Beberapa menit sebelumnya. Lea dan Winda telah berada di ruangan sebelah. Keduanya duduk bersama di satu sofa panjang tepat di depan TV berlayar besar, tempat dimana Vin dan Lea pernah berduaan dan nyatakan perasaan secara tidak langsung. "Ya ampun Lea, gimana perasaan lo tinggal di sini? kayaknya jauh dari peradapan, cuma berduaan aja sama Pak Vin." "Ya nggak gimana-gimana. Biasa aja," jawab Lea cemberut. Mood baiknya belum balik. "Pantesan lo langsung klepek-klepek, lha kayak masuk penjara cinta hidup di sini. Ih, aku jadi merinding sendiri bayangin kamu sama Vin mesra-mesraan. Pantesan lo sampe hamil!" celoteh Winda sambil mencubit lengan Lea dan cekikikan geli sendiri. "Aduh. Sakit, tahu!" protes Lea seraya mengusap-usap bagian lengan yang tercubit Winda. "Ih, sakit mana sama di apa-apain Pak Vin?" goda Winda lagi di sertai tawa. "Sakit tapi enak ya?" lanjutnya dengan tawa semakin kencang. "Apa, sih? Lo ke sini bukan cuma ngeledek gue, kan?" "Sakit kan berbuah manis
Setelah obrolan gibah dengan Winda, Lea kembali ke kamarnya. Entah apa yang di lakukan Vin di luar kamar, Lea putuskan untuk bersihkan diri dalam guyuran air hangat dari shower di atas bathtub. "Lea," panggilan dari balik pintu kamar mandi. Pemilik kondominium sedang menuntut jadi bagian. "Bentar. Sudah mau selesai." Namun bagi Lea, kehadiran Vin adalah gangguan. Lea mematikan kran, lalu beranjak dari bathtub, menarik bathrobe lalu di selimutkan ke tubuhnya. Dengan enggan ia membuka pintu, dan mendapati Vin hanya memakai celana boxer warna abu-abu gelapnya. "Mau mandi?" tanya Lea datar. Sungguh sudah tak tertolong badmood sejak dari datang. "Iya," sahut Vin tidak kalah dinginnya. Lea buka pintu lebih lebar, di susupkan tubuhnya menyamping melewati badan tegap Vin tanpa menatap ke arahnya. Dalam keadaan Lea hanya memakai mantel mandi seperti ini, apakah Vin akan lewati begitu saja? Tentu tidak. Tangan kiri Vin terangkat dan memegang pinggiran pintu sebagai penghalan
Malam itu. Vin tak bisa lagi sembunyikan perasaan bahagianya. Semalaman, Lea di perlakukan bak ratu. Vin mendominasi dalam bercinta, sebagai luapan kebahagiaan dan juga keinginan untuk membuat Lea jadi merasa di istimewakan. Sampai di pagi haripun, Lea bagai Cinderella di bawa Sang Pangeran ke istananya. Dalam keadaan malas, Lea paksakan kedua matanya membuka setelah bau makanan menggoda indera penciumannya. "Cepat bangun. Kita sudah terlambat ke kantor. Jangan jadikan anakku sebagai alasan kemalasanmu ya." Lea memang sudah duduk bersandar di headboard tempat tidur bergaya elegan modern, tapi nyawanya masih belum sepenuhnya seratus persen di raganya. "Kamu yang buat aku jadi kelelahan, dan makanan itu ... memang layak buatku." Satu kecupan mendarat di dahi Lea, lalu berlanjut ke bibirnya namun serba kilat. "Selalu saja nggak dapat ucapan terima kasih. Dasar tak tahu di untung!" Lea jadi tertawa. Kesadarannyapun berangsur kembali karena nada tinggi dan isi ucapan Vin yan
"Kita mau nunggu dimana?" Pertanyaan Lea. Siapa yang tidak trenyuh, ketika melihat orang di cintai sedang dalam masalah. Kerutan di beberapa bagian wajah Vin sudah mengindikasikan kalau masalah kali ini telah membuatnya harus berpikir dengan keras. "Entahlah." Lea menoleh cepat, baru kali ini melihat Vin jadi tak tahu harus bagaimana. "Kok entahlah?" ungkap Lea sesuai isi pikirannya. "Aku sedang krisis kepercayaan. Nggak ada orang yang bisa ku percaya sekarang selain kamu." "Ada Morgan dan sekretaris Li. Apa kepercayaanmu luntur sama mereka?" "Yups. Untuk saat ini." "Berarti, kamu sebenarnya mengharap mereka bisa jadi kepercayaanmu lagi. Iya kan?" "Yes. Kamu benar lagi." "Apa ini karena Nyonya Helena? Apa dia punya andil di balik semua anggapanmu itu?" duga Lea. Untuk menunjukkan rasa empatinya, Lea arahkan tangannya untuk merapikan rambut Vin yang terlihat kering tanpa pomade, satu lagi yang berbeda dari Vin tidak seperti biasanya. "Pasti dia. Siapa lagi?" Lea hel
"Tentu saja dia bisa di percaya." Lea masih meragukan jawaban Winda, sampai ia mengulang lagi untuk kedua kalinya. "Beneran? Tapi katamu dia pernah di telpon Nyonya Helena. Lo pernah nanya lagi, nggak?" "Tunggu tunggu. Jadi lo kayak nggak percaya sama gue atau Pak Morgan, gitu?" Lea menurunkan nada bicaranya, secara cepat mencari kalimat-kalimat yang sekiranya nggak akan nyakiti perasaan Winda. Sahabatnya ini kadang suka ngegas kalau sudah di sentil soal kepercayaan atau kesetiaan, karena memang setahu Lea, Winda penganut paham dua hal itu secara ugal-ugalan. "Bukan begitu. Gue pengen tahu isi obrolan Pak Morgan sama Nyanya Helena aja. Info apapun, walaupun kesannya kecil dan nggak penting, di saat sekarang lagi kita butuhin banget," kejujuran Lea. "Maksud lo gimana?" "Maksud gue ... Kan ini Pak Vin seolah taruh gue di sisi belakang, apalagi setelah tahu lagi hamil, jadi makin-makin nggak di ajak diskusi atau bantu-bantu, padahal bilangnya cuma gue yang dia percaya. Gue
"Bisa minta tolong jadilah orangku. Bagi informasi yang ada di pusat keamanan Dharmawan tower." Pria muda yang sudah terlanjur berdiri untuk pergi itu tertegun sesaat. Kepolosan dari ekspresinya membuat Lea berharap akan bisa mempercayainya. "Saya ... tidak bisa." "Kenapa, Mas? Kan Masnya tahu posisiku apa." "Tetap harus atas ijin Pak Presdir. Itu prosedurnya." "Bagaimana kalau Pak Presdir Vin beri aku kewenangan lakukan apapun walau tanpa ijinnya? Hal kayak begitu, kan sudah lumrah." Pria muda itu tampak berpikir, tapi kemudian berusaha mencari jalan tengah aman. "Tugas apa yang Nyonya ingin saya lakukan?" tanyanya setengah ragu tapi perlu pastikan juga. "Pak Morgan lagi cuti, sedangkan di kantor Pak Vin lagi ada demo, dan aku nggak tahu posisi dia dimana." "Pak Presdir punya tim keamanan tersendiri, Nyonya. Begitu juga anda." "Iya, aku tahu itu. Tapi masalahnya mereka menjagaku tanpa sepengetahuanku. Pak Vin meminta seperti itu biar aku nyaman. Penjagaan dari jauh
Siapa yang tidak akan menyangka akan penampilan Lea kali ini. Dari ujung kepala sampai ujung kakinya tidak kalah dengan apa yang di kenakan oleh Helena. Semua mata tertuju pada Lea yang berjalan dengan percaya diri ke kursi tepat di depan Helena. Ada Raffi segera bergerak menarikkan lalu memajukan kursi untuk atasan diam-diamnya ini. "Mau apa kamu?!" tanya Helena tajam. "Main," jawan Lea enteng. Melepaskan kacamata hitamnya lalu di taruh di atas meja secara perlahan. Kacamata milik Vin yang di comotnya secara serampangan asal menambah mewah penampilan saja. "Huh. Dasar wanita nggak ada gunanya! Main katamu!" cibir Helena dengan decakan meremehkan. "Apa kamu nggak ada kerjaan lain, hah? Dasar pengangguran cuma andelin uang suami." "Main saham." Ternyata Lea sengaja memenggal jawabannya untuk menggoda Helena agar semakin jadi panas. "Itu akan jadi kerjaan baruku," ucap Lea sombong. Meskipun di luar berkesan percaya dirinya besar, tapi sebenarnya di dalam lumayan gemeteran.
"Jaga mulutmu!" Bentakan Helena di sertai tamparan. Lea memegangi pipi kirinya dengan tatapan nanar. Tiba-tiba saja Helena melakukannya tanpa Lea duga-duga. "Bagiku kamu ke sini sekarang itu sudah buat tantangan, jadi kalau mau nuduh itu cari buktinya terlebih dulu. Jangan asal mangap aja mulutmu!" Helena memberi tanda pada beberapa asisten dan penjaganya agar mengikuti. "Kita pergi. Sial hariku ketemu wanita nggak tahu malu ini!" umpatnya sempatkan melirik Lea dengan tajam, baru kemudian menjadi yang pertama keluar dari ruangan Morgan. Baru setelah pintu tertutup, Lea menatap satu-persaru anak buah Morgan dengan berikan senyuman. "Maaf ganggu kerja kalian. Aku lakuin juga agar Helena nggak bisa berbuat lebih jauh lihat-lihat database divisi keamanan." "Baik, Nyonya Muda. Saya sudah hubungi Pak Morgan soal kejadian barusan. Beliau sedang menuju ke sini." "Bukannya dia di beri Pak Presdir cuti?" rasa ingin tahu Lea. "Iya, benar. Tapi Komandan ingin melihat secara langsun