Hatiku diliputi gelisah. Hingga malam menjelang aku tak kunjung ke luar kamar. Bagaimana menjelaskan ke Aya jika yang mengirim pesan tadi adalah aku. Sungguh teledornya aku sampai menggunakan nomor sendiri. Dia bukan wanita yang bisa diajak main-main. Kenapa aku dilema dengan perasaanku. Aku akui aku laki-laki yang tidak pernah serius dulu pacaran, ketika menemukan rasa yang aneh seperti ini aku justru bingung sendiri. Apa aku harus belajar mencintai Alya dengan sepenuh hati tanpa berfikir ini dan itu.Tok! Tok! Tok!Alya mengetuk pintu."Bang, kita makan malam. Aku sudah siapkan.""Iya," jawabku singkat.Setelah selesai menjalankan salat magrib aku keluar kamar. Kulihat Alya sudah menyiapkan makan malam untukku."Udah lebih baikan, ban
Semua diam. Hingga semua berpamitan satu persatu. Sukma terus menunduk tak berani menatapku. Alya tetap santai dan santun berbicara dengan lainnya."Istirahat dulu, pak Dave. Surat keterangan dokternya sudah kami terima.""Terima kasih, pak," jawabku singkat. Entahlah aku ingin mereka cepat-cepat keluar dari rumah ini. Lebih tepatnya aku ingin berduaan dengan Alya. Jujur, aku takut dia mengira akan kembali lagi seperti kemarin yang pecicilan dengan beberapa wanita. Kali ini aku tobat.Alya membereskan semua bekas minuman dan makanan. Namun, aku larang karena ini tugasku."Istirahatlah, biar aku yang bereskan." Dia diam. Seperti tak tega melihatku."Gak apa-apa, istirahatlah.""Makasih, bang. Aku ada proyek di luar kota yang harus aku buat laporanny
"Cemburu pak dokter? Makanya jangan jomlo saja." Sengaja aku memperjelas agar si Nu Nu sadar."Lebih baik aku jomlo daripada nyakiti hati wanita, gaes. Nih Alya aku kasih minuman. Kasitau abang, besok kalau jogging bawa bekal biar kencannya sukses." Astaghfirullah ini dokter sebelas duabelas sama si Alya."Bye, Al. Aku ada sift pagi hari ini. Bye juga, bang," ucapnya berlalu. Pengen di hih si dokter ini."Bye, Nu. Makasih minumannya."Si Nu Nu mengedipkan mata. Dih, geli aku lihatnya."Suruh temanmu si Nu Nu itu nikah, gangguin aja kerjaannya.""Haha ... dia mah pemilih orangnya, bang. Banyak sebenarnya yang antri, tapi dia suka gadis yang apa adanya. Tidak yang menor gitu.""Maksudmu yang tidak suka dandan?"
Alya melepas pelukanku dan duduk di tepi ranjang. Aku pun ikut duduk di sampingnya."Maafkan aku, Al. Jujur aku cemburu," ucapku begitu saja. Mengalir apa adanya."Memang abang bisa cemburu, gengsi gitu.""Entahlah, Al. Aku mulai menyukai apa yang ada dalam dirimu."Dia hanya diam. Tak terlihat bahagia atau wajah memerah menahan malu."Jangan terlalu cepat menyukai seseorang, bang. Apalagi denganku yang kusam tidak jelas ini. Kalau aku tipe prinsip, bang. Jika tak suka tinggalkan, jangan sampai jadi beban.""Tarnyata kamu belum memaafkanku, Al. Kamu pendendam.""Hal biasa bagi istri yang ingin diceraikan karena hal sepele. Istri yang tidak suka dandan." Aku kalah telak dibuat. Dia memang bukan wanita biasa yang
Rasanya dunia ini seakan runtuh. Tak peduli dengan jam kantor yang masih lama aku mengejar Alya yang sudah naik taksi. Tak kupedulikan Sukma di ruanganku."Dave ... maafkan aku ...." Sukma terlihat tegang karena melihat Alya yang marah dan pergi. Namun, Semuanya sudah terlambat tak bisa lagi diulang.Aku tak menjawab dan segera mengejar Alya."Ada apa, Bro?" Fery bertanya melihatku yang tergopoh-gopoh mengejar Alya. "Aku izin, Fer," jawabku. Untuk kedua kalinya aku melakukan hal yang membuat Alya marah. Mungkin kata maaf sudah tak ada lagi untukku. Kurasa kali ini Alya akan pergi selama-lamanya. Dan entah bagaimana nasib pernikahan ini.Kulihat taksi berhenti di depan rumah. Itu berarti Alya baru pulang. "Alya ... Kumohon jangan pergi ...." Alya sedang membereskan pakaian yang akan dibawa. Dia tidak terlihat marah, tapi tetap santai memasukkan pakaiannya ke dalam tas yang akan dibawa."Alya ... percayalah ...." Aku duduk dibawahnya. Kupegang tangannya tanpa ada rasa malu yang kuras
Kata maaf sepertinya sudah tak mampu meluluhkan hati Alya. Wanita yang pernah aku sia-siakan. Wanita yang pernah aku anggap remeh berjalan lurus tanpa menolehku sedikit pun. Tak ada lagi hal yang bisa aku lakukan selain penyesalan yang mendalam. "Dave ...." Tiba-tiba bahuku ditepuk oleh orang yang tak asing. "Satrio?" "Iya, aku Satrio, Dave. Ngapain disini malam-malam?" tanyanya heran. Setidaknya ada sesuatu yang membuatku bahagia. Rio berada di apartemen ini. "Mengunjungi istriku." "Yang mana?" "Itu ... yang berjalan lurus." Satrio melihat Alya yang dijaga oleh pengawa
Jatuh cinta itu yang berat ketika kamu dikecewakan dan mengecewakan. Sama-sama terluka. Apalagi sebuah pernikahan yang harusnya seumur hidup bersama.Ting. Satu notifikasi pesan yang masuk dari Fery.[Bro, apa kabar? Usahakan besok masuk, banyak yang ingin menggesermu karena dua hari tanpa keterangan. Aku tahu perjuanganmu bisa sampai jadi manager karena prestasimu. Jangan sampai orang yang iri denganmu mengambil kesempatan ini.][Terima kasih, bro.] send."Dari siapa?" tanya ibu."Teman kantor. Banyak yang menginginkan Dave mundur hanya karena dua hari tidak masuk.""Ibu tahu kamu masih terluka, tapi masuklah. Terlepas bagaimana selanjutnya itu memang salahmu tanpa kabar dua hari," jawab ibu."Dave ingin menghilang saja, bu. Rasa bersalah ini menghantuiku.""Itu bukan cara laki-laki sejati menyelesaikan masalah. Selama i
"Apa pintu maaf itu sudah tertutup olehmu, Alya?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Sebelum aku benar-benar menyesali semua ini."Pintu maaf itu sudah kubuka, tapi tak satu pun abang indahi segala rasa di hatiku. Jika abang bertanya apa aku tidak punya hati? Yang jelas disini aku terluka dibuat olehmu."Rasanya layangan putus itu benar adanya. Alya mantap ingin berpisah denganku."Kita menikah dengan baik-baik, bang. Mari kita berpisah baik-baik."Bolehkah aku berteriak jika aku tak ingin berpisah dengannya."Aku tak ingin berpisah denganmu, Al." Aku bahkan tak berani memandang wajahnya."Nyatanya ini yang terbaik untuk kita."Aku kehabisan kata-kata ketika memegang surat dari pengadilan ini. Rasanya h