Udah pernah ketemu calon mertua dalam kondisi setengah gembel belum? Kalau belum coba deh, ah ... ngenes.
Sungguh, aku nggak tahu kalau mamanya Pak Rifat ikut fitting juga hingga bajuku tak ubahnya seperti pakaian mahasiswa miskin yang lagi stress menghadapi tanggal tuaAku hanya memakai kaus oblong dan jins sobek dengan muka berminyak. Andai aku tahu mamanya Pak Rifat datang, mungkin aku akan meminjam dress ke si Oneng bukan malah begini.Memalukan.Aku menundukan kepala dalam di depan seorang wanita setengah baya yang mengenakan baju blazer lengkap dengan rambut jambul perkututnya. Dia adalah Bu Aida-- wanita yang membuat Pak Rifat mendadak memanggilku 'Sayang' biar dinilai cowok penyayang.Apes. Apes. Akhirnya aku tahu sikap bar-bar Pak Rifat di depan Mas Davin tadi dikarenakan pencitraan. Siapa sangka, Pak Rifat juga sama saja ingin cari muka di depan mamanya biar segera di-acc menikah.Aku hanya dimanfaatkan."Ludia Hanifah. Jadi benar itu namamu, Nak? Dan ibumu Sarminah Fatmawati?" tanya Bu Aida padaku ketika aku menemuinya di ruang tunggu butik.Wanita berumur lima puluh lima tahun itu tampak bersahaja tak seperti anaknya yang dari tadi memasang wajah jutek.Aku heran. Dulu Bu Aida ngidam apa sih? Sampai punya anak kayak Pak Rifat. Jangan-jangan dia ngidam makan batu Thanos kali jadi anaknya keras kepala."I-iya Bu betul," jawabku gugup. Bu Aida tersenyum lembut, ternyata sikap mamanya Pak Rifat berbeda dengan penampilannya. Untunglah, nggak ada model mertua jahat macam sinetron ikan salto."Alhamdullilah akhirnya ketemu juga. Tapi, apa benar kamu setuju menikah dengan anak saya Rifat? Kamu gak terpaksa menikah karena warisan, kan?" seloroh Bu Aida yang aku benarkan dalam hati dan kudustakan di mulut."Oh, nggak Bu, nggak. Aku ikhlas kok, ikhlas banget nikah sama Pak eh, Mas Rifat. Iya kan, SA-YANG?" kataku sambil memandang gemas pada Pak Rifat yang duduk di sampingku."Iya, Sayang," sambut Pak Rifat sok romantis membuatku ingin muntah.Ya ampun! Jijay!Seandainya bukan karena janji, aku malas berbuat se-alay itu."Aduduh, kalian gemes banget sih, saya jadi tenang. Ya udah kalau gitu gak usah ditunda lama-lama. Toh, Rifat juga udah ngurus semua dari lama. Persyaratannya juga lengkap. Jadi, seminggu dari sekarang kita bisa akad, kan?""Uhuk! Akad?"Sontak aku terbatuk mendengar pernikahan kami yang terkesan terburu-buru ini. Memang sih Pak Rifat bilang dua minggu sejak perjanjian dibuat tapi otakku masih saja lemot.Seminggu lagi? Jadi istri? Serius?"Iya, Lu, akad. Udah jangan pikir macam-macam. Tadi Mamah juga udah bilang sama Wak-mu dan semua aman. Jadi, mulai sekarang jangan panggil saya 'Ibu' tapi mamah. M-A-M-A-H mamah Coba ulangi!" Bu Aida menunjukku seperti mendikte anak SD."Ma-Mah?" Bodohnya aku menurut lagi dan itu membuat dia girang.Ya udahlah! Anggap aja menyenangkan orang tua."Bagus! Ah, saya senang! Si anak sulung tertua ini nikah juga, tinggal Ayman sekarang."Ayman? Siapa lagi Ayman? Eh bentar! Nama itu kayaknya nggak asing. Tepat di saat aku mulai bertanya-tanya, tiba-tiba sebuah suara baru muncul di ruang tunggu butik."Maaf saya datang telat. Belum selesai kan fittingnya?" "Kak Ayman?" tanyaku kaget ketika melihat siapa yang datang.Dia kan kakak tingkatku di kampus dulu, kami pernah berhubungan dekat meski tak sampai pacaran karena katanya dia mau langsung menikah tapi saat itu aku nggak mau karena masih tingkat satu akhirnya hubungan kami berakhir."Lulu? Kamu? Ngapain di sini?" Bukannya menjawab si pria itu malah balik bertanya.Dia sama syoknya denganku. Saat ini aku benar-benar merutuk duniaku yang begitu sempit dan berputar di situ saja."Aku ke sini karena ....""Dia calon istri gue Man, Ludia Hanifah anak Bu Sarminah," kata Pak Rifat membuat wajah pria bernama Ayman itu membeku.Gawat! Kenapa bisa kebetulan begini, sih?(***)Ayman memang tidak pernah tahu nama lengkapku. Karena dulu Ayman terkenal pendiam dan tak suka basa-basi. Sikapnya yang misterius selama ospek membuat para mahasiswi baru menggila dan penasaran tapi ternyata dia malah memilihku.Saat itu aku merasa bahagia, orang soleh dan ganteng semacam Ayman mau denganku tapi ternyata tak sampai sebulan dan hanya berhubungan via ponsel saja, tiba-tiba dia bilang mau menikah langsung.Aku syok dan dengan berat hati harus menolaknya karena aku merasa itu mustahil. Ibuku akan marah jika aku menikah saat masih kuliah karena buat kuliah saja susah. Terlebih aku dan Ayman masih belum mengenal lebih dalam, bahkan untuk nama lengkap dan mengenal keluarga saja dia tak pernah menanyakannya.Arrh! Aneh. Lalu, sekarang? Aku malah mau menikah dengan Kakaknya?Ya Salam! Rasanya mau nyebur ke sumur aja kalau begini."Kamu kenal Ayman di mana?" tanya Pak Rifat tiba-tiba saja membuka percakapan.Saat ini kami sedang berjalan menuju rumah Bang Jago-preman di desa kami sekaligus 'penghutang ketiga'. Sesuai janji Pak Rifat, usai fitting baju selesai dia akan menemaniku menagih hutang ke rumah Bang Jago yang rumahnya di ujung jalan ini dan untuk ke sana kamu harus melewati jalanan berdebu yang hanya bisa dilewati dua motor saja sehingga mobil Pak Rifat diparkir jauh. "Lu? Kamu denger pertanyaan saya, kan?" Pak Rifat memanggil lagi karena aku mengabaikan pertanyaannya.Aku menoleh enggan. "Iya Pak. Denger. Kebetulan kami satu kampus beda satu angkatan," kataku dengan nada lemah.Tadinya emang nggak mau menjawab dan berharap Pak Rifat tidak bertanya lebih lanjut karena tak nyaman membahasnya."Oh, kakak tingkat SAJA kan gak lebih?" Lelaki berhidung lancip itu menekankan kata 'saja' seakan meminta penegasan.Aku mengernyitkan dahi. "Kalau lebih, emang kenapa?" godaku. "Lagian sama aja kan, sama-sama anaknya almarhum Pak Gilar?""Syut! Diam!" Tanpa permisi telunjuk Pak Rifat tiba-tiba saja parkir di mulutku. Seketika itu juga aku menghentikan langkah karena kaget."Hash! Syat-syut syat syut! Apaan, sih? Nanti jari Bapak bau jigong saya mau?" protesku sebal seraya menyingkirkan telunjuk Pak Rifat dari bibirku yang seksi.Namun, tampaknya lelaki itu tak peduli. Dia malah memasang wajah lebih serius dibanding tadi."Mau. Emang kenapa kalau mulut kamu bau jigong? Lagi pula cepat atau lambat kamu bakal jadi istri saya. So, mulai sekarang jangan samakan saya dan Ayman. Karena kami berbeda, inget itu!" katanya terdengar mengancam. Aku memeletkan lidah. "Dih!, gitu aja marah. Canda Pak. Lagipula emang gak bisa disamain Pak, Kak Ayman itu lebih tenang dan gak pemaksa kaya Bapak.""Oh, jadi selama ini kamu nyangka saya pemaksa? Bukannya kamu yang lelet?""Lah? Kok, saya yang disalahkan? Harusnya Pak Rifat itu ....""Awas, lu!"Belum juga aku selesai memprotes, tiba-tiba lelaki itu menarikku cepat dan membawaku ke arah sisi kanan hingga punggung Pak Rifat membentur tembok rumah orang sedangkan aku kesal karena gerakan yang tiba-tiba."Ih, apaan sih Pak! Jangan mes--"Greeeeng! Kalimatku seketika terputus saat kudengar sebuah suara melengking mendekat.Saat itu tak kuduga dari arah belakang ada motor yang dikemudikan kencang melintasi kami tanpa permisi dan aku hampir tertabrak olehnya."Woy! Kalau pakai motor liat-liat dong! Sialan! Tahu jalanan kecil!" umpat Pak Rifat kesal.Dag-dig-dug. Melihat pria itu menjagaku sampai sebegitunya, sontak jantungku berdegup kencang.Pak Rifat melindungiku. Lagi?"Lu! Kamu gak apa-apa?" tanya Pak Rifat cemas."I-iya, Pak," jawabku gugup. Kami pun berpandangan dalam jarak dekat membuatku jadi malu."Oh iya, Lu, maaf, bisa agak jauhan? Soalnya engap!" katanya sambil menunjuk tubuhku yang tanpa sengaja menghimpit dada bidang Pak Rifat.Mataku sontak membelalak.Astaghfirullah! Tanganku khilaf."Ampun Bang Jago!"Begitulah slogan yang seringkali diucapkan para warga di sini, kalau udah mulai berbicara tentang kegalakan Bang Jago. Tak ada satu pun warga yang berani dekat-dekat rumahnya apalagi nyari perkara.Soalnya sekali salah ngomong takutnya senggol bacok. Itulah yang mendasari Ibu jarang menagih hutang pada Bang Jago karena nggak berani, sementara aku berurusan dengan dia saja belum pernah.Hash! Ngeri.Lalu sekarang, setelah lima purnama terlewati dan ibuku meninggal, aku terpaksa harus datang menagih hutang. Apa tidak nyari mati namanya? Kenal musuh aja nggak, sok-sok-an mau nagih preman yang jelas-jelas galakan dia.Asem. Asem."Pak! Ayo, dah! Balik aja yuk, saya masih perawan nih Pak takut kenapa-napa," kataku sambil menarik kausnya Pak Rifat.Sudah sepuluh menit kami berdiri mengawasi rumah Bang Jago dan sudah sepuluh menit juga kami menunggu si preman pulang ke ruma
[Lu, gimana akadnya lancar? Oh iya, maaf ya Lu Bibi gak bisa datang si Om sakit.][Iya gak apa-apa.][Oh, iya apa boleh Bibi minjem duit, Lu?][Berapa, Bi?][10 juta aja ada? Calon suami kamu kan kaya. Bisa lah, ya?]Astaghfirullah! Makhluk Mars kembali bertambah satu. Setelah hampir satu tahun menghilang tiba-tiba Bi Cicih menghubungiku dan bukannya datang memberi selamat eh, dia malah mau meminjam uang.Astaga! Ada ya saudara model begini? Banyak.Sebenarnya, Bi Cicih itu adalah adik bungsu dari almarhum ayah. Dulu saat usaha kami sedang maju dia sering sekali berkunjung tapi pas kami lagi mundur sampai nelangsa mana ada dia nongol. Bahkan saat aku meminjam uang untuk sekolah Rani saja dia bilang selalu tak ada padahal aku tahu dia baru membeli tas yang harganya mahal.Kemudian sekarang, setelah aku mau menikah, eh dia baru nge-Wa lagi untuk hal yang tak
Jika ada yang bertanya padaku. Malam pertama ngapain aja? Jawabannya adalah mencari daftar nama hutang. Astaghfirullah! Aku heran. Kapan penderitaan sebagai debt collector cantik ini berakhir? Belum juga gaun dilepas aku sudah mulai kebingungan karena buku kramat milik almarhumah Ibu hilang. Perasaan aku menyimpannya di koperku sehari yang lalu tapi karena persiapan yang menyita waktu aku lupa memeriksanya lagi.Bahaya! Aku bisa berdosa jika buku itu raib.Aku sudah mencari di seantero rumah Pak Rifat yang menjadi tempat resepsi sampai ke kamar pengantin hasilnya NOL. Aku tidak menemukan buku kramat mendiang Ibu. Gawat! Kalau hilang bagaimana aku akan melacak nama penghutang nomor 16-25? Siapa sih yang ngambil? Penunggu rumah Pak Rifat? Atau Pak Rifat? Nah! Pasti dia. Enggak salah lagi, soalnya hari ini telah terjadi keanehan yaitu 12 orang penghutang mendadak taubat. Kejadian langka ini pasti ada hubungannya dengan lelaki ya
=======Tidurku tak nyenyak karena terlalu lelah dan masih memikirkan omelan Pak Rifat akibat dia sebal telah aku tuduh mencuri buku almarhumah Ibu, padahal itu buku ada di atas tumpukan bajuku sendiri. Lebih tepatnya buku kramat itu terjebak di antara lingerie dan celana dalam yang menjadi hadiah dari ibu mertua. Pantas aku tak sadar. Heran aku tuh. Bagaimana bisa itu buku nyasar ke sana? Astaga! Ceroboh sekali. Dengan rasa kantuk yang teramat, kupaksakan diriku bangkit karena kulihat keluar jendela tampaknya sudah siang. Padahal aku merasa baru tidur sebentar, itu pun setelah shalat subuh.Namun, saat kesadaranku mulai pulih aku merasa ada yang ganjil, aku tertegun.Sebentar! Perasaan sebelumnya aku tidur di sofa karena tidak mungkin sekasur sama Pak Rifat. Kok, aku ada di kasur sih? Siapa yang memindahkan? Pasti dia. Enggak salah lagi. Terus, di mana dia sekarang?Aku menyisir seluruh sisi kamar
"Aww! Aww sakit Pak!" ringisku ketika Pak Rifat mengoleskan salep ke bekas gigitan Ceu Fiyah.Sekarang kami lagi berdiri berhadapan di depan apotik karena Pak Rifat bersikeras untuk memeriksa kondisi tanganku sehabis digigit Ceu Fiyah. Katanya, kulitku bisa infeksi jika tidak diobati."Udah jangan bawel, suruh siapa kamu menghadapi wanita bar-bar kayak gitu sendirian? Tanpa memberitahu saya."Lagi-lagi dia menceramahiku tentang kesalahan tadi. Padahal seandainya dia tahu aku melakukan itu karena tidak ingin merepotkannya.Aku tidak mau ketergantungan. Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya itu enggak enak.Aku menundukan kepala dalam."Iya, Pak. Maaf, lain kali saya bilang," sesalku lirih yang hanya disambut delikan jutek dari Pak Rifat. Ya ampun! Galaknya suamiku. Aku cemberut sambil terus memperhatikannya yang dengan telaten mengobati tapak bekas gigi Ceu Fiyah.Asli ya, itu c
Mobil mogok, dikejar waria, belum makan, kelaparan dan kemalaman. Luar biasa! Perfect-nya acara tagih-menagih malam ini hingga membuat kami tak bisa berkata-kata. Untunglah, aku bisa datang tepat waktu sebelum mereka semakin beringas dan mengambil harta berharga Pak Rifat.Terbayang di benakku jika terlambat sedetik saja. Bisa-bisa keperjakaan suamiku dipertaruhkan. Kan, asem.Aku yang bertindak sebagai istri juga belum mencoba, masa udah sama yang lain? Hash! Ngeri.Namun, kalau dipikir-pikir kasian juga suamiku tadi pasti dia sangat kaget. Seorang Rifat yang terbiasa dengan lingkungan adem, ayem, tentram loh jinawi mendadak harus menghadapi hal-hal baru yang 'nganu'.Anehnya kok aku malah mau tertawa, ya melihat mukanya? Ternyata seorang ahli taekwondo kalah sama perempuan jadi-jadian. Mana pucat banget lagi mukanya kayak lihat setan."Jang Rifat, mau istirahat di kamar anak Uwak? Pasti capek, kan
Mandi selama satu jam tadi di rumah Wak Mince adalah rekor mandiku yang paling lama dikarenakan aku sampai takut keluar kamar mandi gara-gara Pak Rifat nangkring di depannya.Dia menungguku untuk meminta penjelasan. Kenapa aku membuka pintu tanpa permisi? Sehingga dia yang sedang berpose seksi harus terpampang nyata.Untunglah, setelah meminta Wak Mince menjelaskan bahwa aku tak tahu ada orang di kamar mandi, akhirnya si tampan nan rupawan berhenti untuk ngambek. Namun, tetap saja yang namanya Rifat Shangkar itu sensian bahkan sampai mobil diperbaiki dan kami pergi, dia tetap diam seribu bahasa."Masih kesel ya, Pak?" tanyaku pada sosok pria yang sejak tadi hanya bisa diam memandang ke jalan.Kali ini kami sedang berada di lampu merah menuju ke rumah ibu mertua. Mungkin setengah jam lagi kami akan tiba."Menurut kamu?" liriknya sadis."Ya, kan saya udah minta maaf.""Harga diri saya gak akan selesai dengan kata minta maaf," katanya menusuk. "Kamu tetap salah
"Satu juta, dua juta tiga juta bla ... bla ... bla ...."Aku menghitung uang yang ada di tasku dengan perasaan yang bersemangat.Otakku baru ingat kalau selama ini saking fokusnya menagih sampai lupa menghitung hasil dari pembayaran. Ternyata setelah dihitung-hitung jumlahnya hampir mencapai 20 juta.Dua puluh juta? Alhamdullilah!Kalau begini, minggu depan sepertinya aku sudah bisa mulai membuka toko kelontong milik Ibu dan melunasi spp Rani dan Gian--adik angkat yang ada di pesantren.Melihat hasil yang luar biasa ini. Dalam hati aku bersyukur, nggak sia-sia aku berjuang sampai menikah dengan Pak Rifat demi terselesaikannya misi mendatangi satu-persatu penghutang agar mereka lekas membayar. Meski belum semua tapi sudah terlihat hasilnya.Pak Rifat emang is the best, pokoknya! Apalagi saat dia secara gentle mau membayarkan hutang Mak Endut yang kesulitan makin kretek kretek-lah hati ini.Eits, bentar ... jangan bilang k