Share

Bab 4. Keseriusan Rifat

Misi berhasil. Berkat mulut pedes Pak Rifat yang mengalahkan kepedesan cabe domba, akhirnya Bu Selamet mengibarkan bendera putih dan uang lima ratus ribu sudah di tangan. Sekarang tinggal kehidupanku saja yang terancam. Siapa sangka, sepulangnya aku dan Pak Rifat dari menagih hutang, kulihat di depan rumahku sudah banyak orang. 

Astaghfirullah! Aku dan Pak Rifat langsung kompak melotot dengan mulut menganga karena sama-sama tercengang. 

Ada apa gerangan? Perasaan nggak ada acara bagi-bagi sembako. Heran ... sampai ada Pak RT segala. 

Hash!

"Kakaaak! Buruan sini! Tanggung jawab!" teriak Rani. Tubuh kecilnya tiba-tiba menyeruak dari dalam kerumunan. Kerudung sekolah yang ia pakai sampai miring-miring saking emosi melihatku yang bengong di halaman rumah. 

"Eh, bentar! Bentar! Ada apa ini? Kok, jadi rame begini Ran?" Aku menelan ludah sambil berpandangan dengan Pak Rifat yang memandangku tak mengerti. 

"Itu Kakak katanya mau nikah bener sama orang kaya? Mereka nanya kok tetangga pada nggak tahu? Rani diserang pertanyaan, eh Rani aja kagak paham," celoteh Rani heboh. 

Aku belingsatan mendengar pertanyaan Rani dan berdoa semoga tuh anak nggak ayan setelah tahu yang sebenarnya. Pasti ini gara-gara Pak Rifat yang kalau ngomong asal jeplak aja tadi saat berada di depan Bu Selamet dkk tanpa peduli efek yang akan ditimbulkan dan sekarang yang kutakutkan terjadi. 

Mereka berbondong-bondong minta diundang dan sibuk berkasak-kusuk. Hingga kondisi halaman rumahku sekarang udah rame banget kayak pasar kaget. 

"Kak jawab! Itu semua udah nunggu!" Tunjuk Rani ke arah Pak RT cs yang sedang memperhatikan kami harap-harap cemas. 

Sesaat aku menatap Pak Rifat yang wajahnya menunjukan tanpa dosa. Tapi, yang ditatap hanya tersenyum licik seakan dia memang ingin hal ini terjadi.

"Ehm, Ran. Sebenarnya Kakak ...."

"Iya, betul. Kakakmu akan menikah Dek," potong Pak Rifat. Kebiasaan buruknya yang suka to the point mulai lagi.

"Sa-sama siapa?" 

"Saya," cengir Pak Rifat pede. 

Mendengar itu seketika itu juga Rani hampir saja mau berpura-pura pingsan untung ditahan olehku.

"Udah, jangan lebay!" bisikku pada Rani yang langsung manyun.

(***)

"Selamat ya Lulu kami ikut seneng. Minimal setelah meninggalnya Bu Minah kalian ada yang jaga." Pak RT mewakili warga menyampaikan rasa senangnya. 

Di kampung ini emang hanya Pak RT yang kayaknya peduli pada kami baik saat ada Ibu atau udah meninggal. Mungkin karena dia sahabat dekat Ayah semasa hidup.

"Iya, Pak RT alhamdullilah terima kasih. Oh iya, ini perkenalkan calon suami saya Rifat Sangkar Alfatih," ucapku memperkenalkan Pak Rifat yang sedang duduk di sebelahku. 

Karena tak enak ngobrol di luar aku mempersilahkan mereka masuk ke ruang tamu rumahku yang kecil. Sehingga tak semua bisa duduk, ada yang rela berdiri di ambang pintu sebagian karena penasaran. Maklum, kami memang penduduk lama kampung ini tak heran jika jadi bahan kepo-an warga sekitar.

"Iya, salam kenal. Saya Rifat calonnya Lulu," sapa lelaki itu santai. 

Pak Rifat tersenyum ramah pada semua orang yang hadir di sana yang jumlahnya kurang lebih tujuh orang, saking ramahnya dia bahkan memberikan senyuman manis pada kucing kampung yang lewat di depannya. Kasian, masih muda udah aneh.

"Alhamdullilah Pak Rifat yang ganteng ini sudah memperkenalkan diri. Nah, kan kalau gini enak. Oh iya, nikahannya di gedong apa di rumah? Makanannya apa aja? Tapi kalau bisa ditambahin ya jatahnya jangan kayak anaknya si Encum, pas kita datang eh tinggal sate sama lontongnya doang," celetuk Bu Emih yang langsung disambut anggukan kompak warga lainnya. 

"Iya bener tuh!"

"Eh, bukannya itu abis juga karena Ibu bawa rantang ke sana buat bungkusin?" 

"Eh, Oning, syuut! Jangan buka kartu!" semprot Bu Emih sambil mesam-mesem.

Aku mengelus dada melihat kelakuan mereka. Belum apa-apa udah pada ultimatum, sumpah aku sangat malu pada Pak rifat. Untungnya, pria tampan di sampingku ini masih saja memasang wajah selow sambil sesekali menahan tawa. Dia seperti menikmati suasana kericuhan ini berbeda denganku yang berasa panas mulu. 

Aku aku kurang dzikir kali, ya? Bawaannya emosi. 

"Tenang Bu, makanannya kami sudah ada porsinya," kata Pak Rifat membuat semua tersenyum lega. Tapi, tidak untukku karena berbicara dengan keluarga besar saja belum, gimana mau ngurus makanan? Ngurus yang berhutang saja ruwet.

"Oh iya, maaf nih Den Rifat, betewe masih butuh tukang saron sama biduan gak?" tanya Mang Usup menyela. 

Dia memang punya organ tunggal di sekitaran sini dan sudah bisa kutebak arah pertanyaannya. Sudah jadi rahasia umum, jika ada yang menikahi warga sini pasti bakal repot urusan tujuh turunan delapan tanjakan. Namun, aku tak akan merepotkan Pak Rifat akan kujaga agar pernikahan kami nanti aman sentosa.

Pak Rifat menolak dengan sopan. "Kami tak memakai itu Pak."

"Kalau penjaga perasmanan? Masih butuh yang jaga gak? Nanti biar saya yang jaga." Kali ini Neneng ikut bersuara. Dia terkenal dengan kemeditan hakikinya.

"Kami juga sudah ada. Maaf."

"Kalau tukang rias? Masih butuh? Kagak apa diskon aja, mudah!" Bu Nia menimpali.

"Udah ada." Kali ini aku yang menjawab dengan kesabaran yang mau meledak.

"Tukang cuci piring?"

"Gak usah."

"Tukang jaga siomay?"

"Gak ada siomay."

"Tukang cetak undangan?"

"Udah ada."

"Tukang parkir?"

"Tukang eskrim?"

"Tukang ngintip malam pertama?"

Stop! Aku sudah tidak tahan.

"Kagak! Kagak ada semua udah siap. Kagak pake undangan, kagak ada acara, udah ijab kabul kelar! Kelar!" teriakku frustasi sambil berdiri.

"Eh? Lulu?" Semua orang terkejut mendengar jawabanku. 

Mereka memandangku dengan sorot mata takut juga bingung, begitu juga Pak Rifat. 

Aku yang kelepasan berbicara keras karena saking kesalnya ditanya yang nggak penting langsung merasa enggak enak dan gegas meralat sebelum mereka salah paham.

"Eh, maaf! Maksudnya bisa gak obrolannya kita kelarin saja karena pernikahan kami sudah 90% siap. Jadi mendingan sekarang lebih baik pada pulang soalnya ini udah mau maghrib," kataku cengengesan, mencari alasan yang langsung dijawab sama mereka dengan membulatkan mulut kompak.

"Oh ... kirain apa. Ya udah kalau gak ada undangan resepsi, undangan malam pertama juga gak apa deh."

Gubrak! Mau pindah warga aja kalau gini mah, Mak! Tolong!

(***)

"Pak, maaf ya atas ketidaknyamanan dan kegaduhan yang disebabkan warga di sini," sesalku ketika aku mau melepas Pak Rifat pulang. Dia sudah memakai sepatunya dan bersiap pergi dari rumahku setelah menyuap Rani hingga tuh anak anteng nggak banyak tingkah lagi.

Pak Rifat tersenyum geli. "Gak apa-apa kali Lu mereka lucu," kata lelaki itu santai.

"Iya, lucu tapi kadang bikin naik darah. Pas saya kelaparan mereka mana mau berkunjung tapi pas giliran saya mau nikah hebohnya minta ampun."

"Ya, begitulah memang manusia Lu, karena itu jangan berharap pada manusia kata Allah juga. Nanti kitanya yang bakal sakit hati," ucap Pak Rifat membuatku terpana.

Tumben bijak.

"Oh, iya, besok kita lagi nagih hutang lagi, gak?" tanya Pak Rifat bersemangat. Sedangkan aku langsung mengibaskan tangan.

"Eh gak usah! Gak usah, biar aku aja besok yang nagih," elakku panik karena masih trauma.

Masalahnya penghutang kedua ini agak spesial, aku takut kalau si penghutang kedua ini bertemu dengan Pak Rifat akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Karena mereka sama-sama suka berkata tajam. 

"Kenapa?"

"Gak apa-apa."

"Bohong. Kalau kamu melarang saya pasti ada alasan Lu, katakan kenapa?" Pak Rifat mendelik tajam. Lelaki ini tampaknya sangat penasaran.

Aku menundukan kepala sambil memainkan jari karena ragu.

"Lu ... kalau kamu gak bilang say--"

"Karena yang berhutang adalah janda seksi yang mau menikah sama mantan saya Pak," potongku cepat dalam satu tarikan napas.

Agh, akhirnya aku membuka aib juga. Padahal sudah aku tahan-tahan eh, dasar hatiku ini lemah iman.

"Oh, begitu. Oke, besok kita datang ke nikahannya. Kamu hanya perlu menyiapkan ... MENTAL," ujarnya menekankan kata terakhir.

Hayo loh, dia mau apa?

==

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ati Husni
seru ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status