Share

Bab 7. Ketemu Camer

Udah pernah ketemu calon mertua dalam kondisi setengah gembel belum? Kalau belum coba deh, ah ... ngenes.

Sungguh, aku nggak tahu kalau mamanya Pak Rifat ikut fitting juga hingga bajuku tak ubahnya seperti pakaian mahasiswa miskin yang lagi stress menghadapi tanggal tua

Aku hanya memakai kaus oblong dan jins sobek dengan muka berminyak. Andai aku tahu mamanya Pak Rifat datang, mungkin aku akan meminjam dress ke si Oneng bukan malah begini.

Memalukan.

Aku menundukan kepala dalam di depan seorang wanita setengah baya yang mengenakan baju blazer lengkap dengan rambut jambul perkututnya. Dia adalah Bu Aida-- wanita yang membuat Pak Rifat mendadak memanggilku 'Sayang' biar dinilai cowok penyayang.

Apes. Apes. Akhirnya aku tahu sikap bar-bar Pak Rifat di depan Mas Davin tadi dikarenakan pencitraan. Siapa sangka, Pak Rifat juga sama saja ingin cari muka di depan mamanya biar segera di-acc menikah.

Aku hanya dimanfaatkan.

"Ludia Hanifah. Jadi benar itu namamu, Nak? Dan ibumu Sarminah Fatmawati?" tanya Bu Aida padaku ketika aku menemuinya di ruang tunggu butik.

Wanita berumur lima puluh lima tahun itu tampak bersahaja tak seperti anaknya yang dari tadi memasang wajah jutek.

Aku heran. Dulu Bu Aida ngidam apa sih? Sampai punya anak kayak Pak Rifat. Jangan-jangan dia ngidam makan batu Thanos kali jadi anaknya keras kepala.

"I-iya Bu betul," jawabku gugup. 

Bu Aida tersenyum lembut, ternyata sikap mamanya Pak Rifat berbeda dengan penampilannya. Untunglah, nggak ada model mertua jahat macam sinetron ikan salto.

"Alhamdullilah akhirnya ketemu juga. Tapi, apa benar kamu setuju menikah dengan anak saya Rifat? Kamu gak terpaksa menikah karena warisan, kan?" seloroh Bu Aida yang aku benarkan dalam hati dan kudustakan di mulut.

"Oh, nggak Bu, nggak. Aku ikhlas kok, ikhlas banget nikah sama Pak eh, Mas Rifat. Iya kan, SA-YANG?" kataku sambil memandang gemas pada Pak Rifat yang duduk di sampingku.

"Iya, Sayang," sambut Pak Rifat sok romantis membuatku ingin muntah.

Ya ampun! Jijay!

Seandainya bukan karena janji, aku malas berbuat se-alay itu.

"Aduduh, kalian gemes banget sih, saya jadi tenang. Ya udah kalau gitu gak usah ditunda lama-lama. Toh, Rifat juga udah ngurus semua dari lama. Persyaratannya juga lengkap. Jadi, seminggu dari sekarang kita bisa akad, kan?"

"Uhuk! Akad?"

Sontak aku terbatuk mendengar pernikahan kami yang terkesan terburu-buru ini. Memang sih Pak Rifat bilang dua minggu sejak perjanjian dibuat tapi otakku masih saja lemot.

Seminggu lagi? Jadi istri? Serius?

"Iya, Lu, akad. Udah jangan pikir macam-macam. Tadi Mamah juga udah bilang sama Wak-mu dan semua aman. Jadi, mulai sekarang jangan panggil saya 'Ibu' tapi mamah. M-A-M-A-H mamah Coba ulangi!" Bu Aida menunjukku seperti mendikte anak SD.

"Ma-Mah?" Bodohnya aku menurut lagi dan itu membuat dia girang.

Ya udahlah! Anggap aja menyenangkan orang tua.

"Bagus! Ah, saya senang! Si anak sulung tertua ini nikah juga, tinggal Ayman sekarang."

Ayman? Siapa lagi Ayman? Eh bentar! Nama itu kayaknya nggak asing. 

Tepat di saat aku mulai bertanya-tanya, tiba-tiba sebuah suara baru muncul di ruang tunggu butik.

"Maaf saya datang telat. Belum selesai kan fittingnya?" 

"Kak Ayman?" tanyaku kaget ketika melihat siapa yang datang.

Dia kan kakak tingkatku di kampus dulu, kami pernah berhubungan dekat meski tak sampai pacaran karena katanya dia mau langsung menikah tapi saat itu aku nggak mau karena masih tingkat satu akhirnya hubungan kami berakhir.

"Lulu? Kamu? Ngapain di sini?" Bukannya menjawab si pria itu malah balik bertanya.

Dia sama syoknya denganku. Saat ini aku benar-benar merutuk duniaku yang begitu sempit dan berputar di situ saja.

"Aku ke sini karena ...."

"Dia calon istri gue Man, Ludia Hanifah anak Bu Sarminah," kata Pak Rifat membuat wajah pria bernama Ayman itu membeku.

Gawat! Kenapa bisa kebetulan begini, sih?

(***)

Ayman memang tidak pernah tahu nama lengkapku. Karena dulu Ayman terkenal pendiam dan tak suka basa-basi. Sikapnya yang misterius selama ospek membuat para mahasiswi baru menggila dan penasaran tapi ternyata dia malah memilihku.

Saat itu aku merasa bahagia, orang soleh dan ganteng semacam Ayman mau denganku tapi ternyata tak sampai sebulan dan hanya berhubungan via ponsel saja, tiba-tiba dia bilang mau menikah langsung.

Aku syok dan dengan berat hati harus menolaknya karena aku merasa itu mustahil. Ibuku akan marah jika aku menikah saat masih kuliah karena buat kuliah saja susah. Terlebih aku dan Ayman masih belum mengenal lebih dalam, bahkan untuk nama lengkap dan mengenal keluarga saja dia tak pernah menanyakannya.

Arrh! Aneh. 

Lalu, sekarang? Aku malah mau menikah dengan Kakaknya?

Ya Salam! Rasanya mau nyebur ke sumur aja kalau begini.

"Kamu kenal Ayman di mana?" tanya Pak Rifat tiba-tiba saja membuka percakapan.

Saat ini kami sedang berjalan menuju rumah Bang Jago-preman di desa kami sekaligus 'penghutang ketiga'. 

Sesuai janji Pak Rifat, usai fitting baju selesai dia akan menemaniku menagih hutang ke rumah Bang Jago yang rumahnya di ujung jalan ini dan untuk ke sana kamu harus melewati jalanan berdebu yang hanya bisa dilewati dua motor saja sehingga mobil Pak Rifat diparkir jauh. 

"Lu? Kamu denger pertanyaan saya, kan?" Pak Rifat memanggil lagi karena aku mengabaikan pertanyaannya.

Aku menoleh enggan. "Iya Pak. Denger. Kebetulan kami satu kampus beda satu angkatan," kataku dengan nada lemah.

Tadinya emang nggak mau menjawab dan berharap Pak Rifat tidak bertanya lebih lanjut karena tak nyaman membahasnya.

"Oh, kakak tingkat SAJA kan gak lebih?" Lelaki berhidung lancip itu menekankan kata 'saja' seakan meminta penegasan.

Aku mengernyitkan dahi. "Kalau lebih, emang kenapa?" godaku. "Lagian sama aja kan, sama-sama anaknya almarhum Pak Gilar?"

"Syut! Diam!" Tanpa permisi telunjuk Pak Rifat tiba-tiba saja parkir di mulutku. Seketika itu juga aku menghentikan langkah karena kaget.

"Hash! Syat-syut syat syut! Apaan, sih? Nanti jari Bapak bau jigong saya mau?" protesku sebal seraya menyingkirkan telunjuk Pak Rifat dari bibirku yang seksi.

Namun, tampaknya lelaki itu tak peduli. Dia malah memasang wajah lebih serius dibanding tadi.

"Mau. Emang kenapa kalau mulut kamu bau jigong? Lagi pula cepat atau lambat kamu bakal jadi istri saya. So, mulai sekarang jangan samakan saya dan Ayman. Karena kami berbeda, inget itu!" katanya terdengar mengancam. 

Aku memeletkan lidah. "Dih!, gitu aja marah. Canda Pak. Lagipula emang gak bisa disamain Pak, Kak Ayman itu lebih tenang dan gak pemaksa kaya Bapak."

"Oh, jadi selama ini kamu nyangka saya pemaksa? Bukannya kamu yang lelet?"

"Lah? Kok, saya yang disalahkan? Harusnya Pak Rifat itu ...."

"Awas, lu!"

Belum juga aku selesai memprotes, tiba-tiba lelaki itu menarikku cepat dan membawaku ke arah sisi kanan hingga punggung Pak Rifat membentur tembok rumah orang sedangkan aku kesal karena gerakan yang tiba-tiba.

"Ih, apaan sih Pak! Jangan mes--"

Greeeeng! Kalimatku seketika terputus saat kudengar sebuah suara melengking mendekat.

Saat itu tak kuduga dari arah belakang ada motor yang dikemudikan kencang melintasi kami tanpa permisi dan aku hampir tertabrak olehnya.

"Woy! Kalau pakai motor liat-liat dong! Sialan! Tahu jalanan kecil!" umpat Pak Rifat kesal.

Dag-dig-dug. Melihat pria itu menjagaku sampai sebegitunya, sontak jantungku berdegup kencang.

Pak Rifat melindungiku. Lagi?

"Lu! Kamu gak apa-apa?" tanya Pak Rifat cemas.

"I-iya, Pak," jawabku gugup. Kami pun berpandangan dalam jarak dekat membuatku jadi malu.

"Oh iya, Lu, maaf, bisa agak jauhan? Soalnya engap!" katanya sambil menunjuk tubuhku yang tanpa sengaja menghimpit dada bidang Pak Rifat.

Mataku sontak membelalak.

Astaghfirullah! Tanganku khilaf.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status