halaman dengan suasana tak jauh berbeda, bahkan aku sudah merencanakan akan menelepon ambulan atau polisi jika terjadi apa-apa.

Bukan tanpa alasan aku merasa cemas, ini dikarenakan seingatku dulu pernah tersiar kabar kalau Bang Jago pernah membuat warga sini masuk rumah sakit sampai struk. Alasannya sepele yaitu karena Mang Mahdi buang puntung rokok di depan rumahnya.

Ih ... tragis!

"Jadi lo mau apa bro? Kalau gue gak bayar?" tanya Bang Jago dengan wajah senga setelah dijelaskan maksud kedatangan kami. Luka koreng di mukanya semakin terlihat menyeramkan ketika dia bersuara.

"Kalau lo gak bayar berarti lo urusannya bukan hanya sama Lulu atau keluarganya. Tapi sama gue, calon suaminya. Lo gak lupa kan siapa yang buat wajah lo jadi luka kayak gitu?" sindir Pak Rifat sadis. 

Aku membelalakan mataku lebih lebar. Jadi, misteri luka di wajah Bang Jago itu karena Pak Rifat? Dahsyat! Bravo!

"Cuih! Berani lo buka-buka luka masa lalu, hah? Berengsek emang! Lo pikir gue takut sama lo? Jago yang sekarang berbeda sama Jago yang dulu, lo jual gue beli!" tantang Bang Jago sambil memasang kuda-kuda.

Pak Rifat tertawa sumbang. "Yaelah laga lo udah kayak si Pitung aje, Go. Nih denger Go, kiamat udah deket Bro! Lo mendingan tobat. Asal lo tahu aje, gue ke sini bukan buat berantem tapi gue cuman mau tahu kapan hutang tiga juta yang lo pinjem sama almarhumah Bu Sarminah dibayar? Entu aje," kata lelaki berhidung bak perosotan TK itu masih kalem. 

Logat betawinya muncul pas ngobrol sama Bang Jago padahal dia nggak ada keturunan betawi. Mungkin karena Bang Jago orang sana jadi Pak Rifat menyesuaikan.

"Kagak! Kagak ada bayar-bayaran. Gue gak mau bayar titik. Coba gue tanya, yang hutang siapa?"

"Elo."

"Yang bayar siapa?"

"Elo," kata Pak Rifat lagi dengan dahi berkerut.

"Lah itu, serah gue dong mau bayar kapan."

Aku melongo kaget mendengar jawaban Bang Jago. 

Apa katanya? Serah dia? Nah, ini nih yang namanya manusia jadi-jadian. Pas ada butuhnya mohon-mohon pas udah dapat keinginannya kita dibuang.

Rugi bandar memberi hutang pada orang model begini mah.

Pak Rifat mendengkus sebal.

"Ck! Ck! Dasar preman alay! Lo pikir gue bisa lo ancam, hah? Buruan dah, bayar! Mumpung gue masih baek," ucap Pak Rifat sambil melipat tangan di depan dada. Mukanya sama sekali tak terprovokasi.

Aku heran. Sebenarnya Pak Rifat punya insting manusia nggak sih? Lihat orang bertato dan berpanu kayak gitu masih aja santai. Meski dia jago taekwondo tapi kan kalau si Jago mendadak panggil temen-temennya gimana? Bisa panjang urusan.

Astaghfirullah! Pak Rifat! Ganteng sih tapi nekat.

"Baek, baek apaan lo? Alah! Jangan banyak b*cot lo! Ayo, lawan gue! Gue mau balas sakit hati gue dulu sama lo, ayo maju! Ciyaaat!"

"Pak Rifat! Awaaas!"

"Abaaang! Berenti! Bayar buruan hutang Abang! Sebelum aye minta cerai!"

Tepat di saat aku berteriak panik seraya menahan napas karena melihat Bang Jago mau menyerang Pak Rifat tiba-tiba ada suara lain juga yang hadir. Bedanya, suara itu lebih melengking dari suara petir mana pun sehingga Bang Jago si sangar mengerem serangannya secara mendadak.

"Eh, Mamih? Kok bisa ke sini?" Bang Jago sontak melotot sambil menyembunyikan kepalan tinjunya, sementara Pak Rifat tersenyum penuh kemenangan.

"Gimana, Go? Sekarang lebih takut mana sama gue atau bini lo?" seringai Pak Rifat yang membuat muka Bang Jago pucat bak kapas.

Lah, Bang Jago termasuk ikatan suami-suami takut istri ternyata?! Elah ... badan aja Rambo eh hati Hello Kitty! 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status