"Astaghfirullah ..."Sontak aku menoleh membalikkan badan."Bobok, yuk. sudah malam." bisik Mas Hendra.Jarak wajah kami begitu dekat, bahkan aku bisa merasakan hangat nafasnya."Mas, sudah sholat Isya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Degub jantung bertalu-talu. Entah kenapa tak biasanya aku begitu grogi pada suamiku sendiri."Sudah, tadi Mas sholat dikamar Papa. Sambil menunggui Papa. Alhamdulillah, Papa sepertinya sudah pulas." jawabnya.Tangan itu kini meraih sarung yang masih aku kenakan, membantu meloloskan kain putih itu dari tubuhku."Kita coba, yuk." bisiknya lembut."Co-coba apa?" tanyaku gugup. Ya Allah, kenapa berasa pengantin baru yang akan belah duren begini. Mas Hendra tak menjawab, lelaki itu merebahkan tubuhku di ranjang dengan lembut. Tangannya dengan mesra membelai anak rambut yang menutupi wajahku."Mas sudah Ikhtiar untuk sembuh. Walau terkadang masih ada denyut dikepala ini. Tapi, Mas yakin hari ini akan mencetak gol dan menyatakan kemenangan."Ingin tertawa ta
"Sabar, ya Mas. Allah menguji kita, karena Dia yakin kita mampu melewatinya."Laki-laki itu melepas pelukannya, memegang kedua pundakku."Makasih sudah memberikan Mas kesempatan kedua." lirihnya. Aku mengangguk sambil mengulas senyum. Dalam hati ini berjanji, apapun yang terjadi aku akan mempertahankan rumah tanggaku. Mas Hendra laki-laki yang baik, hanya saja kisah masa kecilnya menorehkan sebuah trauma yang menjadi penyakit dikemudian hari.****Kami sudah sarapan, Papa duduk di kursi teras sambil menatap ke arah jalan."Pa, Papa mikirin apa?" tanya Mas Hendra yang kemudian ikut duduk disebelah Papa."Papa masih kepikiran Mamamu, selama ini Mama tak pernah seperti itu. Papa merasa asing dengan Mama.""Apa menurut Papa, siapa yang membuat Mama seperti itu?""Papa curiga dengan Rasti. Tapi, anak jaman sekarang apa masih percaya hal seperti itu?" ungkapnya ragu."Bisa jadi, Pa. Bagaimana jika besok kita pulang? kami akan ikut Papa?" ajak Mas Hendra.Papa setuju, kesehatan Papa juga su
Hari ini kami berniat kerumah Mama. Papa yang minta, katanya sebaiknya Mama dinasehati dan diberi pengertian bahwa rumah tanggaku bukan mainan yang sekehendak hati Mama, ganti-ganti pasangan. Aku menurut saja, toh aku juga sudah mengatakan pada Kak Hamzah, belum bisa bekerja dulu untuk saat ini. Pasrah dengan keputusan perusahaan, apa aku akan dipecat atau diberi kelonggaran. Jika dipecat pun aku siap. Karena Mbak Nada sudah memberikan sebuah pilihan padaku. Mungkin aku dan Mas Hendra akan mengelola usaha warung makannya nanti.Sesampainya dirumah Mama, terlihat Mbak Widya sedang menggendong Acha yang tampak sedang menangis."Acha kenapa, Wid?" tanya Papa setelah kami mengucapkan salam dan mendekati Mbak Widya."Ga tau, Pa. Acha itu tak pernah betah kalau di dalam, semenjak disini, rewel terus.""Apa mungkin ada yang sakit, Mbak?" sahutku."Ga tau, Mel. Anehnya kalau dibawa main diluar, dia berhenti menangis."Aku dan Mas Hendra saling pandang."Mama, apa sudah pulang, Mbak?" "Sudah,
Bayangan Rasti semalam masih menghantui benakku. Apa Rasti yang melakukan semua ini pada kami. Kemana dia? semalam aku mencarinya keluar, tapi, tak ada tanda-tanda keberadaan perempuan itu. Dia hilang begitu saja. Apa cuma halusinasiku?Setelah subuh, Mas Hendra pulang. Katanya mau istirahat sebentar. Dirumah sakit sama sekali tak bisa tidur karena Mama selalu menggigau dan berteriak-teriak."Nanti jam 8 bangunkan Mas, ya, Dek. Mas mau balik lagi kerumah sakit. Kasian Mbak Widya.""Iya, Mas." jawabku setelah melihat Mas Hendra mulai memejamkan mata.Aku meninggalkan suamiku di kamar, berlalu ke dapur menyiapkan sarapan. Bik Lina sepertinya tak datang hari ini karena harus full menjaga Acha. Aku membuka kulkas dan mengeluarkan bahan-bahan yang ada. Sedang asik menyiangi sayuran, suara benda jatuh terdengar dari kamar belakang yang dijadikan gudang. Aku masih berpikir positif mungkin cicak atau tikus, maklum disana banyak barang-barang yang tak terpakai.Namun, suara itu masih terus te
Aku akhirnya dapat menyusul langkah perempuan itu. Tangannya kucekal dengan kencang."Rasti! kamu Rasti kan?" "Bu-bukan kamu salah orang!" perempuan itu masih mencoba berkilah."Jangan bohong! kamu Rasti! kenapa kamu lari kalau bukan Rasti. Jujur!" bentakku.Dia tergugu, kemudian terduduk lemas dipinggir jalan yang masih ramai dilalui kendaraan itu."Maafkan aku, Mel. Maafkan aku."Aku duduk disampingnya, berusaha menguasai emosi. Karena sedari awal aku curiga Rasti yang membuat rumah tanggaku dan kehidupan Mama dan Papa mertua sempat berantakan."Aku sangat mencintai Hendra, terlebih dari dulu Tante Fatma menjanjikan akan menikahkan aku dengan anaknya itu." suara Rasti bergetar karena tangis."Maksud kamu?""Sebelum kamu dijodohkan Om Rusdi dengan Hendra, aku telah terlebih dahulu dekat dengannya. Bahkan, Tante Fatma sudah aku anggap Mamaku sendiri. Tapi, nyatanya Om Rusdi malah menjodohkan Hendra dengan kamu, anak sahabatnya." Aku mulai paham. Jadi, kedekatan Rasti dengan Mas Hend
"Mel, kamu sakit?"Mbak Nada meraba dahiku."Engga, kok Mbak." jawabku singkat. Walau pagi ini badanku terasa ga enak. Pusing dan rasanya ingin muntah. "Sarapan dulu, yuk. Tadi kebetulan Mbak masak sop iga, pasti seger nih." Mbak Nada mengeluarkan bungkusan yang berisi makanan yang dia bawa tadi. Jam tujuh Mbak Nada sudah sampai dirumah."Hendra sudah berangkat?""Sudah, Mbak. Pagi ini ada meeting katanya.""Oh, syukurlah, Hendra serius mengurus perusahaan itu. Mbak beneran buta masalah kantoran. Untung saja tuh perusahaan ga ngilang.""Mbak, bukannya buta. Tapi, menutup mata." ledekku.Dia tertawa kecil."Iya, sih Mel. Dari kecil Mbak itu terpenjara rasanya. Ga bisa menikmati masa remaja, ga tau apa itu cinta.""Udah, jangan melow! semua sudah berakhir. Mbak Nada sekarang udah enak hidupnya, tinggal nyari pengganti aja."Mbak Nada tersenyum, sambil menuangkan sop ke mangkok Mbak Nada ragu-ragu bertanya."Abangnya teman kamu itu sudah menikah?" Aku sontak menoleh pada Mbak Nada samb
"Mas ..." aku menyerahkan alat test kehamilan yang sudah kugunakan itu pada Mas Hendra dengan mata berkaca-kaca."Kenapa, Dek?" Mas Hendra meraih benda itu melihat sekilas lalu berucap "gapapa, jangan bersedih." Dia merengkuh kepalaku dalam pelukannya."Gimana? gimana hasilnya?" Mama mendekat dengan wajah antusias. Semua berkumpul di depan kamar mandi, seolah sedang menunggu sesuatu yang penting."Sini ... sini biar Mbak lihat!" Mbak Widya merebut Tespeck yang ada di tangan Mas Hendra."Waaah! selamat!"seru Mbak Widya, membuat semua mengalihkan perhatian padanya. Sedangkan aku menahan senyum. Ternyata Mas Hendra tak pandai membaca hasil alat test kehamilan tersebut."Selamat? bukannya itu garisnya dua?" tanya mas Hendra polos."Waaah! garisnya dua? waaah ... sebentar lagi Mama punya cucu." Potong Mama, tampak wajah tua Mama sangat senang."Alhamdulillah ... akhirnya." lirih Papa menimpali."Kok punya cucu? itu garisnya dua. Garis dua bukannya negatif." Mas Hendra masih dengan wajah
"Mas, cari Mas Hendra?" tanyaku setelah mengikuti lelaki yang masuk ke dalam rumah."Eh, engga Mbak. Tadi sapu tangan saya ketinggalan. Ini sudah saya ambil. Pamit dulu, makasih."Dengan tergesa lelaki itu berlalu. Aneh sekali, hanya karena sapu tangan dia balik lagi, untuk ukuran seorang laki-laki itu sangat aneh.Namun, semua terlupakan karena kedatangan tamu yang makin banyak. MasyaAllah, hanya syukuran kehamilan saja acaranya besar-besaran seperti ini. Hampir sama dengan hajatan pernikahanku dulu. Papa memang terlihat seperti orang biasa, padahal kekayaannya diluar sana sangat banyak. Setahuku Papa memiliki saham yang besar dalam sebuah perusahaan kelapa sawit, dan juga beberapa perusahaan lain. Namun, semua di urus oleh orang kepercayaannya. Papa tak pernah ikut rapat atau apa pun itu, katanya, mau menikmati hari tua.Sempat heran kenapa bukan Mas Hendra yang Papa tunjuk menjadi orang kepercayaannya. Atau Mbak Widya yang merupakan anak kandungnya. Tapi, aku tak berani bertanya. I