DESAHAN DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 21Mas Hendra terdiam, pandangannya kosong. Kenapa setelah di ruqyah Mas Hendra malah jadi pendiam begitu, apa emang efek di ruqyah seperti itu, ya? Aku menghela napas dalam-dalam. Lalu beranjak ke kamar, hendak mengambil handuk dan bersih-bersih. Ternyata bekerja itu melelahkan juga. Sebenarnya masih penasaran dengan dua botol yang disembunyikan Mas Hendra, botol apa sebenarnya? kalau memang dari Ustadz kenapa dia tak memberitahukanku? Makan malam kami lewati dalam diam, padahal baru saja membiasakan diri untuk saling berbagi cerita. Tapi, wajah Mas Hendra tak seperti biasa. Dia lebih banyak melamun, makan dengan begitu pelan. Seperti orang yang tak punya selera."Mas, kamu sakit?" dia tampak kaget, lalu menggeleng cepat.Usai makan dia kembali ke ruang tengah, melamun. Astaghfirullah, Mas Hendra kenapa sih? seharusnya setelah mendapatkan terapi walau sekali, sudah ada perubahan walau sedikit. Tapi, ini justru perubahan negatif yang terlihat."Mas, k
Pikiranku jadi tak tenang, berkali-kali melihat jam. Ingin rasanya segera pulang, tapi aku baru saja kerja. Mana mungkin minta ijin. "Kamu sepertinya gelisah, Mel? ada masalah?" tanya Mbak Hanin yang kebetulan mejanya berada tak jauh didepanku."Ga, Mbak. Gapapa." jawabku agak gugup. Mbak Hanin orang yang baru saja aku kenal. Lagi pula mana mungkin aku menceritakan aibku sendiri pada orang lain. "Oh, kirain kenapa." katanya."Eh, Mel. Kamu kan teman lamanya Mas Hamzah, bantuin aku dong, deketin dia." lanjutnya dengan suara sedikit dipelankan.Mataku membola. Ada-ada aja Mbak Hanin, aku aja sedang berusaha menjauhi dia. Bagaimana mungkin aku membuat jarak itu merekat hanya untuk mencomblangin mereka."Maaf, Mbak Hanin. Saya hanya sekedar kenal aja sama Kak Hamzah, ga pernah sampai dekat. Jadi, saya malu mau ngajak ngobrol duluan." Wajah Mbak Hanin kecewa. Tampaknya perempuan dengan rambut tergerai sebahu itu sangat mencintai Kak Hamzah. Sayang, type Kak Hamzah adalah wanita yang menu
"Ampun, ampun ... sakiiit!" teriak Mas Hendra masih memenuhi ruangan ini. Aku sudah mengabari Salwa, minta bantuannya untuk menghubungi Ustadz yang bisa membantu meruqyah Mas Hendra."Aku aja kesana, Mel?" tawar Salwa, ketika dia mendengar teriakkan Mas Hendra."Ga usah, Wa. Aku saja yang kerumahmu, kamu siap-siap, ya.""Tapi, Depok-Jakarta jauh lho, Mel. Gimana kalau aku minta tolong Kak Hamzah. Dia kan sekarang ngekost di Jakarta." Sejenak aku berpikir, aku memang sangat butuh bantuan orang lain saat ini. Tapi, aku tak tau harus minta bantuan siapa. Mbak Widya udah ke Bandung."Aku ga enak, Wa." cicitku."Udah, ga usah mikirin perasaan saat ini, yang penting suami kamu segera ditangani. Share lokasi yaa, aku akan segera ngabarin Kak Hamzah."Akhirnya akupun menerima tawaran Salwa. Darurat, mau gimana lagi."Dek, panas Dek, tolong ambilkan kain basah rendam pake air es." aku menuruti kemauan Mas Hendra, walau aku sendiri tak tau untuk apa kain itu."Ini, Mas." aku mengulurkan kain i
Aku memilih meninggalkan rumah sakit, mengutamakan suamiku sendiri. Ayah sudah aku kabari. Papa ditemani Mama, sedangkan Mas Hendra kini bersama laki-laki yang seharusnya aku malu meminta bantuannya.Besok Mbak Widya akan sampai, artinya aku bisa fokus pada Mas Hendra saja. Mobilku sudah sampai pada sebuah bangunan sederhana tapi begitu asri dan sejuk. Masih di wilayah Depok tak jauh dari rumah Salwa.Aku turun dari mobil, memperhatikan tempat yang tadi di share lok oleh Kak Hamzah. Mobil laki-laki itu juga sudah terparkir di halaman rumah ini. "Mel!" Salwa melambaikan tangan. Perempuan berkerudung itu tersenyum padaku."Assalamu'alaikum, Wa. Gimana, suamiku, sudah di ruqyahkah?" tanganku memburu."Wa'alaykumussalam... Sudah agak tenang.Yuk, kita masuk saja, kamu lihat sendiri."Salwa menggandeng tanganku. Saat sampai dipintu dan mengucapkan salam, aku agak canggung. Semua mata tertuju padaku."Gapapa, yuk." Salwa menarik tanganku. Sekilas kulihat Mas Hendra sedang duduk bersila dan
Sekujur tubuhku merinding mendengar penjelasan Ustadz Yusuf. "Pasti perempuan munafik itu yang menyihir suami saya, Ustadz!" geramku. Aku yakin Rasti pelakunya, dia ingin merebut Mas Hendra dariku. Atau bisa juga Mama, sepertinya Mama sangat membenciku."Kita tak usah mencari tahu siapa pelakunya, cukup kita Ikhtiar untuk menyembuhkan Nak Hendra ini. Siapapun yang melakukan kedzoliman, pasti akan Allah balas dengan caraNya. Tak perlu kita mengotori hati dengan membalas perlakuan yang sama." tutur Ustadz Luthfi bijaksana.Aku terdiam, meresapi apa yang disampaikan oleh Ustadz Luthfi. Umi Aisyah mengenggam tanganku, lalu tersenyum sambil mengangguk, seolah membenarkan apa yang dikatakan suaminya.Ustadz pun segera membawa kantong plastik beserta isinya ke belakang rumah. "Barang ini harus kita bakar. Sementara biar Nak Hendra istirahat dulu. Nanti sehabis Maghrib kita ulang lagi ruqyahnya." ujarnya.Kak Hamzah mengikuti lelaki paruh baya itu ke belakang. Sementara aku menghampiri Mas
Suara ketukan terdengar, Aku bergegas membuka pintu kamar ini. Ternyata Umi Aisyah dan Ustadz Luthfi yang datang."Ada apa, Nak? Umi dengar teriakan dari sini?" "Umi, Ustadz, tolong suami saya, tolong." rintihku cemas.Aku menepi melebarkan pintu, sehingga Ustadz dapat melihat keadaan Mas Hendra."Astaghfirullah ..." lirih Ustadz Luthfi, lalu langsung bergegas menghampiri Mas Hendra.Tangan Ustadz berusaha melepas tangan Mas Hendra dari lehernya. Dari bibirnya terus terdengar bacaan ayat-ayat Al Qur'an.Aku menangis, melihat keadaan Mas Hendra yang terlihat memprihatinkan. "Hayu, Nak kita bantu membaca Surat Al Baqarah."Aku dan Umi Aisyah bergegas keluar ke kamar mandi untuk berwudhu karena kami sama-sama bangun tidur, lalu bergegas mengambil Al Qur'an dan membacanya pelan.Tangan Mas Hendra mulai terlepas dari lehernya. Namun, masih terus berontak. Ustadz Lutfhi masih memegang tangan suamiku sambil meruqyahnya. Hingga sejam kemudian, Mas Hendra mulai tenang dan tertidur."Alhamdul
Bagaimana kami dulu hidup susah, hingga Mbak Nada terpaksa direlakan untuk dirawat oleh seorang Juragan terkaya di kampung. Yang kemudian setelah dewasa Kakakku itu dinikahi olehnya. Pernikahan yang tak diharapkan membuat Mbak Nada depresi dan dibawa berobat ke dokter, Namun tak membuahkan hasil. Lelaki tua yang menjadi suaminya meminta seorang wanita yang menjadi pembantu disana untuk membawa mbak Nada ke dukun. Beruntung yang merawat Mbak Nada yang bernama Bu Rahmi, tak percaya pada peramal. Beliau justru membawa Mbak Nada ke sebuah pesantren, disanalah Kakakku itu mulai mengenal agama.Beberapa tahun di pondok, Mbak Nada kembali dijemput suaminya. Hidup kembali ke fase awal, meski kini Mbak Nada tak lagi, serapuh dulu. Meski tua dan keras, suaminya sangat menyayanginya. Sehingga apapun yang diminta Mbak Nada selalu dikabulkan. Sampai semua harta dan asetnya atas nama Kakakku. Pernikahan tanpa cinta itu juga tak meninggalkan jejak, Mbak Nada tak pernah hamil. Sehingga ketika suamin
"Assalamu'alaikum, apa ini Nada?" tanyanya setelah jarak kami sudah dekat.Aku dan Ayah saling pandang."Wa'alaykumussalam... Maaf, bukan Mas. Saya Melody." jawabku. "Oh, maaf, saya kira Mbak ini, Nada teman saya wajahnya mirip sekali,. Maaf ya, Mbak, Pak." ujarnya sambil mengangguk sungkan padaku juga Ayah.Dia bersiap meninggalkan kami. "Tunggu! Mas, ini mencari perempuan bernama Nada? memang Nada itu siapanya, Mas?" sebenarnya aku tau ini tak sopan, tapi aku penasaran. Jangan-jangan laki-laki ini mencari Mbak Nada, Kakakku."Hanya teman, Mbak." sahutnya. Lalu bergegas pergi setelah mengucapkan salam. Kami pun tak ambil pusing, bergegas menuju ruangan Ustadz Yusuf. Bersyukur Ustadz Yusuf ada di sana."Lho, ini kan yang waktu itu mau ruqyah disini? kenapa ga jadi datang?" Ustadz Yusuf tampak kaget melihatku dan Mas Hendra. Ustadz Luthfi pun menjelaskan semuanya. Jika ternyata Mas Hendra malah dibawa Mama berobat ke seseorang yang mengaku Kyai, yang nyatanya pasti seorang dukun."S