Share

Balada Penghutang Marni

Namanya Marni tinggi 160 cm dengan berat 50. Sungguh ideal bagi janda yang suka merebut kekasih orang. Dia suka shopping dan juga foto alay. Minusnya Marni ini galak dan cepat tersulut emosi.

Hash! 

Mas Gagah oh, Mas Gagah! Kejamnya dikau padaku hingga kau nikah lebih dulu. Sampai sekarang aku masih tak percaya kalau guru SD itu lebih memilih Marni dibanding aku. 

Apa aku kurang seksi? 

Aku menatap nelangsa janur kuning yang ada di depan rumah Marni. Tak kusangka teman sepermainanku malah sudah nikah dua kali.

Ya, Marni adalah sahabatku dulu yang nikah karena MBA lalu setelah cerai dia berhutang kepada almarhumah sebesar lima juta. Saat itu dia beralasan mau memasukan anaknya ke TK dan dipakai usaha. Disebabkan Ibu itu baik dan kebetulan ketika itu toko lagi maju diberikanlah atas dasar dia temanku--kasian.

Eh, dasar manusia mars, sampai anaknya Marni mau kelas dua sd, tuh janda nggak ada itikad baik sama sekali malah dia berselingkuh dengan Mas Gagah--pacarku yang lulusan sarjana itu. Setiap ditagih bilangnya nggak ada terus tapi bisa mengadakan resepsi.

Pedih. Super pedih. Ibarat  luka di hati ini disiram dengan garam dan cuka. 

"Udah, jangan diliatin terus! Nanti wajah Kakak nambah camerong (muka yang kotor penuh coreng). Ya udah mau masuk gak nih? Atau nunggu Bang Rifat?" tanya Rani yang hari itu rela menemaniku datang ke undangan. Setelah dipaksa akan dibelikan kuota secara dicicil.

Aku memicingkan mata gemas. "Kamu panggil Pak Rifat apa tadi? Abang?"

"Iyalah, Abang. Masa Sayang? Udahlah Kak, dia itu lebih tampan dan gagah dari Mas Gagah. Kaya pula. Udah terima aja dan buruan ngomong sama Wak Romlah, kecuali kalau Kakak gak mau biar aku aja yang maju."

"Sembarangan! Rapot merah kamu tuh urusin, baru mikir nikah."

"Elaah ... rapot lagi dibawa-bawa. Kayak bakal ditanya di akhirat aja," dalihnya songong. Pas begini saja dia bawa akhirat pas disuruh solat alasannya mens terus.

Rani ... Rani, kapan kamu akan taubat, Nak?

Aku menghela napas. Berdebat sama Rani hanya membuat kepalaku semakin pusing.

Setelah memeriksa kondisi diri yang tampaknya cukup apik dan juga cantik sebagai mantan juga penagih hutang. Akhirnya aku membawa Rani masuk ke medan perang yaitu resepsi pernikahan Marni dan Gagah.

Tap. Tap. Tap. Dengan tegap dan semangat sekuat baja aku berjalan melintasi para tamu undangan yang memandangku aneh. Biarlah! Aku tak peduli.

Aku memutuskan untuk mengantri menyalami mempelai lebih dulu dibanding menunggu Pak Rifat. Bahkan aku berharap pria dewasa itu tak datang dibanding membuat kehebohan seperti di pos ronda.

Mengingat sikap Pak Rifat yang bermulut pedas dan keras kepala, diam-diam aku bersyukur nggak jadi sekretarisnya Pak Rifat dan memilih meneruskan usaha toko kelontong Ibu. Daripada jadi beban walau pada akhirnya dana buat suplai barang toko tetap Pak Rifat juga yang mau bantu.

Aku menerima bantuan Pak Rifat karena terpaksa demi menyelamatkan usaha warisan Ibu. Sebenarnya, sebelum meninggal Ibu mewanti-wanti agar aku bisa melanjutkan usahanya karena kasian ada beberapa pelanggan yang masih suka ke toko tapi setelah Ibu meninggal toko itu belum aku buka karena barang persediaan tak ada dan habis modal.

"Kak! Woy, Kak! Bengong aja dah, itu hayu maju sebentar lagi mau giliran kita," kata Rani menyenggol lenganku.

Aku terhenyak. Pemikiran usaha toko membuatku sadar kalau sebentar lagi kami akan bersalaman dan kulihat Mas Gagah sudah melihatku.

"Oh, iya. Ayo Ran, kita selesaikan dengan cepat!" titahku sambil mengamit Rani menuju kedua mempelai. 

"Eh, tapi Kak kita nagih hutang gak sekarang?" Rani berbisik pelan di telingaku.

"Gimana nanti aja," jawabku sambil mempercepat langkah. Ingin segera pergi dari resepsi yang menyesakan ini.

(***)

"Eh, Lulu, datang juga. Gimana kabarnya?" tanya Marni saat aku dan adikku tiba di depan mereka.

"Baik-baik. Selamat ya kalian, semoga jadi keluarga sakinah, mawaddah dan ...." Aku menarik tangan Marni dan berbisik di telinganya,"jangan lupa bayar hutangnya," bisikku membuat Marni melotot.

"Eh? Hutang? Hutang yang mana?" tanya Marni balas berbisik.

Oke, ekspresi pura-pura amnesia begini udah sering kulihat mentang-mentang dia sudah ahli menghindar selama tiga tahun ini.

"Yang kamu pinjam ke almarhumah Ibu aku buat modal, masa gak inget?" Aku masih berbisik, demi menjaga harga dirinya.

"Ah, kamu fitnah! Mana buktinya aku berhutang?" sentak Marni membuat mataku seketika terbelalak lebar.

Heran ya, ada orang yang penuh drama macam Marni. Udah syukur aku menagihnya baik-baik dibisiki pula biar orang nggak tahu eh ... dia malah membuka aib sendiri.

"Apa perlu aku buka? Sudahlah! Nanti kita bahas lagi, ya? Aku hanya ingetin kamu sebagai kewajiban biar pernikahan kalian berkah," kataku sambil melenggang santai berniat menyalami Mas Gagah.

Namun, baru saja mau mengulurkan tangan, Marni tiba-tiba mendorong bahuku kasar sampai aku hampir terjungkal untung ada Rani. Sudah kuduga dia akan melakukan ini karena dia itu tak bisa mengendalikan emosi. Ini juga alasan dia bercerai dengan suami pertamanya.

"Hey! Kamu jangan fitnah, ya? Mana buktinya kalau aku berhutang sama kamu?" tantangnya sambil menunjuk ke arah hidungku.

Aku menarik napas dalam, mengendalikan desakan marah yang mau meledak. "Bukan sama aku Marni tapi sama almarhumah ibuku. Aku ada buktinya di toko, kwitansi dan perjanjiannya."

"Alah bohong! Kamu itu syirik, kan? Karena Mas Gagah milih aku? Dasar item! Makanya punya muka itu dirawat! Paham!" bentak Marni tepat di depan mukaku. Mana napasnya bau naga lagi.

Jujur, dihina begitu. Ingin rasanya aku menonjok muka Marni sekarang tapi Mas Gagah lebih dulu bersuara. Aku masih menahan diri karenanya.

"Eh, Marni! Sudah, sudah! Kita lagi nikah! Malu sama tamu," kata Mas Gagah sambil menarik lengan Marni karena semua orang langsung memperhatikan.

"Halah! Biarin! Biar mereka tahu kalau di sini ada mantanmu yang tukang fitnah! Lihat, Mas! Gara-gara kamu milih aku dia sampai nuduh aku berhutang tanpa bukti."

Aku mendengkus karena perkataannya yang menggores hati. 

"Maaf ya Mar, aku hanya mengingatkan tapi aku gak fitnah kamu. Aku ada buktinya tapi kebetulan aja aku gak bawa, kenapa kamu marah? Kamu bayar atau tidak terserah kamu. Tapi yang pasti tunggu balasannya aja nanti di akhirat," kataku tetap tenang. Bagiku kalau emosi sama dia sama saja gilanya.

"Alah! Cuih! Alasan aja! Kalau gak ada bukti jangan banyak cingcong! Udah kamu pergi sama adik kamu dari sini! Dasar miskin! Pergi!" 

Kulihat beberapa orang keluarganya langsung merangsek menghadangku. Sontak saja aku dan Rani mundur. 

Detik ini, aku benar-benar menyesalkan keputusanku hadir tanpa membawa bukti surat yang Rani tanda tangani sehingga kami dipermalukan.

"Ayo, pergi!" bentak Marni lagi. "Pak hansip tolong! Usir mereka!"

"Eits! Jangan sentuh mereka! Minggir! Dia calon istri saya!" bentakan keras membuat dua hansip tadi urung memegang lenganku.

Aku menolehkan kepala. Mataku sontak membulat melihat Pak Rifat datang dengan satu karangan bunga yang besar yang dia bawa sendiri.

Kejadian ini tentu saja  membuat orang-orang melongo kaget melihat tulisan yang ada di karangan bunga tersebut karena isinya benar-benar memalukan.

[Selamat Menempuh Hidup Baru Marni. Selamat Menikmati Uang Haram dan Dengan Ini Kami Sertakan Juga Bukti Surat Perjanjian Utang-Piutang.]

"Pa-Pak Rifat ini apa?" Hampir saja bola mataku lepas saking tak percayanya Pak Rifat bisa bertindak sejauh ini.

"Karangan bunga Lu, buat temenmu yang berhutang ini, gimana bagus kan?" jawab Pak Rifat kalem tapi berhasil bikin muka Marni memutih bak mayat. Terlebih setelah Pak Rifat bawa dokumen kertas perjanjian yang menunjukan Marni berhutang.

Aku syok.

Kok suratnya ada di dia? Bagaimana bisa? Kunci tokonya kan di aku?

Ya Allah! Oksigen mana oksigen! Aku butuh oksigen!

==

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status