Share

Bab 6. Sayang?

Wak Romlah tersangkanya.  Dia yang membuat Pak Rifat bisa masuk ke toko dan mengumpulkan bukti hutang dari temanku Marni si janda seksi tapi suka emosi. 

Tak kuduga tanpa sepengetahuanku, Pak Rifat sudah colong start lebih dulu dengan menemui Wak Romlah dan akhirnya Kakak tertua Ibu bersekutu dengan Pak Rifat.

Licik.

Lelaki berahang tegas itu memang benar-benar serigala berbulu domba. Dia akan melakukan apa saja demi tercapainya keinginan untuk mempercepat pernikahan kami dan hasilnya ... rumit.

Apa yang dia lakukan demi memenuhi syaratku membuat semua orang tercengang. Apalagi si Marni akhirnya pingsan dan Mas Gagah berjanji membayar hutang Marni-istrinya dua hari lagi.

Bagus sih tapi nyesek. Semua gara-gara satu nama yaitu Rifat.

Arrrrh! Ingin kuteriak.

"Gimana, Lu? Kapan kamu mau nepatin janji kamu? Saya sudah menjalankan dua misi dan dua-duanya berhasil. Sekarang giliran kamu yang ngikutin misi saya," celetuk Pak Rifat sambil menyandarkan bahu ke kursi tamu rumahku.

Kami baru saja selesai berbicara dengan Wak Romlah sebagai perwakilan pihak keluarga dan hasilnya Wak Romlah sangat setuju kalau pernikahan kami dipercepat apalagi Rani. 

Dia lebih happy karena punya calon kakak ipar orang kaya katanya mau dia pasang di feed i*******m. Terus setelah ngobrol serius, mereka berdua meninggalkan aku dan Pak Rifat berdua saja untuk membeli martabak.

Apes. Apes. Ya Allah! Tobat 

Kenapa hidupku sebegini anehnya? Punya keluarga tak ada satu pun yang memihakku.

Hash!

"Lu ... kamu gak lagi nyumpahin saya dalam hati, kan?" tegur Pak Rifat lagi karena aku hanya diam. 

Tahu aja lagi nih pangeran kodok.

"Iya, lagi nyumpahin. Kenapa? Ada yang salah?" lirikku sebal. Masih gondok karena kelakuannya yang membawa karangan bunga ke nikahan Marni.

"Gak. Gak ada yang salah. Malah saya seneng itu tandanya kamu udah mulai menganggap saya ini spesial," celetuknya penuh kesombongan hakiki. Kakinya bahkan ditopang satu khas seorang bos yang sedang bernegosiasi.

"Inget loh Lu, orang yang membenci itu sebenarnya fans sejati. Mungkin kamu fans sejati saya," sambungnya lagi.

Ya Salam! Mulai lagi dia bicara ngawur. Aku lelah.

"Ya, ya terserahlah," ucapku sambil membuang muka tak peduli. Sampai kapan pun aku tak bisa menang melawan Pak Rifat.

"Oke, karena kamu bilang terserah, saya ingin besok Lulu temenin saya fitting baju, beli cincin dan ketemu keluarga saya. Gimana?"

"Fitting baju? Buat apaan?"

"Jualan seblak. Ya, nikahlah, udah gak usah banyak alasan. Kalau gak saya gak akan bantu kamu lagi."

"Emang siapa juga yang minta bantuan?"

"Tuh kan dasar gadis keras kepala! Bukannya berterima kasih sudah dibantu, coba kalau gak ada saya mana bisa kamu nagih mereka. Kamu itu terlalu berhati ... baik," ujarnya lirih untuk kata terakhir.

Aku langsung menolehkan menolehkan kepala pada Pak Rifat. "Jadi saya baik?" tanyaku merubah nada suara sedikit bersemangat tapi dia langsung menggelengkan kepala kelabakan.

"Eh, enggak, maksud saya terlalu lemah pendirian, gampang kasian alias ... ah, sudahlah! Lupakan. Intinya saya ingin kamu mulai mengikuti misi saya sesuai janji kamu," ralatnya mengalihkan bahasan lagi.

Aku memainkan bibir. Benar juga sih aku sudah berjanji.

"Ya udah iya Ndoro. Oke. Tapi saya mau setelah fitting baju kita pergi nagih lagi, karena penghutang ketiga ini heum ...." 

"Preman, ya kan?" potong Pak Rifat seraya menatapku lekat. 

Lelaki itu merubah posisi kaki dan badannya bergerak condong ke arahku hingga terlihat sangat serius.

Anehnya dengan begitu dia  tampak ... ganteng. Eh enggak deng, ganteng banget.

Aku terpesona.

"Woy, preman kan?" Lelaki itu menegaskan lagi menyadarkanku yang tadi sempat tersihir.

"I-iya preman. Kok, Bapak tahu?" tanyaku kaget. 

Bukannya langsung menjawab Pak Rifat terlebih dulu  tertawa sumbang. "Tahulah, soalnya dia adalah musuh saya juga," katanya datar.

"Apa? Serius?" tanyaku syok. Membuka mulut lebar.

"Iya dulu waktu SMA kami pernah tawuran. Ya sudahlah, panjang ceritanya. Kembali ke poin inti, gimana? Jadi kamu ikhlas kan kalau kita percepat pernikahan kita? Sesuai kesepakatan kita kemarin, saya janji akan bantu kamu dan kamu bantu saya. Dimulai dari besok. Deal?" tawarnya sambil mengulurkan tangan.

Aku menggigit bibir ragu tapi setelah semua yang terjadi tampaknya tak ada alasan lagi untuk menghindar sebab harus kuakui Pak Rifat cukup banyak membantu. Dengan bismillah, aku pun membalas uluran tangannya.

"Oke, deal," jawabku pasrah. "Eh, tapi aku gak mau ya kalau nagihnya barbar lagi," protesku sambil menarik tangannya gemas.

"Gimana nanti," ujarnya menyeringai licik.

(***)

Esok harinya. Aku menaiki eskalator mall dengan perasaan campur-aduk. Seumur-umur aku tak menyangka kalau kehidupanku akan berubah 180 derajat.

Beberapa hari lalu, aku masih seorang gadis yang kelimpungan karena harus menghidupi adikku dan melanjutkan usaha. Pontang-panting menagih hutang kepada para penghutang tapi tiada hasil. Namun, semenjak kedatangan Pak Rifat semua berubah dan aku malah mau menikah dengan orang yang baru kutemui beberapa kali.

Derrt.

Ponselku bergetar saat kakiku sudah sampai di lantai tiga mall besar ini. 

Pak Rifat? Ya ampun! Tuh orang emang nggak ada sabar-sabarnya. Padahal sudah aku bilang kalau aku sebentar lagi sampai ke butik.

"Halo?" 

"Kamu di mana? Kamu tahu kan, ini jam berapa?"

"Iya. Ini juga bentar lagi nyampe kok ini udah jalan ke butik nih sabar ... Bosque!"

"Ya sudah, saya tunggu awas kabur!"

Klik. Hubungan telepon terputus.

'Dasar pemaksa!' umpatku dalam hati.

Aku kembali menyimpan ponsel ke saku setelah menerima telepon dari Pak Rifat.

Heran. Berurusan dengan lelaki itu tak ubahnya berurusan dengan bodyguard, pokoknya nggak jauh beda. Bedanya dia kaya dan licik, itu saja.

"Lulu?" Panggilan seseorang membuat kakiku terhenti. Sontak aku membalikan badan dan sepasang mataku kompak membulat setelah melihat siapa yang memanggil.

"Ya Allah! Mas Davin?"

Kakiku terasa mendadak beku setelah melihat siapa yang beberapa meter berdiri di depanku.

Dia adalah lelaki yang pernah aku tembak karena suruhan Kakak kelasku. Sejujurnya, dia cinta pertama dan yang paling terkenang sakitnya bahkan sampai sekarang karena Mas Davin cs membully-ku habis-habisan. Dulu dia bilang aku jelek nggak pantas buat dia.

"Hey, Lu? Lagi apa di sini?" tanya Mas Davin saat kami sudah berdiri berhadapan di samping tiang pembatas.

"La-lagi mau ketemu temen," jawabku tergagap.

"Oh temen. Dikira siapa. Betewe apa kamu sudah menikah?" tanya Mas Davin basa-basi.

"Belum, Mas."

"Belum? Beneran?"

"Eng ... anu ...."

"Mas! Mas lagi ngobrol sama siapa?" Pada saat kecanggungan mulai menyerang kami, tiba-tiba dari arah belakang Mas Davin seorang perempuan cantik datang dan langsung mengamit lengan mantan kakak kelasku itu.

Aku terkejut tapi berpura-pura tenang. Melihat Mas Davin yang ramah sama si perempuan bisa kutebak si perempuan itu istri atau pacarnya.

"Ini, Ren, Mas lagi ngomong sama mantan adik kelas Mas. Namanya Lulu, dulu dia pernah nyatain cinta sama Mas tapi Mas tolak. Ya gak, Lu?" tanya Mas Davin tiba-tiba menyinggung masa lalu yang ingin aku lupakan.

Aku tahu kalau dari dulu dia emang gemar cari muka tapi tak kuduga dia juga gemar membuka aib orang. 

Muka gila nih cowok! Uedan!

"Benar begitu Mbak? Jadi Mbak pernah suka sama suami saya? Gak heran sih suami saya kan ganteng, ya?" sindir si perempuan berwajah oriental itu menatapku sinis.

Huwek! Ingin rasanya aku muntah mendengar omong kosong mereka.

Aku hendak membuka mulut untuk membalas ucapan si Mbak  tapi gagal karena suara panggilan seseorang terlebih dulu menyela.

"Lulu!" 

"Pak Rifat?" Seketika itu juga kepalaku menoleh ke arah samping dan kutemukan Pak Rifat sedang tersenyum manis.

Astaghfirullahaladzim! Dia lagi, dia lagi.

Heran setiap adegan memalukan  Pak Rifat ini suka bikin aku jantungan tapi kali ini tak kupungkiri aku bersyukur dia datang.

"Lu, kok masih di sini? Mamah udah nunggu kamu buat fitting baju pengantin," kata Pak Rifat seraya menghampiriku.

Langkahnya cool sekali kayak baru keluar dari kulkas.

"Mamah? Jadi Mamah Pak Rifat ikut?"

Belum juga aku sadar dari keterkejutan, tiba-tiba Mas Davin nyeletuk.

"Pak Rifat? Anda Pak Rifat dari Inti Karya, kan? Jadi, Anda calon suami Lulu?" tanya Mas Davin seakan syok. Matanya melotot seakan melihat hantu di siang bolong.

Pak Rifat yang bingung mengalihkan pandangannya pada Mas Davin sembari tersenyum tipis. 

"Ya, saya calon imamnya. Kenapa?" Suara Pak Rifat terdengar senga dan itu membuat aku gugup.

"Wah! Ha-halo, Pak! Perkenalkan saya Davin dari bagian purchasing senang sekali bisa bertemu Bapak Bos di sini," kata Mas Davin sambil tergesa-gesa mengulurkan tangan pada Pak Rifat. 

Namun, lelaki di sampingku ini malah diam tak membalas uluran tangan Mas Davin. Alis hitamnya terangkat sebelah.

"Purchasing? Oh kamu pegawai saya?" tanyanya ragu.

"I-iya Pak," jawab Mas Davin makin gugup. Terutama mata Pak Rifat tampak tak bersahabat.

"Oke Davin terima kasih sudah bekerja di perusahaan saya tapi maaf saya gak senang ketemu kamu. Soalnya saya tidak suka punya karyawan yang suka bongkar aib orang demi kepentingannya sendiri. Permisi! Ayo, Sayang!" Pak Rifat tiba-tiba saja mengamit lenganku sementara aku hanya bisa bengong.

What? Sayang? Pala lu peyang! Sembarangan!

==

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status