Aku memilih meninggalkan rumah sakit, mengutamakan suamiku sendiri. Ayah sudah aku kabari. Papa ditemani Mama, sedangkan Mas Hendra kini bersama laki-laki yang seharusnya aku malu meminta bantuannya.Besok Mbak Widya akan sampai, artinya aku bisa fokus pada Mas Hendra saja. Mobilku sudah sampai pada sebuah bangunan sederhana tapi begitu asri dan sejuk. Masih di wilayah Depok tak jauh dari rumah Salwa.Aku turun dari mobil, memperhatikan tempat yang tadi di share lok oleh Kak Hamzah. Mobil laki-laki itu juga sudah terparkir di halaman rumah ini. "Mel!" Salwa melambaikan tangan. Perempuan berkerudung itu tersenyum padaku."Assalamu'alaikum, Wa. Gimana, suamiku, sudah di ruqyahkah?" tanganku memburu."Wa'alaykumussalam... Sudah agak tenang.Yuk, kita masuk saja, kamu lihat sendiri."Salwa menggandeng tanganku. Saat sampai dipintu dan mengucapkan salam, aku agak canggung. Semua mata tertuju padaku."Gapapa, yuk." Salwa menarik tanganku. Sekilas kulihat Mas Hendra sedang duduk bersila dan
Sekujur tubuhku merinding mendengar penjelasan Ustadz Yusuf. "Pasti perempuan munafik itu yang menyihir suami saya, Ustadz!" geramku. Aku yakin Rasti pelakunya, dia ingin merebut Mas Hendra dariku. Atau bisa juga Mama, sepertinya Mama sangat membenciku."Kita tak usah mencari tahu siapa pelakunya, cukup kita Ikhtiar untuk menyembuhkan Nak Hendra ini. Siapapun yang melakukan kedzoliman, pasti akan Allah balas dengan caraNya. Tak perlu kita mengotori hati dengan membalas perlakuan yang sama." tutur Ustadz Luthfi bijaksana.Aku terdiam, meresapi apa yang disampaikan oleh Ustadz Luthfi. Umi Aisyah mengenggam tanganku, lalu tersenyum sambil mengangguk, seolah membenarkan apa yang dikatakan suaminya.Ustadz pun segera membawa kantong plastik beserta isinya ke belakang rumah. "Barang ini harus kita bakar. Sementara biar Nak Hendra istirahat dulu. Nanti sehabis Maghrib kita ulang lagi ruqyahnya." ujarnya.Kak Hamzah mengikuti lelaki paruh baya itu ke belakang. Sementara aku menghampiri Mas
Suara ketukan terdengar, Aku bergegas membuka pintu kamar ini. Ternyata Umi Aisyah dan Ustadz Luthfi yang datang."Ada apa, Nak? Umi dengar teriakan dari sini?" "Umi, Ustadz, tolong suami saya, tolong." rintihku cemas.Aku menepi melebarkan pintu, sehingga Ustadz dapat melihat keadaan Mas Hendra."Astaghfirullah ..." lirih Ustadz Luthfi, lalu langsung bergegas menghampiri Mas Hendra.Tangan Ustadz berusaha melepas tangan Mas Hendra dari lehernya. Dari bibirnya terus terdengar bacaan ayat-ayat Al Qur'an.Aku menangis, melihat keadaan Mas Hendra yang terlihat memprihatinkan. "Hayu, Nak kita bantu membaca Surat Al Baqarah."Aku dan Umi Aisyah bergegas keluar ke kamar mandi untuk berwudhu karena kami sama-sama bangun tidur, lalu bergegas mengambil Al Qur'an dan membacanya pelan.Tangan Mas Hendra mulai terlepas dari lehernya. Namun, masih terus berontak. Ustadz Lutfhi masih memegang tangan suamiku sambil meruqyahnya. Hingga sejam kemudian, Mas Hendra mulai tenang dan tertidur."Alhamdul
Bagaimana kami dulu hidup susah, hingga Mbak Nada terpaksa direlakan untuk dirawat oleh seorang Juragan terkaya di kampung. Yang kemudian setelah dewasa Kakakku itu dinikahi olehnya. Pernikahan yang tak diharapkan membuat Mbak Nada depresi dan dibawa berobat ke dokter, Namun tak membuahkan hasil. Lelaki tua yang menjadi suaminya meminta seorang wanita yang menjadi pembantu disana untuk membawa mbak Nada ke dukun. Beruntung yang merawat Mbak Nada yang bernama Bu Rahmi, tak percaya pada peramal. Beliau justru membawa Mbak Nada ke sebuah pesantren, disanalah Kakakku itu mulai mengenal agama.Beberapa tahun di pondok, Mbak Nada kembali dijemput suaminya. Hidup kembali ke fase awal, meski kini Mbak Nada tak lagi, serapuh dulu. Meski tua dan keras, suaminya sangat menyayanginya. Sehingga apapun yang diminta Mbak Nada selalu dikabulkan. Sampai semua harta dan asetnya atas nama Kakakku. Pernikahan tanpa cinta itu juga tak meninggalkan jejak, Mbak Nada tak pernah hamil. Sehingga ketika suamin
"Assalamu'alaikum, apa ini Nada?" tanyanya setelah jarak kami sudah dekat.Aku dan Ayah saling pandang."Wa'alaykumussalam... Maaf, bukan Mas. Saya Melody." jawabku. "Oh, maaf, saya kira Mbak ini, Nada teman saya wajahnya mirip sekali,. Maaf ya, Mbak, Pak." ujarnya sambil mengangguk sungkan padaku juga Ayah.Dia bersiap meninggalkan kami. "Tunggu! Mas, ini mencari perempuan bernama Nada? memang Nada itu siapanya, Mas?" sebenarnya aku tau ini tak sopan, tapi aku penasaran. Jangan-jangan laki-laki ini mencari Mbak Nada, Kakakku."Hanya teman, Mbak." sahutnya. Lalu bergegas pergi setelah mengucapkan salam. Kami pun tak ambil pusing, bergegas menuju ruangan Ustadz Yusuf. Bersyukur Ustadz Yusuf ada di sana."Lho, ini kan yang waktu itu mau ruqyah disini? kenapa ga jadi datang?" Ustadz Yusuf tampak kaget melihatku dan Mas Hendra. Ustadz Luthfi pun menjelaskan semuanya. Jika ternyata Mas Hendra malah dibawa Mama berobat ke seseorang yang mengaku Kyai, yang nyatanya pasti seorang dukun."S
"Bukan saya, Pak. Tapi, semua berkat bantuan Allah. kami hanya perantara." ujarnya merendah."Sementara Nak Hendra bisa tinggal di pondok ini, untuk melatih menahan diri. Seminggu atau dua Minggu InsyaAllah sudah cukup sebagai terapi. Nanti saya dan beberapa Ustadz yang memang tinggal disini akan memandu dan memantau Nak Hendra." usul Ustadz Yusuf.Aku dan Mas Hendra saling pandang. Jujur kalau diri ini ikhlas, asal Mas Hendra bisa sembuh. Soal rindu, bukan lagi hal yang perlu diungkapkan."Kenapa? takut rindu ya, sama istri?" ledek ustadz Luthfi. Mereka terkekeh."Boleh, kalau istrinya mau tinggal disini, kebetulan ada kamar yang biasa dipakai orang tua santri, yang tinggal jauh seberang. Mereka kami ijinkan menginap jika kemalaman. Saat ini kamar itu kosong, Nak Hendra dan istri bisa tinggal sementara disana.""MasyaAllah, kami jadi merepotkan Ustadz." aku benar-benar merasa ga enak. Mereka memperlakukan kami seolah kami ini saudara mereka."Tak apa-apa, kami tak pernah merasa direp
"Assalamu'alaikum, Mbak...""Wa'alaykumussalam, Mel ... Mel, Papa mau bertemu kalian, keadaan Papa sedang kritis. Sebaiknya kamu dan Hendra datang ke rumah sakit." suara diseberang sana terdengar cemas."Ya Allah, Mbak...." reflek aku menutup mulut dengan tangan.Aku bingung, gimana ini? Mas Hendra juga masih di Bogor. "Tolong ya, Mel. Mbak ga tau harus gimana.""Mama, ada disana, Mbak?"Saat ini aku sedang lelah jiwa raga, tak ingin rasanya bertemu dengan orang yang nanti hanya akan menambah keadaan hatiku memburuk."Mama, sudah dua hari tidak kesini. Mbak ga tau keadaan Mama, karena teleponnya juga ga aktif. Mbak juga ga bisa meninggalkan Papa sendirian.".Ya, Allah... Hatiku makin dilema. Mbak Widya benar-benar sendiri saat ini. Sementara, aku juga harus menemani Mas Hendra di sana."Mbak, InsyaAllah besok Melody akan usahakan datang ke rumah sakit, ya.""Makasih ya, Mel." sahut Mbak Widya lega."Sama-sama, Mbak." jawabku. Setelah itu sambungan pun terputus.Aku terduduk lemas di
"Nasib rumah tangga kita tidak jauh beda ya, Mel." lirih Mbak Nada ketika kami sama-sama sudah berada di pembaringan. Aku menghela nafas berat, meskipun rumah tangga kami tidak baik-baik saja, setidaknya aku dapat merasakan cinta dari lelaki yang sempat ingin kuceraikan, beda dengan mbak Nada yang menikah dengan lelaki tua yang sama sekali tidak dicintainya."Selalu ada hikmah dibalik semua yang terjadi di dunia ini, Mbak. Mungkin saat ini kita tidak tahu hikmah apa itu. Tapi, bukan berarti tak ada." aku menjeda ucapan."Aku yakin, ada pelangi dibalik hujan, ada kemudahan dibalik kesulitan, dan selalu ada hikmah dibalik apa yang terjadi pada kita." lanjutku."Kamu benar, Mel. Mbak masih ingin punya suami yang mencintai Mbak, dan memiliki anak-anak yang lahir dari rahim ini."Aku menggenggam tangan Mbak Nada. Tak ada rasa canggung meski kami baru saja kembali bersama.****Pagi-pagi sekali kami sudah berangkat ke Bogor. Setelah sebelumnya memberi kabar kepada Mas Hendra kami akan menje