Share

Bab 2. Diajak Nikah

"Saaah!"

Byuuur! 

"Kakaaak! Banguuun!" 

Astaghfirullah! Aku sontak terlonjak ketika kurasakan hawa dingin menyerang tubuhku.

Seketika itu juga mataku terbuka, bayangan Pak Rifat dan Pak Gilar berganti dengan bayangan Rani yang sedang memegang ember dengan wajah kesal. 

"Rani? Ngapain kamu di kantor Kakak?" tanyaku linglung.

Perasaan tadi aku sedang berada di ruangan Pak Gilar yang bagus dan aku sedang dilamar.

Lah, kok sekarang malah ada si Rani? Mana bajuku basah lagi.

"Kantor? Kantor apa, Kak? Wah, kacau! Bangun, Kak, woy! Elaah ... harus dibanjur terus biar sadar kalau kita kere! Lihat tuh udah jam berapa? Udah jam 12.00," omel Rani sambil menunjuk ke arah jam dinding yang ada di dalam rumah.

"Ih kamu mah serius atuh, tadi Kakak di kantor. Terus mana itu si ganteng yang auranya aura syurga? Mana?" kataku meracau.

Aku celingukan heboh mencari ke kanan dan ke kiri tapi yang kutemukan hanya kursi rotan dan jemuran. Bisa kupastikan kalau ini rumahku dan aku bukan berada di kantor.

Apa aku bermimpi? Apa lamaran itu hanya mimpi di siang bolong?

Melihat tingkahku yang kayak orang semaput Rani menggelengkan kepalanya.

"Nggak ada orang ganteng Kak, apaan sih Kak? Aneh deh," kata Rani lagi.

"Ck! Ck! Parah nih orang miskin, jam segini ngehalu. Udah ah, Kak sana berangkat, bukannya Kakak mau ada janji datang ke kantor karena diterima kerja?" 

"Hah? Kerja?"

"Iya, tadi Kakak bilang diterima kerja di perusahaan Inti Karyamuda dan disuruh ke sana jam 1 siang. Eh, Rani cek kok malah molor? Cepetan gih! Kali aja Rani bisa bayar SPP karena gaji Kakak, Rani kan ingin masuk sekolah lagi Kak," celoteh Rani menyadarkanku kalau kejadian di ruangan Pak Gilar itu tak nyata.

Amsyong ... syong! Sungguh disayangkan.

Aku ingat sekarang. Setelah menerima telepon dari Mbak-Mbak yang suaranya kayak resepsionis mungkin aku langsung tertidur di kursi rotan karena kelelahan menagih hutang dan sekarang ....

Aku terlambat.

(***)

Nelangsa. Mimpi manisku ternyata halusinasi yang terasa sangat nyata.  

Gimana aku bisa mimpi sejelas itu? Muka dan nada suara mereka masih terekam jelas di otakku. Tapi, masa iya kan almarhumah Ibu punya teman kayak Pak Gilar? Seingatku Ibu itu mainnya hanya sama ibu-ibu PKK dan tetangga yang amnesia kalau ditagih hutang.

Ah, bodo amat-lah! Kayaknya aku kelamaan jomblo dan nonton yang nggak jelas jadi efeknya alam bawah sadarku itu agak konslet.

Sadar, Lu! Sadar! Ingat Rani butuh biaya sekolah, jangan sampai dia bolos sekolah lagi kayak tadi karena malu akibat biaya SPP menunggak.

Aku memukul kepalaku berulang kali untuk mengembalikan kewarasanku sepenuhnya. Saat ini, aku sedang diminta Mbak resepsionis untuk menunggu di ruang tunggu kantor Inti untuk bertemu Pak Direktur.

"Siang Mbak, Mbak pasti Mbak Ludia yang tadi kami telepon, ya?" tanya seorang wanita bergigi gingsul dan berpakaian formal padaku.

"Iya, Mbak saya."

"Baik, Mbak. Silahkan pergi ke ruangan Pak Rifat, ya? Karena Pak Rifat sudah menunggu di ruangannya."

Aku melotot. "Eh, Pak Rifat? Jadi, Pak Direkturnya namanya Pak Rifat, ya Mbak?" 

Hampir saja bola mataku keluar dari kelopaknya ketika mendengar nama si Bos yang disebutkan sekretaris itu.

Si Mbak gingsul tersenyum ramah. "Iya, Mbak. Namanya Pak Rifat. Ruangannya ada di pojok sebelah kiri ya Mbak," kata Si Mbak menunjukan arah ruangan si Bos yang namanya sama seperti dalam mimpi.

(***)

"Ceritakan tentang diri Anda."

"Si-siap Pak, nama saya Ludia Hanifah. Bapak bisa panggil saya Lulu, Ifah atau Sayang. Eh, maksudnya Lulu aja Pak," kataku dengan wajah super tegang.

Tak kusangka mimpi ini jadi nyata. Wajah Pak Rifat yang kulihat di mimpi sama banget dengan yang kulihat di dunia nyata.

Apa mungkin ini yang dinamakan jojodog eh jodohku?

Alis Pak Rifat terangkat satu. "Oke, saya panggil Anda Lulu saja, ya?" tanya Pak Bos ganteng yang cambangnya tercukur rapi itu padaku.

Aku mengangguk. "Iya, Pak."

"Oke, Lu. To the point saja. Jadi, sebenarnya, bukan tanpa alasan saya memanggil kamu ke sini. Perkenalkan saya Rifat Andika, di sini saya bertindak sebagai Direktur dan sebelum kita bekerja saya ingin bertanya. Apa benar Ibu kamu bernama Bu Suminah Fatmawati dan tinggalnya di gang Kelinci?"

"I-iya Pak."

"Dia punya toko kelontong yang nama tokonya Maju Kena Mundur Kena?"

"Iya, juga Pak. Emang kenapa, Pak?" tanyaku dengan dada yang mulai berdebar kencang.

Jangan-jangan, sebentar lagi aku akan dilamar?! Kayak mimpiku tadi. Udah mulai nyerempet masalah Ibu soalnya.

"Ah, syukurlah, tebakan saya benar. Akhirnya saya bertemu dengan anaknya," kata Pak Rifat dengan nada lega.

Aku mengerjapkan mata berulang kali. Seingatku, di mimpi yang bertanya begini Pak Gilar namanya bukan Pak Rifat.

"Ba-Bapak kenal Ibu saya?" tanyaku terbata.

Aku berharap ending dari pertanyaan ini sama dengan yang ada di mimpiku.

"Iya, Saya kenal. Heum ... lebih tepatnya mendiang Ayah saya kenal dengan Bu Minah. Oh iya, ini foto Ayah saya." Pak Rifat menunjukan foto di ponselnya.

Gila, sih! Sama banget. Aku menelan ludah, bisa-bisanya hantu si Pak Gilar masuk ke mimpiku. Eh, tapi menurut mitos kalau aku bermimpi bertemu orang yang meninggal berarti ada yang ingin dia sampaikan.

Apa ini maksudnya?

"Sekarang kamu percaya, kan? Oh iya, gimana sekarang kabar Bu Minah?" 

"Ibu saya sudah meninggal Pak. Saya sekarang tinggal berdua dengan adik saya."

"Innallilahi w* inna ilaihi rojiun. Saya turut berduka cita ya, Lu? Lalu, gimana kabar toko kelontong milik Ibu kamu?"

"Sepi banget Pak, barang dagangan modal juga habis dipinjam makhluk yang tak bertanggung jawab. Nggak ada perputaran juga saya bingung mau jualan apa Pak."

Pak Rifat manggut-manggut seolah paham. Lelaki yang tampaknya berusia jauh lebih tua dariku itu mengusap rahangnya yang lancip berulang kali. 

"Heum ... baik-baik. Saya paham kok. Nah, Lu, sebenarnya saya sudah lama mencari kamu. Awalnya saya ragu yang melamar ke perusahaan ini adalah anak almarhumah Bu Suminah tapi ternyata benar."

"Maaf Pak tapi ngapain Bapak nyari saya?" tanyaku penasaran.

"Saya ... saya ... diminta nikahin kamu."

"Apa? Serius, Pak?" Seolah dejavu, tubuhku sontak berdiri. Mataku memandang tak percaya pada Pak Rifat yang tetap memasang wajah datar.

Aku mencubit lenganku kuat. "Awww!" Sakit. Aku tidak bermimpi.

"Saya serius. Saya tidak boleh menikah dengan siapa pun selain sama kamu. Bahkan meski saya mencintai wanita lain." Pak Rifat sejenak menarik napas dalam. "Jika saya tidak menikah dengan kamu maka warisan saya gak akan cair. Karena mendiang Bapak bilang saya gak punya hak sebelum membalas budi dan membayarkan hutang untuknya."

"Balas budi?"

"Iya. Balas budi. Dulu alm. Bapak saya meminjam uang pada Ibu kamu dan jika bukan karena uang Ibu kamu, usaha kami tak akan jadi sebesar ini. Jadi, ini bukan masalah uang Lu, tapi sebuah harga diri dan komitmen," jelas Pak Rifat panjang kali lebar sama dengan membingungkan.

Aku terpaku mendengar penjelasan Pak Rifat. Tubuhku kembali terduduk di atas kursi.

Jika ini bukan mimpi berarti ini nyata dan apabila ini nyata aku harus sedikit jaga gengsi, agar tak terlihat gampangan dan tidak waspada.

"Jadi, kamu mau kan menikah dengan saya? Tenang kamu gak perlu hamil atau melahirkan, kamu juga gak perlu melayani saya karena saya terbiasa mandiri dan saya juga sebenarnya tidak suka menjalin hubungan. Terutama saya tidak suka anak kecil," katanya tegas dan menggelitik jiwaku untuk tertawa miris.

"Apa? Jadi Bapak butuh saya cuman buat warisan? Ogah! Miskin begini saya punya harga diri, ya. Saya emang suka drama, tapi saya bukan ratu drama."

"Iya. Saya tahu. Makanya saya minta baik-baik. Lagi pula saya tahu kamu butuh uang dan cari kerjaan sekarang susah. Bagaimana? Tolonglah! Saya tidak mau berhutang seumur hidup saya dan didatangi almarhum Bapak setiap tidur. Kamu mau nolong saya, kan?" tanya Pak Rifat dengan nada setengah frustasi.

Aku menggigit bibir sambil memilin ujung rambut. Berpikir dan menimbang di segala situasi.

Ternyata kalau di dunia nyata aku lebih punya harga diri dibanding di mimpi. Tapi, kapan lagi aku punya kesempatan emas ini? Aku tidak perlu hamil dan melahirkan tapi bisa punya banyak uang, bagus! Itu berarti keperawananku akan terjaga.

"Gimana? Oke? Anggap saja kita saling tolong menolong," nego Pak Rifat lagi.

Aku menggaruk kening yang ngga gatal.

"Gimana, ya? Ya udah, oke saya mau nolong Bapak tapi dengan satu syarat!" seringaiku licik.

"Apa syaratnya?"

"Saya mau Bapak, bikin 25 orang yang berhutang sama almarhumah Ibu saya membayar hutangnya meski sebiji jarah pun. Deal? Apa Bapak bisa?" 

"25 orang? Itu yang berhutang serius?"

"Yes serius! Jigo! Jigo! 25 orang gak kurang gak lebih! Gimana Deal?"

"Deal? Alah ... bikin orang bayar hutang doang itu kecil. Saya bisa. Kalau perlu saya yang bayarin utang mereka."

"Gak! Saya mau mereka sendiri yang bayar! Dalam rangka menolong mereka dari kesusahan di akhirat nanti."

"Oke, no problem! Saya bisa kok buat mereka bayar. Tapi, setelah setelah mereka bayar hutang, kita sah, ya?" tanyanya bersemangat.

Sungguh matre sekali Kisanak satu ini.

"Sah, nggak?! Dibayar hutang, sah?"

"Oke," kataku tersenyum licik.

Dia tidak tahu saja, emak-emak yang berhutang padaku itu ganasnya minta ampun. Mana mungkin mereka membayar? Mustahil! Apalagi Bu Tukijem dan Bu Tejo, alamat darah tinggi nagih mereka.

"Tapi, sebelum saya bantu kamu nagih hutang. Saya mau kita nikah dulu sebagai jaminan saya gak rugi," kata Pak Rifat lebih licik lagi.

"Kapan?"

"Dua minggu lagi!"

Sinting!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status