"Pak Vin Pak Vin Pak Vin!" Jawaban sampai tiga kali penyebutan nama Vin dari Lea ini semakin membuat hati Dani bagai teriris. Sudah sedemikian rupa bersusah payah membuat seolah-olah Vin adalah makhluk jahat dan otak dati setiap kejadian, tapi Lea tetap saja berada di pihaknya. Lea masih menutup mata akan apa yang sudah terjadi di hadapannya, dan lebih percaya pada hati nuraninya. "Dani, please hentikan mobilnya aku mau bicara sama mereka!" Lea ngeyel berusaha agar permintaannya di turuti oleh Dani. Di goyang-goyangkan lengan Dani agar mau hentikan laju mobil, tapi Dani sendiri justru merenung. "AWASS!!" teriak Lea dan menyebabkan Dani seketika terlepas dari lamunan, lalu refleks membanting setir mobilnya ke arah kanan. Bukan dalam bentuk tabrakan, tapi senggolan karena ada sebuah mobil masuk dari arah jalan di sebelah kiri mereka, sedangkan mobil yang di kemudikan Morgan berada beberapa meter di belakang. Bukannya mengurangi kecepatan, Dani semakin injak lebih dalam pedal
"Dani hentikan .... ayo kita bicara baik-baik. Jangan mikirin mati dulu. Pasti kita bisa bahagia meski nggak bareng lagi ... Dan ..." Lea mencoba memecah fokus dan konsentrasi Dani dalam menyetir, berharap Dani kurangi kecepatan dan akhirnya mau minggir. Dani sendiri sempat terpengaruh, arah roda dari setirannya jadi ke kanan dan kiri secara tak stabil. Jalan yang di lalui memang hanya satu dua mobil saja yang melintas pada lawan arah, namun di samping kiri masihlah rerumputan, lalu turunan terjal dengan pembatas beton kokoh antara jalan. Pikiran Dani kalut, tidak bisa terbagi dengan yang lain, selain apa yang ingin di utarakannya kini pada Lea. "Apa kamu mau mati bersamaku, Lea?" Awalnya Lea tak bisa menjawab, hanya tangis sedu sedan saja yang bisa ia lakukan di lengan Dani. Lututnya lemas, tubuhnya seperti telah kaku, selain dari rasa tak karuan di bagian perutnya. Namun, dengan kerahkan keyakinan akhirnya Lea kuatkan diri untuk berbicara dari hati ke hati. Asa itu ada,
"DANI!" Teriakan Lea memanggil nama mantan kekasihnya. Dua tangannya spontan memutup mulutnya sendiri, dengan dua mta melotot berisi embun air tangisan. Lea kemudian menoleh pada Vin, lalu menjerit-jerit hosgeris seraya menarik-narik kemeja yang di kenakan Vin. "Dani jatuh ... tolongin dia Pak Vin ... dia jatuh!" pinta Lea sambil menunjuk-nunjuk ke arah mobil yang sudah terbalik setelah berguling menyusuri lembah ke tanah lapang terjal di tumbuhi pepohonan besar-besar beberapa kali. Mobil yang di kendarai Dani dengan kencang tadi telah menabrak pagar pembatas beton jalanan, kemudian terjatuh ke bawah, lalu bagian depannya menghantam salah satu pohon besar, sehingga terhenti secara terpaksa. Namun nyatanya, bukan hanya bagian depan saja yang penyok, pada sisi kanan dan kiri juga sudah tak terbentuk utuh body mobil, di tambah dengan pecahnya hampir keseluruhan bagian, membuat mobil tersebut terlihat rusak parah. Vin juga bergerak refleks meninggalkan Lea, berlari mendekat ke
Vin lantas maju untuk membantu mengangkat tubuh Dani yang sudah di bopong para pengawalnya. Karena waktu naik ke atas tidak akanmudah, maka ia memerintahkan untuk bergerak menyamping saja. Tanpa memikirkan bagaimana beratnya tubuh Dani, para pria ini berusaha juga saling berharap juga selamat, terutama Vin yang jadi pikiran utama para pengawalnya. Sedangkan di bagian atas, tak jauh dari mobil Vin, Lea menangis dalam tahanan tangan Winda di sertai teriakan-teriakan histerisnya. "Pak Vin ... Dani! Mereka dimana sekarang, Win? Kenapa gue nggak bisa ngelihat pada dimana?" paniknya Lea, mencari-cari sambil berjinjit. "Gue harus lihat ke sana Win. Lo jangan cegah gue!" pinta Lea setengah berteriak. "Gue juga pengen ke sana lihat keadaan Pak Morgan, tapi sumpeh gue takut Lea. Itu apinya mulai gede. Terus kita nggak bisa lakuin apa-apa, gimana? Gue kan penakut akut, Lea!" Winda tak kalah kalutnya. "Iya lakuin sesuatu!" "Apa? Gue nggak bisa mikir!" "Telpon polisi!" "Hp ... Hp
"Dani mau kamu sembunyiin dimana?" Vin menoleh dengan satu alis terangkat. "Sudah dalam keadaan begini, masih saja yang di tanyain mantan pacarnya. Di tanya keadaan gimana kek? Atau misalkan marah karena kesannya aku lama selametin kamu, but you are not do that Lea!" Protesan Vin ini buat Lea jadi merasa bersalah. Vin benar dan dia sudah keterlaluan, pikir Lea. Lea maju, lalu mengarah ke depan Vin mulai melepaskan kancing kemejanya satu-persatu sampai sudah dalam genggamannya. Bekas darah dari luka-luka Dani sudah mulai mengering, dan Lea sama sekali tidak merasa jijik ketika melipat kemeja tersebut sedemikian rupa, lalu menggantinya dengan jaket model jas beresleting yang selalu tergantung di bagian gantungan tengah, jadi penutup tubuh bagian atas Vin. Lea melakukannya dengan cekatan meski Vin dalam keadaan sedang menyetir mobil. "Kamu sepertinya menggigil?" "Dari tadi," jawab Vin dingin, tapi justru jadi bahan Lea buat tersenyum. Mode merajuk Vin memang agak laen.
"Kan sudah ada aku?" jawaban spontan yang langsung terpikir oleh Vin. "Nggak akan sama." "Tentu nggak sama. Ibumu wanita, dan aku pria." Vin coba lemparkan candaan, tapi ternyata garing bagi Lea. "Pokoknya aku mau Mama selalu di dekatku. Titik!" Vin putar setir memasuki halaman gedung dimana letak kondominiumnya berada. Setelah memarkirkan mobilnya di tempat parkir khusus, Vin tak lantas keluar dari dalam mobil meskipun sudah mematikan mesinnya. "Ada apa ini? Bukan karena soal Dani, bukan? Hei, kamu habis alami kejadian berat, jadi nggak perlu nambahin beban pikiran kalau misal butuh teman. Tujuanku bukan karena ingin pisahin ibu dan anak, jauhin kamu sama ibumu. No. Tapi pengen cooling down-in keadaan, sampai semua pikiran jernih, baru kamu bisa temui ibumu. Kapan saja, dimana saja." "Bukan. Pokoknya aku harus dekat dengan Mama. Titik!" balasan ketus Lea, kemudian membuka pintu mobil lalu menutupnya lumayan kencang. Vin hanya bisa tertegun keheranan. "Tumben dia jadi s
Vin berjalan cepat ke arah pintu, membukakannya untuk Morgan. Sebagai satu-satunya orang yang dapat di percaya, Vin benar-benar menggantungkan urusan di luar kantor pada pria tegap dan berwajah dingin, tak jauh berbeda dengan dirinya ini. "Pak Presdir," sapa Morgan setelah pintu terbuka. Kali ini Morgan tidak sendiri, tapi bersama gadis dimana beberapa hari ini selalu jadi pendamping dalam mengemban misi dari Vin. "Selamat malam, Pak." Winda bersikap sopan, tapi pandangannya segera teralih pada interior kondominium Vin yang baru pertama kali ini ia masuki. "Temui Lea di kamar," perintah Vin. Ternyata Winda tak menyimak. Kepalanya masih mendongak menelusuri tiap sudut ruang tamu bersambung ruang makan dengan model penataan klasik modern tapi maskulin dominan warna biru ke abu-abuan dan putih. "Winda," panggilan dari Morgan lebih keras daripada Vin, sehingga membuat Winda baru menyadari. "Eh, iya Pak? Ngomong sama saya?" terkejutnya Winda. "Kamu di suruh Pak Vin temui Nyonya
Beberapa menit sebelumnya. Lea dan Winda telah berada di ruangan sebelah. Keduanya duduk bersama di satu sofa panjang tepat di depan TV berlayar besar, tempat dimana Vin dan Lea pernah berduaan dan nyatakan perasaan secara tidak langsung. "Ya ampun Lea, gimana perasaan lo tinggal di sini? kayaknya jauh dari peradapan, cuma berduaan aja sama Pak Vin." "Ya nggak gimana-gimana. Biasa aja," jawab Lea cemberut. Mood baiknya belum balik. "Pantesan lo langsung klepek-klepek, lha kayak masuk penjara cinta hidup di sini. Ih, aku jadi merinding sendiri bayangin kamu sama Vin mesra-mesraan. Pantesan lo sampe hamil!" celoteh Winda sambil mencubit lengan Lea dan cekikikan geli sendiri. "Aduh. Sakit, tahu!" protes Lea seraya mengusap-usap bagian lengan yang tercubit Winda. "Ih, sakit mana sama di apa-apain Pak Vin?" goda Winda lagi di sertai tawa. "Sakit tapi enak ya?" lanjutnya dengan tawa semakin kencang. "Apa, sih? Lo ke sini bukan cuma ngeledek gue, kan?" "Sakit kan berbuah manis