"Enak 'kan, Mas, baksonya?" tanya Nita saat melihat sang suami menghabiskan tiga mangkok bakso di depannya.Nita menggelengkan kepalanya kecil melihat tingkah laku sang suami yang seperti anak kecil."Enak, Sayang. Kamu kok baru sekarang sih ngajak aku ke sini, kalo tau di sini baksonya enak. Setiap pulang kerja, pasti aku bakalan mampir terus ke sini," ucap Damar sambil memasukkan sebiji pentol ke dalam mulutnya."Ya kan kemarin kita nggak seakrab sekarang, Mas. Jadi gimana aku mau ngajak kamu ke sini, orang setiap bicara aja kamu selalu ngehindar," ujar Nita dengan nada suara yang seolah-olah sangat sedih. Padahal aslinya tidak.Damar mengunyah makanan dengan sangat cepat, ia ingin segera menjawab perkataan sang istri. "Maafin aku ya, Sayang, kemarin itu bukan aku. Mungkin bisa jadi aku, tapi ... ah gimana ya jelasinnya pokoknya gitu lho, saat ini aku benar-benar sudah sangat mencintaimu. Kamu percaya kan sama aku," ujar Damar lalu memegang telapak tangan Anita.Anita tersenyum man
Anita menangis tersedu-sedu di atas ranjangnya. Bahkan matanya sudah sangat bengkak karena hampir satu jam ia menangis tak hentinya."Sayang, aku benar-benar minta maaf. Aku nggak bermaksud buat bikin kamu luka lagi." Damar berusaha menghentikan tangisan Anita, tapi Niya malah terlihat tak peduli dengan ucapannya.Damar mengacak rambutnya frustasi, tak tahu harus apa sekarang? Ia bahkan sangat-sangat bingung bagaimana cara membujuk sang istri agar tak menangis lagi."Sayang, jangan menangis lagi. Aku benar-benar minta maaf," lirih Damar. Dia memegang telapak tangan Nita yang terasa dingin.Nita lalu menghentikan isak tangisnya dan menatap Damar dengan pilu."Mas, nggak perlu minta maaf. Itu semua salah aku, coba aja waktu itu aku nggak usah pakai acara pergi dari rumah. Mungkin anak kita masih hidup sampai sekarang," ujar Nita dengan suara yang parau. Damar sangat sedih melihat kondisi istrinya sekarang, padahal baru tadi siang mereka bersenang-senang dan menikmati waktu bersama denga
"Sayang, baju kerja aku yang warna biru di mana?" teriak Damar saat Nita masih berada di dalam kamar mandi.Nita ke luar dari kamar mandi, dengan handuk di rambutnya. Ia mengomel pelan."Kan, aku udah bilang, Mas. Baju kerjanya aku taruh di samping lemari," ujar Nita kesal."Lho, tadi aku nyari di sini nggak ada loh beneran, Yang," ucap Damar bergegas memakai baju kerja yang sudah disiapkan oleh Nita."Hilih, bilang aja nggak nyari di sini. Orang dari tadi malam aku udah bilang, bajunya kutaruh di samping lemari ya, Mas" Nita mengikuti nada bicara Damar dan pastinya sedikit dilebih-lebihkan."Sayang, tadi beneran nggak ada, lho. Pasti kamu punya ilmu buat ngilangin pakaian yang disiapkan, terus biar nantinya aku nyari kamu buat bantu nyari. Kamu so sweet banget sih sayangku," ucap Damar dengan nada manja. Nita melirik suaminya dengan tatapan sinis."Kumat deh kamu, Mas,* ujar Nita ketua, padahal sekarang dia sedang mati-matian menahan tawa."Sayang, pakaikan dasi kerja aku dong," pint
"Ibu kok nggak bilang-bilang mau ke sini?" ujar Nita saat Asih sudah masuk ke dalam rumah mereka."Kalo Ibu bilang-bilang, nanti bukan kejutan lagi namanya," ujar Asih mengusap lembut rambut sang putri."Pasti Mas Damar kan yang rencanain ini semua," Nita beralih menatap Damar yang hanya senyum-senyum tak jelas. "Buat kamu kok, Sayang. Sesekali nyenengin hati istri nggak papa kan, ya," jawab Damar mengedipkan mata sebelah pada Nita."Pengen marah, tapi ini benar-benar bikin aku seneng banget. Beneran deh, Mas," ujar Nita lagi kembali terisak."Sudah-sudah jangan nangis, sebagai ganti.air mata kamu. Ibu masakan makanan kesukaan kamu, mau nggak?" tanya Asih pada sang Nita. Nita langsung menganggukkan kepalanya cepat. Seperti anak kecil yang sangat-sangat ingin kemauannya dituruti."Kamu nggak kerja, Mas?" tanya Nita lagi pada Damar, setelah melihat Damar yang tak kunjung berangkat kerja padahal hari sudah lumayan siang."Enggak, hari ini aku full di rumah saja. Ibu juga baru datang, ma
Sudah lima bulan lamanya Asih tinggal bersama dengan putri dan juga menantunya."Hoeekkk!"Tiba-tiba tak sengaja telinga Asih mendengar suara Nita yang seperti ingin muntah terus-menerus. Nita segera berlari dari meja makan, dan Asih bergegas menyusul Nita ke kamarnya. "Kamu kenapa, Nak? Masuk angin?" tanya Asih pada Nita. Saat ini mereka hanya tinggal bertiga di rumah besar ini. Sesekali mertua Nita datang menjenguk menantu kesayangannya. Damar saat ini sedang tidak ada di rumah, karena ada pekerjaan di luar kota yang harus dikerjakannya."Nggak tau, Bu. Perut Nita tiba-tiba nggak enak entah kenapa lah ini. Mungkin masuk angin saja," ujar Nita sesekali memegang perutnya yang terasa diaduk-aduk.Asih lalu memegang tangan putrinya, belum sempat sampai ranjang. Nita tiba-tiba pingsan di dalam pelukannya. Asih berteriak panik dan memanggil Mpok Wati berkali-kali. Mereka lalu bergegas membawa Nita untuk segera dibaringkan di atas ranjang."Keringatan banget Nyonya Nita, Bu," ujar Mpok Wa
*Damar dan Aryo sekarang sudah sampai di tempat yang dituju. "Sabar kali, Mar. Santai aja kenapa?" ujar Aryo melihat Damar yang tergesa-gesa memasuki mobil yang sudah menunggu kedatangan mereka."Nggak sabar banget gue, Yo, ketemu sama Nita di rumah. Gue pengen cepat-cepat dengar hasilnya," ucap Damar sambil tersenyum senang."Ah elah lu mah, Mar. Iya dah yang sudah punya istri," ujar Aryo mencabik kesal."Apa sih lu, Yo. Makanya cepat-cepat nikahin Putri," ejek Damar pada Aryo.Sekarang mereka sudah berada di dalam mobil, dan bergegas menuju ke rumah Damar."Gue ikut ke rumah lu nih ceritanya?" tanya Aryo pada Damar."Iyalah, biar lu menjadi saksi kebahagiaan gue nantinya," ucap Damar sambil terkekeh kecil. Aryo hanya memutar bola matanya malas mendengar celotehan sahabat yang sangat membosankan menurutnya.**Saat sampai ke rumah Damar langsung memeluk Anita dengan penuh rasa bahagia. Nita langsung menangis di dalam pelukan Damar dengan terisak."Mas, aku hamil," ujar Nita sambil
*"Sayang, jangan kerja yang berat-berat. Nanti perut kamu sakit," ujar Damar melihat Nita yang sedang mengangkat vas bunga yang jatuh karenanya."Apa sih, Mas. Cuma vas bunga doang lho ini. Berat darimana?" tanya Nita dengan raut wajah yang kesal."Ini berat lho, Sayang," ujar Damar mengambil vas bunga dari tangan Nita."Ya ampun plastik lho ini, Mas. Ngapain sih pakai takut segala macam, aku aja nggak merasa keberatan lho, Mas," ucap Nita sedikit sebal melihat kelakuan Damar yang menurutnya terlalu berlebihan."Apa sih, Sayang. Aku kayak gini nih, demi kebaikan kamu juga. Kamu jangan marah-marah dong sama aku," ucap Damar melihat Nita yang sedikit sensitif dengan sikapnya.Mungkin karena sudah pernah merasa kehilangan, jadi Damar memilih untuk lebih berhati-hati. Dia lebih siaga, tidak ingin kejadian kemarin terulang kembali. Dia ingin menjadi sosok lelaki yang bertanggungjawab sepenuhnya terhadap sang istri. Damar juga benar-benar trauma dengan sikapnya yang dulu benar-benar membu
Aku benar-benar terkejut melihat perlakuan Mas Damar pada sang kekasih. Bahkan di depanku saja, dia sangat berani berbuat seperti itu.Aku di sini bagai seorang putri yang tak lagi melihat pangerannya. Karena sang pangeran sudah beralih hati dan perhatian dengan seseorang yang pertama kali meraih hatinya."Mas, aku nggak salah lihatkan sekarang?" lirih aku berucap menatap Mas Damar yang masih terlihat perhatian pada perempuan yang berada di sampingnya."Sayang, ini Laura. Teman masa kecil, Mas," jawab Mas Damar tanpa memikirkan perasaanku."What, sayang? Maksudmu apa, honey?" tanya perempuan yang bernama Laura itu. Ia memegang bahu Mas Damar hingga menghadapnya."Laura ... jujur, sebenarnya aku sudah menikah. Kita berdua sudah berakhir semenjak kamu memilih untuk melanjutkan pendidikanmu dan tidak menikah denganku," lirih terdengar ucapan Mas Damar di telingaku. Sepertinya kalimat itu sangat berat untuk diungkapkannya pada Laura."No! Ini bohong, bukan? Kamu bilang, kamu akan menungguk