Share

Bab 3. Penghutang Pertama

Penghutang satu. Namanya Bu Selamet, kebiasaan pamer jalan-jalan tapi mundur kalau bayar hutang. Kalau di W* alasannya lagi ada bayaran kontrakan-lah dan nggak ada duit, tapi kalau di medsos liarnya suka pamer dolar dan foto belanja barang mahal.

Enaknya, penghutang kayak gini diapakan, ya?

Aku mengerutkan kening berpikir. Entah apa salah dan dosaku hingga setelah Ibu meninggal aku malah dapat amanah dari mendiang Ibu untuk menagih hutang dari orang-orang macam Bu Selamet, Bu Tejo, Bu Tukijem, Bu Ijah, Mak Wedok, Ceu Isoh, Ceu Neneng dan kawan-kawan.

Setelah diblokir Bu Tukijem, mangsaku balik lagi ke nomor satu yaitu Bu Selamet, dia tetangga jauh yang rumahnya paling pojok menghadap pohon palem.

Sebenarnya, hutang dia terhitung nggak terlalu besar bagi orang kaya yaitu senilai 500ribu tapi bagi kami yang hidup di ambang kemiskinan itu sangat berarti apalagi tabunganku sudah menipis.

Mau makan apa nanti, kalau nggak nagih hutang?

"Mau nagih lagi, Kak? Yakin gak akan dicuekin?" tanya Rani sambil duduk di sampingku. Dia tampaknya baru pulang dari agenda eskul karena masih mengenakan seragam sekolah.

Gadis SMA itu akhirnya mau masuk lagi setelah aku membayar spp dengan menjual cincin dan kalung peninggalan Ibu untukku.

"Namanya wasiat Ran, Kakak coba aja dulu, kali aja sekarang dia dapat hidayah," kataku sambil melihat buku catatan nama-nama penghutang warisan dari Ibu.

Rani mendesis sebal. "Ya. Ya semoga aja, Kakak gak diusir lagi kayak dulu.

Tapi Rani kesel tuh Kak sama Bu Selamet, di status W* nya pamer mulu pake skin care terus tapi pas Rani tanya, dia malah nawarin tupperware. Apaan coba gak nyambung? Oh ya, Kakak gak apa-apa kan nagihnya sendirian? Rani males ketemu dia," keluh Rani dengan wajah cemberut.

Terlihat sekali tanda-tanda kalau dia mau menumbalkan aku menghadapi Bu Selamet yang ceriwisnya ... yo wis itu sendirian. Namun, kali ini aku tak perlu khawatir.

Aku menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, kamu istirahat aja. Kakak ada yang nemenin kok," jawabku santai sambil merapikan ikatan rambut.

Kupikir mumpung belum maghrib, aku harus bergegas ke rumah Bu Selamet karena kalau siang dia selalu beralasan antar anaklah-itulah. Cape deh.

"Siapa? Emang Kakak punya temen? Perasaan pas kita miskin, temen-temen Kakak udah jarang main ke sini," kata Rani sarkastik.

"Eng ... itu ...."

"Assalammu'alaikum."

Tok. Tok. Tok.

Tepat di saat aku mau menjawab Rani, suara pria di luar rumah membuat dadaku seketika berdebar kencang.

Dia datang. Lelaki itu menepati janjinya untuk membantuku menagih hutang sesuai pembicaraan kami kemarin di kantornya.

Perasaan tadi biasa saja sebelum dia ke sini, tapi pas denger suaranya yang seksi seketika jantungku serasa diajak lari.

"W*'alaikumsalam, siapa ya?" tanya Rani sambil beranjak dari kursi.

Adikku yang tidak tahu apa-apa dengan polosnya membuka pintu tanpa tahu kalau sang tamu akan menjadi calon Kakak iparnya--atas asas balas budi.

Dialah Pak Rifat.

Cklek.

"Astaghfirullah! Bapak siapa? Kok ganteng?" tanya Rani dengan mata melotot.

"Halo, Dek, Kak Lulu-nya ada?" Terdengar suara ramah nan nge-bass menyapa gendang telinga.

"Ada Pak, hadir!"

Aku bergegas beranjak untuk menemuinya karena adikku malah melongo, ekspresi biasa kalau lihat orang ganteng.

Pak Rifat tampak lega saat aku hadir di belakang Rani. Pria dewasa yang sore itu berpakaian lebih santai dengan menggunakan kaus tersebut tersenyum padaku.

Oh ya Allah! Tolong jangan senyum, Pak! Jangan senyum! Aku takut diabetes.

"Hay, Lu. Saya nepatin janji saya, kan? Oh ya, sekalian saya mau kasih contoh und--"

"Eh, Pak ayo pergi! Kita bahas itu nanti," potongku langsung ketika kulihat dia mau menyodorkan kartu undangan.

Bahaya! Aku tidak boleh memberitahu Rani sekarang tentang rencana pernikahanku dua minggu lagi bisa berabe. Dia baru pulang soalnya.

"Eh, tapi ini penting Lu, buat kita," kata Pak Rifat terlihat bingung melihat sikapku.

"Iya, nanti saja! Oke, Ran, Kakak berangkat nagih utang dulu, assalammu'alaikum!" pamitku segera sambil menarik kuat tubuh Pak Rifat agar langsung melangkah meninggalkan rumah. Tanpa memperdulikan Rani yang masih bengong.

(***)

Aku ini anak sulung. Banyak sekali pertimbangan yang harus kulakukan dalam memutuskan suatu perkara. Termasuk masalah nikah, terutama statusku sekarang multi fungsi, selain menjadi Ibu aku pun harus menjadi Ayah bagi Rani dan ... Gian adik angkat kami yang sedang di pesantren. Kasian Gian, dia diangkat anak sama almarhumah Ibu karena ibunya tidak bertanggung jawab.

Inilah alasan aku belum bilang pada Rani dan keluarga besarku tentang rencana pernikahanku dengan Pak Rifat. Aku masih bingung harus menjelaskannya dari mana.

Sejujurnya, sampai sekarang aku masih tak percaya kalau interview kerjaku kemarin malah berakhir dengan lamaran, bukannya kerja eh, malah dapat calon suami. Masih terasa mimpi sih, ada yang bayar hutang dengan perjodohan.

"Kenapa kamu tadi melarang saya nunjukin undangan?" tanya Pak Rifat saat kami berjalan bersisian menuju rumah Bu Selamet.

"Saya belum bilang sama keluarga, Pak, saya harus mengatur kalimatnya agar tidak terkesan pernikahan kita terburu-buru," jelasku.

"Kalau kamu gak mau bilang, biar saya yang melamar kamu. Bisa kan? Kemarin kan saya sudah mengajukan diri tapi kamu nolak," kata Pak Rifat sangsi.

Aku mendelik ke arahnya.

"Ya-iyalah Pak, kalau Bapak langsung datang bisa kejang-kejang mereka. Udahlah, beri saya waktu dua hari ini saya coba ngobrolin tentang pernikahan kita," jawabku tetap pada pendirian.

"Kamu gak bohong, kan? Inget loh, kita udah sepakat dan saya udah jauh-jauh datang ke sini."

"Ya, saya gak bohong. Lagian Bapak juga belum tentu berhasil ngerjain syarat saya. Pake yakin banget bakal nikah, tunjukin dulu dong!"

"Tunjukin apa?"

"Tunjukin kalau Bapak bisa nagih para penghutang itu. Dimulai dari ibu itu!"

Tunjukku pada Bu Selamet yang kebetulan sore itu sedang memamerkan gelang perhiasaannya pada emak-emak yang sedang berkumpul di depan pos ronda. Bagus! Tak perlu jauh-jauh ternyata mangsa ada di depan mata.

(***)

"Maaf, Bu, mengganggu?" sapaku pada Bu Selamet dan ketiga dayangnya.

Aku memutuskan menghampiri Bu Selamet di pos ronda sementara Pak Rifat mengamati dari jarak jauh dengan dalih  ingin tahu dulu usahaku.

Ck! Dasar orang kaya! Bilang aja kalau dia mau melarikan diri dan hanya membual.

Melihatku hadir di antara mereka, wajah Bu Selamet langsung berubah jutek.

"Eh, Lulu! Mau apa Lu, ke sini? Tumben mau gabung sama kami? Biasanya jadi kepompong aja tuh gak mau main sama warga gang," sindirnya telak menusuk sampai ke organ dalam.

"Iya, semenjak Bu Minah meninggal kamu dan adikmu itu udah kek makhluk Alien Lu, jarang lewat sini," timpal Bu Nur yang diaminkan oleh kedua ibu lain.

Aku tersenyum masam sambil beristighfar. Sebenarnya alasanku tak suka gabung ghibah di pos ronda adalah aku takut menambah dosa.

"Maaf, bu-ibu maklumlah kalau saya gak gabung, saya harus nyari nafkah. Soalnya toko kelontong almarhumah Ibu lagi sepi. Oh ya, saya ke sini mau ngobrol sama Bu Selamet. Bu, boleh kita ngobrol?" tanyaku mengarahkan pandangan pada Bu Selamet dengan sopan. Bagaimana pun dia lebih tua, aku harus menjaga harga dirinya.

"Ngobrol apa? Gak, ah! Saya lagi sibuk, entar aja ngobrolnya," kilah Bu Selamet.

"Tapi Bu, ini penting atau saya ngomong di sini aja. Di depan semuanya?" tantangku kesal.

Sudah dua tahun dia terus mengelak dan sewaktu Ibu ada tak pernah dia membayar hutangnya.

"Ngomong! Ngomong aja, saya gak takut. Kenapa kamu mau ngomongin soal hutang lagi, ya? Aneh deh kamu itu Lu, masalah hutang sedikit saja dibesar-besarin."

"Bukan dibesar-besarin Bu tapi saya lagi butuh buat makan dan kehidupan sehari-hari," jelasku sambil mengepalkan tangan menahan emosi.

"Ya Allah Lu, kamu itu masih muda masa masalah duit segitu mah buat kamu kecil. Saya mah Lu, beli perhiasan juga harus nunggu anak saya. Saya ini janda Lu, udah tua lagi," kata Bu Selamet memasang wajah sedihnya dan itu membuatku muak.

"Iya, Lu. Kasian Bu Selamet, udah ikhlasin aja. Orang Ibu kamu udah meninggal ini. Biar jadi pahala," timpal yang lainnya menyudutkanku.

Aku masih ingat, dulu saat Bu Selamet butuh dia sampai mohon-mohon ke almarhumah, tapi pas ditagih kita yang malah kayak penjahat. Padahal dia yang jahat menahan harta anak yatim-piatu sepertiku.

"Eheum! Maaf, ganggu!"

Tiba-tiba di antara perdebatan alot kami, ada suara laki-laki menyela.

Mataku membelalak lebar. Pak Rifat?

Melihat ada cowok ganteng, rapi, wangi dan tampak kaya hadir di pos ronda. Mata ibu-ibu langsung terang-benderang semacam melihat bintang jatuh.

"Eh, ada orang ganteng. Iya, Bang ada yang bisa dibantu?" sapa Bu Nur sambil mengedip manja begitu juga yang lainnya.

"Nggak ada Bu, saya ke sini mau jemput calon istri saya," jawab Pak Rifat kalem.

"Emang, siapa Bang calon istrinya? Aduh sayang ya, udah punya calon, tadinya mau saya jodohin sama anak saya, dia dokter loh," kata Bu Selamet sambil merangsek maju ke depan Pak Rifat.

Aku berdiri gugup karena bingung harus berekspresi apa. Diam-diam aku berdoa semoga Pak Rifat tak mengatakan hal yang aneh tapi doaku lagi-lagi tak terkabul.

"Calon istri saya ya ... Lulu. Gadis yatim-piatu yang Bu Selamet hutangin selama dua tahun dengan alasan gak punya uang tapi bisa beli gelang imitasi sambil pamer di medsos habis belanja di mall. So, to the point saja, jadi kapan Ibu mau bayar pada calon istri saya? Karena kalau nggak bayar, saya nggak yakin kalau Ibu akan selamat di dunia dan akhirat," seringai Pak Rifat membuat semua orang terkejut.

Termasuk aku.

Ya Allah, Pak! Nggak gitu cara mainnya.

Tepok pantat eh ... jidat.

==

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ati Husni
ha ha ha rifat rifattt
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status