Vin sudah berada di kondominiumnya, tempat yang menurutnya paling aman untuk lakukan pembicaraan dengan pengacaranya dari Indonesia. "Tuan Vin," sapa sang pengacara bernama Ricko, yang selama ini lebih banyak di belakang meja, mengatur semua dari jauh, sekaligus kepanjangan tangan Vin bila berhubungan dengan Joe Jamal Jr. yang ada di New York. "Duduklah. Kita tidak punya banyak waktu," sambut Vin. Pikirannya terbelah antara urusan perusahaan, Helena, dan tentu saja penguras pikiran terbesarnya adalah Lea yang sudah dia tahu keberadaannya, tapi masih di percayakan pada Morgan. Ricko yang berusia mendekati 40 tahun itu refleks terbawa suasana dan ekspresi serius selain dingin yang Vin tunjukkan. "Saya sudah bawa dokumen-dokumen yang anda perlukan, sekaligus ini." Ricko berikan selembar semacam surat pernyataan. "Apa ini?" tanya Vin seraya mulai membaca, dan kemudian di dengarkan penjelasan dari Ricko. "Surat permohonan untuk pihak kepolisian seperti yang anda minta minggu l
Apa yang di takutkan oleh Morgam itu memang benar adanya. Di dalam mobil, Lea terkulai masih memejamkan kedua matanya. Baru setelah wanita yang sempat menyamar jadi perawat mendekatkan botol minyak angin, membuat kesadaran Lea membuatnya memberi respon. "Mbak. Sudah bangun?" tanya wanita tersebut setelah sempat menggoyang-goyangkan pundak Lea. "Hmm ... kita sekarang dimana?" Lea tergelagap setelah menyadari tidak dalam perjalanan lagi. "Ayo, Mbak. Cepet keluar. Nggak usah pake kaget segala!" pemaksaan untuk Lea, sehingga tubuhnya tergeser beberapa centi, dan mau tak mau menuruti untuk menuruni mobil yanh di pakai untuk menculiknya. "Aku mau di bawa kemana?" tanya Lea dalan kondisi lemah, bercampur upayanya untuk mengingat apa saja yang sempat terjadi. Lea mendongak ke atas, dimana rumah yang akan dia masuki atas kawalan beberapa orang ini seperti tidak asing baginya. Tapi karena tenaga yang dia punya hanya sebagian kecil dari normalnya, Lea masih menuruti. Baru beberapa
Setelah sampai di tepian, sudah beberapa puluh kilometer dari rumah Vin, Lea di tuntun Dani naik ke atas daratan dimana sekelilingnyq adalah hutan mangrove yang sepi. "Kita mau kemana, Dan?" Lea segera lepaskan genggaman tangan Dani, suara deru dari mesin speedboat telah mulai menjauh, sehingga Lea jadi bergidik sendiri. "Tentu saja temui ibumu. Aku sudah siapkan mobil di sana." Dani menunjuk pada suatu arah menuju ke jalan setapak tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. "Semua sudah aku rencanakan, jadi tenang saja, kamu akan pergi dengan tenang. " "Tapi kenapa kesannya terlalu mudah ya Dan?" polosnya Lea, merunu tiap jalan yang mereka lalui tadi, hingga sampai di tempat ini. "Maaf ya, tapi aku kenal banget sama Pak Vin. Dia itu apa-apa sudah di pikirin, jadi apa sebaiknya kita ke kantor polisi atau kemana kek, asal judulnya cari perlindungan. Katamu kan Pak Vin itu bahaya banget orangnya, dan setahuku memang diam-diam menghanyutkan, sih." Lea nyerocos sepanjang jalan, la
"Iya." Jawaban itu akan sulit terlontar di saat awal situasi pertemuannya dengan Vin setelah kekecewaan yang di terima Lea dari Dani. Namun saat ini, Lea sudah lebih tanpa beban mengatakannya. "Kamu kira kehadiran Pak Vin akan dengan mudahnya membuatku melupakanmu?" Lea kembali memalingkan muka ke arah luar. "Nggak, Dan. Aku bukan sebrengsek kamu," lanjut Lea memberi jawaban untuk pertanyaannya sendiri. "Sampai kapan perasaan itu bertahan? Tapi kenapa waktu aku minta kamu balik, tapi nggak mau?" "Aku sudah pernah bilang sama kamu, aku tidak suka drama. Emang kamu ngarep aku harus gimana? Nangis-nangis minta kamu balikan sama aku, terus kamunya bilang nggak bisa semudah itu, tapi bakal pikir-pikir lagi kalau aku pada akhirnya mau bercinta sama kamu?" Dani melirik bersama senyuman tipis di bibirnya. Memang benar Lea bukanlah gadis yang bisa dia samakan dengan yang lain. "Besarnya mana cintamu denganku di banding Pak Vin pas pertama dekat?" "Kenapa kamu tanyain hal-hal kay
"Pak Vin Pak Vin Pak Vin!" Jawaban sampai tiga kali penyebutan nama Vin dari Lea ini semakin membuat hati Dani bagai teriris. Sudah sedemikian rupa bersusah payah membuat seolah-olah Vin adalah makhluk jahat dan otak dati setiap kejadian, tapi Lea tetap saja berada di pihaknya. Lea masih menutup mata akan apa yang sudah terjadi di hadapannya, dan lebih percaya pada hati nuraninya. "Dani, please hentikan mobilnya aku mau bicara sama mereka!" Lea ngeyel berusaha agar permintaannya di turuti oleh Dani. Di goyang-goyangkan lengan Dani agar mau hentikan laju mobil, tapi Dani sendiri justru merenung. "AWASS!!" teriak Lea dan menyebabkan Dani seketika terlepas dari lamunan, lalu refleks membanting setir mobilnya ke arah kanan. Bukan dalam bentuk tabrakan, tapi senggolan karena ada sebuah mobil masuk dari arah jalan di sebelah kiri mereka, sedangkan mobil yang di kemudikan Morgan berada beberapa meter di belakang. Bukannya mengurangi kecepatan, Dani semakin injak lebih dalam pedal
"Dani hentikan .... ayo kita bicara baik-baik. Jangan mikirin mati dulu. Pasti kita bisa bahagia meski nggak bareng lagi ... Dan ..." Lea mencoba memecah fokus dan konsentrasi Dani dalam menyetir, berharap Dani kurangi kecepatan dan akhirnya mau minggir. Dani sendiri sempat terpengaruh, arah roda dari setirannya jadi ke kanan dan kiri secara tak stabil. Jalan yang di lalui memang hanya satu dua mobil saja yang melintas pada lawan arah, namun di samping kiri masihlah rerumputan, lalu turunan terjal dengan pembatas beton kokoh antara jalan. Pikiran Dani kalut, tidak bisa terbagi dengan yang lain, selain apa yang ingin di utarakannya kini pada Lea. "Apa kamu mau mati bersamaku, Lea?" Awalnya Lea tak bisa menjawab, hanya tangis sedu sedan saja yang bisa ia lakukan di lengan Dani. Lututnya lemas, tubuhnya seperti telah kaku, selain dari rasa tak karuan di bagian perutnya. Namun, dengan kerahkan keyakinan akhirnya Lea kuatkan diri untuk berbicara dari hati ke hati. Asa itu ada,
"DANI!" Teriakan Lea memanggil nama mantan kekasihnya. Dua tangannya spontan memutup mulutnya sendiri, dengan dua mta melotot berisi embun air tangisan. Lea kemudian menoleh pada Vin, lalu menjerit-jerit hosgeris seraya menarik-narik kemeja yang di kenakan Vin. "Dani jatuh ... tolongin dia Pak Vin ... dia jatuh!" pinta Lea sambil menunjuk-nunjuk ke arah mobil yang sudah terbalik setelah berguling menyusuri lembah ke tanah lapang terjal di tumbuhi pepohonan besar-besar beberapa kali. Mobil yang di kendarai Dani dengan kencang tadi telah menabrak pagar pembatas beton jalanan, kemudian terjatuh ke bawah, lalu bagian depannya menghantam salah satu pohon besar, sehingga terhenti secara terpaksa. Namun nyatanya, bukan hanya bagian depan saja yang penyok, pada sisi kanan dan kiri juga sudah tak terbentuk utuh body mobil, di tambah dengan pecahnya hampir keseluruhan bagian, membuat mobil tersebut terlihat rusak parah. Vin juga bergerak refleks meninggalkan Lea, berlari mendekat ke
Vin lantas maju untuk membantu mengangkat tubuh Dani yang sudah di bopong para pengawalnya. Karena waktu naik ke atas tidak akanmudah, maka ia memerintahkan untuk bergerak menyamping saja. Tanpa memikirkan bagaimana beratnya tubuh Dani, para pria ini berusaha juga saling berharap juga selamat, terutama Vin yang jadi pikiran utama para pengawalnya. Sedangkan di bagian atas, tak jauh dari mobil Vin, Lea menangis dalam tahanan tangan Winda di sertai teriakan-teriakan histerisnya. "Pak Vin ... Dani! Mereka dimana sekarang, Win? Kenapa gue nggak bisa ngelihat pada dimana?" paniknya Lea, mencari-cari sambil berjinjit. "Gue harus lihat ke sana Win. Lo jangan cegah gue!" pinta Lea setengah berteriak. "Gue juga pengen ke sana lihat keadaan Pak Morgan, tapi sumpeh gue takut Lea. Itu apinya mulai gede. Terus kita nggak bisa lakuin apa-apa, gimana? Gue kan penakut akut, Lea!" Winda tak kalah kalutnya. "Iya lakuin sesuatu!" "Apa? Gue nggak bisa mikir!" "Telpon polisi!" "Hp ... Hp