Besok adalah jadwal sidang pertama kami, agenda mediasi. Sama sekali tak berharap Mas Hendra datang, agar proses cerai bisa cepat selesai. "Kamu sudah yakin, Mel?" tanya Salwa pagi ini."Yakin! tak ada yang membuatku ragu untuk menyelesaikan rumah tangga ini. Setelah semua berakhir, aku akan memulai hidup yang baru." jawabku mantap."Oh, ya, semalam aku tanya Kak Hamzah, lusa kamu coba datang aja ke kantornya. Kak Hamzah akan merekomendasikan kamu pada atasannya."Seketika mataku berbinar. Jika aku diterima, aku akan menjadikan batu loncatan saja. Bagaimanapun, sekantor degan laki-laki yang pernah melamarku, tak akan baik-baik saja buat hatiku kelak."Makasih banyak, ya, Wa.""Sama-sama. Yuk, kita istirahat, biar besok kamu lebih fresh. Btw, besok kamu sama siapa?""Nanti aku akan diantar oleh Ayah, Wa.""Syukurlah, soalnya aku tak bisa ijin buat nganterin kamu. Anak-anak lagi ujian, aku menjadi pengawas disana.""Iya, gapapa, aku paham kok, Bu guru."Kami pun saling melempar senyum,
Degub jantung terus meningkat tak beraturan. Tak terbayang sama sekali semua akan berakhir seperti ini. Padahal perasaanku mulai tumbuh subur pada Mas Hendra."Gimana rasanya berumah tangga, Mel?" tanya perempuan bernama Nada itu. Mata kami beradu di spion depan. Namun, dia lekas mengalihkan dan kembali fokus menatap jalanan."Ga tau, Mbak. Aku hanya sebatas menjadi istri dalam status bukan menjadi istri dalam hatinya." jawabku sumbang."Sudahlah, Mel. Tak perlu bersedih lagi, semua salah Ayah. Kita akhiri tanpa perlu mengingat lagi.""Iya, Ayah ..." sahutku lemah."Kalau boleh tau Mbak Nada ini siapa, Ayah?" tanyaku .Ayah saling pandang dengan perempuan itu. Sejenak menghela napas dalam-dalam."Nanti akan aku kasih tau. Saat ini kamu fokus aja dengan persidangan nanti." sahut Mbak Nada makin membuatku penasaran. Tapi, apa yang dia katakan ada benarnya. Hari ini akan menjadi hari bersejarah buatku. Kami sampai tepat pukul sembilan. Aku bergegas turun, begitu juga dengan Ayah dan Mba
"Kamu mau bekerja, Dek?" tanyanya mengulang kalimatku.Aku mengangguk cepat. Tekadku sudah bulat, aku ingin mandiri meski sudah punya suami. Setidaknya aku punya cara untuk mengalihkan perasaan saat menunggu Mas Hendra mengubah kebiasaannya dengan sempurna.Dia menghembuskan napas panjang. Entah lelaki ini keberatan atau malah senang, aku tak akan lagi mengusik harinya nanti."Baiklah, jika itu yang Adek inginkan." jawabnya pelan.Mendengar itu, semua tampak lega, kecuali aku tentunya. Hatiku terasa hambar sudah. Tak ada harapan lagi yang kubumbung tinggi. Rumah tangga hanya status, sama seperti setahun ini. Akhirnya gugatan cerai itu resmi di cabut. Aku kembali pulang ke rumah, semua ikut menemani. Tentu saja tanpa Mama. "Hendra, besok kita langsung berobat saja. Mbak akan tunda kepulangan ke Bandung. Kalau melody tak bisa mengantarkan, biar Mbak dan Papa yang akan menemani kamu." ujar Mbak Widya, setelah kamu sampai dirumah.Aku memang mengatakan bahwa besok akan mendatangi perusa
Malam itu kami bicara dari hati ke hati. Mas Hendra juga jujur jika dia dipecat dari kantor karena sibuk mencariku seminggu ini. Ada sedikit sesal dihati, tapi aku yakin soal rejeki Allah pasti akan mencukupi untuk kami.***Pagi ini kami bersiap hendak kerumah Ustadz yang di rekomendasikan oleh Mbak Widya. Baru saja hendak mengunci pintu, ponsel Mas Hendra berbunyi. "Siapa, Mas?""Rasti."dia menatapku dengan tatapan heran."Tumben dia nelpon, Mas." desisnya.Lelaki itu mengangkat panggilan dari Rasti, Namun dia mengaktifkan speakernya."Hendra ... kamu bisa kesini, ga? aku butuh kamu banget, Ndra. Mas Yogi mengancam akan membun*hku, Ndra." suara isakan Rasti terdengar jelas olehku. Mas Hendra menatapku. Tapi, wajahnya biasa saja, tidak menunjukkan ke khawatiran pada mantan rekan kerjanya itu."Memang kamu ada masalah apalagi sama Yogi?""Dia menuduh, anak yang aku kandung kemarin itu bukan anaknya. Dia menyangka itu anak kamu, Ndra! makanya dia marah besar."Wajah Mas Hendra berubah
"Kamu kenal?" bisik Mas Hendra, saat laki-laki berkopiah itu berlalu dengan senyum malu."Ya, engga lah, Mas. Itu dia sudah pergi." jawabku, mataku masih mengikuti langkah pria itu."Kok dia kenal Mbak Nada, ya? Tapi, emang kamu mirip banget dengan dengan Mbak Nada, kayak Kakak Adek. Mas aja waktu itu sampai salah nebak."Aku mengalihkan pandangan pada Mas Hendra."Emang Mas pernah ketemu sebelumnya dengan Mbak Nada?""Pernah! saat Mas masih nyari-nyari kamu, Dek." sahutnya malu-malu."Ketemu dimana?""Di daerah sekitar kampus kamu dulu, rumahnya." Aku memicingkan mata, mengingat selama di Depok ayah katanya tinggal dirumah saudara, tapi saudara yang mana, apa jangan-jangan tinggal dirumah Mbak Nada itu. "Kamu mikirin apa?" Mas Hendra mengangetkan lamunanku."Aku penasaran, Mbak Nada itu saudara Ayah yang mana. Selama ini yang kutahu, saudara Ayah dan Ibu Rahimahullah ada dikampung, tak ada yang disini. Dan rata-rata sudah pada tua. Apa Mbak Nada itu salah satu dari anak mereka, ali
"Saya ingin sembuh, Ustadz." rintihnya."Bertaubatlah, minta pengampunan kepada Allah. Taubat dengan sebenar-benarnya taubat dan berjanji tak akan mengulangi lagi.""Tapi, setiap saya menahan. Kepala saya terasa hendak pecah, Ustadz."Ustadz memperhatikan Mas Hendra."Maaf sebelumnya, sudah berapa lama Bapak menikah?""Sudah setahun, Ustadz.""Apa selama kurun waktu itu, Pak Hendra sudah menyentuh istrinya?" Mas Hendra tertunduk dalam lalu menggeleng, lemah.Ustadz itu kembali berucap istighfar sangat pelan, tapi masih bisa kudengar."Begini, saja. Kita coba untuk diruqyah, kadang kala ada campur tangan bangsa jin, guna menggelincirkan hambanya yang beriman. Cuma untuk hari ini, saya tidak bisa membantu, karena ada urusan yang sangat penting, jadi saya harus ke Jakarta setelah ini." Ada binar di wajah Mas Hendra."Jadi kapan, Ustadz ada waktu?" tanya Mas Hendra memburu."Datanglah lusa. InsyaAllah saya tunggu."Aku bernapas lega. Tak perlu lama-lama. Dan besok aku ada kesempatan unt
DESAHAN DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 20"Lho, kok balik, Dek?" tanya Mas Hendra."Emang Melody habis kemana, Hend?" tanya Rasti sambil menatap penuh rasa penasaran padaku."Aku mau ke pasar, Ras. Dompetku ketinggalan." sahutku cepat."Ke pasar pakaiannya rapi gitu?" tanyanya menyelidik."Ga ada peraturan juga kan, ke pasar harus pakai baju gemb*l." kataku sambil tertawa kecil.Rasti ikut tertawa walau terlihat terpaksa."Btw, tadi bahas dukun? dukun apa?" tanyaku memancing."Aku menyarankan Hendra buat berobat di Ki Candra, Mel. Ki Candra, pasiennya sudah dari mana-mana aja. Banyak yang cocok." semangat sekali Rasti menjelaskan tentang dukun itu."Maaf, Ras. Kami tak sependapat denganmu. Mas Hendra sudah punya tempat sendiri untuk terapi. Jadi, mohon maaf, kami tak bisa mengikuti saran kamu." "Kamu ini gimana, sih! di kasih tau tempat berobat yang ampuh malah sok ga mau."suara Rasti meninggi. Aku terkejut, menatap perempuan itu tajam.Rasti salah tingkah."Maaf, Mel. Maaf, aku ga sengaja
DESAHAN DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 21Mas Hendra terdiam, pandangannya kosong. Kenapa setelah di ruqyah Mas Hendra malah jadi pendiam begitu, apa emang efek di ruqyah seperti itu, ya? Aku menghela napas dalam-dalam. Lalu beranjak ke kamar, hendak mengambil handuk dan bersih-bersih. Ternyata bekerja itu melelahkan juga. Sebenarnya masih penasaran dengan dua botol yang disembunyikan Mas Hendra, botol apa sebenarnya? kalau memang dari Ustadz kenapa dia tak memberitahukanku? Makan malam kami lewati dalam diam, padahal baru saja membiasakan diri untuk saling berbagi cerita. Tapi, wajah Mas Hendra tak seperti biasa. Dia lebih banyak melamun, makan dengan begitu pelan. Seperti orang yang tak punya selera."Mas, kamu sakit?" dia tampak kaget, lalu menggeleng cepat.Usai makan dia kembali ke ruang tengah, melamun. Astaghfirullah, Mas Hendra kenapa sih? seharusnya setelah mendapatkan terapi walau sekali, sudah ada perubahan walau sedikit. Tapi, ini justru perubahan negatif yang terlihat."Mas, k