Share

Part 2

“Kamu itu kalau bikin makanan, kasih tau ibu apa-apa aja namanya. Jangan sampai bikin ibu malu.” Ucapnya kesal ketika acara pengajian sudah selesai.

Lagi-lagi aku yang disalahkan. Aku berpikir dia akan memuji masakan atau kue yang kubuat. Tapi itu tak mungkin terjadi. Ia memang selalu mengakui apapun hasil masakanku menjadi masakannya. Padahal tak sekalipun ia ikut bersusah payah di dapur.

Aku dan Mas Didik hanya bisa menghela napas panjang mendengar omelannya yang tak berujung. Seperti biasa pula, selesai acara aku dan suamiku yang harus berberes dengan piring kotor dan membersihkan ambal bekas pengajian.

Aku dan suamiku sudah selayaknya pembantu di rumah ini, Sementara Farah juga anak-anak lainnya tak ada yang mau membantu, setelah kenyang maka mereka masing-masing langsung masuk kamar dan hebatnya, kami baru bisa makan setelah semua pekerjaan selesai dan jangan harap bisa makan banyak, sebab makanan sisa lah yang kami dapatkan.

Banyak tetanggaku yang suka menegurku, perbedaan tubuhku saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah mertua dengan tubuhku saat ini yang kurus, tinggal kulit pembungkus tulang saja, ditambah wajah yang kuyu dan kusam. Daster yang sudah robek dan harus ku jahit berulangkali. Penampilanku persis pembantu.

“Sabar ya, Dek.” Kalimat itulah yang kerap meluncur dari mulut suamiku. Aku hanya mengangguk dan menahan buliran bening yang ingin tumpah di pipiku.

***

Sudah dua hari badan Arthur panas, aku ingin sekali membawanya berobat tapi aku sama sekali tak memegang uang. Mas Didik berjanji akan memberikan uang setelah bibit pohon dibeli orang.

Tapi sampai sekarang belum juga ada tanda-tanda uang akan diberikan suamiku. Aku juga tak ingin memaksanya karena dia sendiri sudah sangat berusaha selama ini. Hanya bisa menunggu saja sampai ia benar-benar membawa uang ke hadapanku.

“Bibit pohonnya rencana mau diambil pagi ini, kita tunggu saja setelah dapat uangnya nanti kita bawa Arthur berobat ya.” Mas Didik memegang dahi anaknya, nampak sekali begitu cemas melihat keadaan Arthur.

“Kamu coba pinjam sama ibu karena kemarin ibu baru ambil uang pensiunan bapak.” Titah bapak mertua saat tahu tidak ada perubahan pada suhu tubuh Arthur. Meski berat, Aku pun memberanikan diri meminjam uang kepada Ibu demi anakku.

“Kok bisa-bisanya kamu pinjam uang sama ibu, memangnya ibu ini siapa?? Pejabat !! Bapakmu aja sudah nganggur pensiunan, terus kalau kamu pinjam mau balikin pake apa, kalau anak itu sakit dikompres biar turun panasnya.” Bentaknya ketika aku mengutarakan maksudku meminjam uang padanya untuk membawa Arthur ke dokter.

Cuma pinjam uang Lima puluh ribu untuk berobat, suara teriakan ibu menggema sampai ke rumah tetangga. Apalagi kalau aku pinjam sampai jutaan. Padahal kata bapak, uang pensiunan yang diterima ibu setiap bulannya nyaris dua juta rupiah.

Aku berusaha berprasangka baik saja, mungkin saja ibu harus menyimpan uang untuk memenuhi kebutuhan sebulan. Tak lama ku lihat Farah pulang dari kerja, Ibu langsung menyambut menantu kesayangannya tersebut.

“Rah, kamu baru pulang, Nak. Kamu sudah makan apa belum ?” Farah menggeleng.

“Farah mau istirahat dulu ya, Bu. Tadi banyak pelanggan di salon jadi Farah seharian berdiri terus. Capek bukan main. Mbak, bisa buatkan rendaman air hangat dikasih garam sedikit untuk kakiku,” Ia mulai memerintah ku. Aku hanya diam saja mematung.

“Kamu dengar apa kata Farah tadi, cepat bikinkan dia rendaman buat kakinya, kasihan dia seharian bekerja.”

Aku menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Meski dada rasanya sesak tapi aku menurut dan langsung ke dapur merebus air.

Begitu selesai, aku masuk ke ruang tengah dan tak sengaja kulihat ibu membawakan apel dan jeruk satu plastik menuju ke kamar Farah. Aku tahu itu buah-buahan karena warna plastiknya transparan. Ibu nampak terkejut ketika melihatku memergokinya tapi ia cepat-cepat menyembunyikan apel dan jeruk tadi di belakang bajunya.

“Ini air rendamannya, Bu.” Aku menaruhnya di lantai depan kamar Farah. Ibu hanya diam saja.

Aku tahu ini sudah kesekian kalinya, ibu memberikan berbagai macam makanan untuk menantu dan cucu kesayangannya. Pernah juga kupergoki ibu membelikan ayam KFC dan memberikannya secara diam-diam ke kamar Farah.

Ya, Farah dan Purwanto, adik iparku selalu mendapatkan perhatian lebih dari Ibu. Maklum saja Farah bisa memberikan cucu perempuan sesuai keinginan ibu. Sekar namanya, umurnya satu tahun. Farah memang menikah dua tahun lebih dulu daripada kami.

Aku menahan air mataku yang hampir ke luar, Ibu selalu begitu pilih kasih antara aku dan Farah. Pinjam uang lima puluh ribu saja tidak dikasih untuk berobat Arthur tapi dengan santainya ibu bisa membelikan makanan buat orang-orang kesayangannya. Jadi bukan hanya aku yang diperlakukan tak adil oleh ibu tapi Arthur juga. Itu terlihat dari perbedaan ibu memberikan kasih sayangnya.

Aku dan suami selalu dianggap pengangguran yang hanya bisa memberikan beban buat orang tua, di rumah kami berusaha membantu sebisa mungkin meski hanya dengan tenaga, tapi itu tidak pernah cukup bagi ibu. Berbeda dengan mereka yang sudah bekerja, mungkin punya poin plus di mata Ibu.

Baru saja aku akan masuk kamar menyusui Arthur, tiba-tiba ibu berteriak histeris. Disusul tangis Sekar. Aku sontak menoleh dan melihat ibu dengan wajah cemas menggendong Sekar.

‘Ada apalagi ini’ batinku.

Aku bertanya. “Ada apa, Bu.”

“Sekar badannya panas dan dia barusan jatuh dari ranjang, Panggil Didik, suruh bantu ibu bawa Sekar ke rumah sakit,”

Aku terperangah. Luar biasa paniknya dia saat cucu perempuannya sakit, terus apa kabar Arthur yang demam panas selama dua hari sama sekali tak mendapatkan atensinya.

“Mas Didik belum ada pulang dari kebun, Bu. Mungkin sore baru pulang.”

“Waduh bagaimana ini, Sekar betul-betul demam. Dia harus dibawa segera.”

“Farah kan ada, Bu. Dia bisa bantu ibu bawa Sekar ke rumah sakit.”

“Dia lagi tertidur, kasihan ibu mau membangunkan dia.” Sungguh di luar nalar kasih sayangnya pada menantunya itu. Aku benar-benar tak habis pikir.

“Ya sudah biar aku panggilkan ojek online dulu.” Ibu hanya mengangguk saja. Lima menit kemudian ojek datang dan membawa ibu serta Sekar berobat.

Satu jam setelahnya, ibu pulang membawa Sekar yang sudah memegang balon besar ditangannya. Farah yang baru saja terbangun, menyambut ibu.

“Ibu tadi bawa Sekar berobat, panasnya sudah turun dan ini obatnya, ibu juga tadi membelikan Sekar bakso supaya cucu ibu yang cantik ini cepat sembuh.”

Ibu menyerahkan dua bungkus plastik kepada Farah. Satu bungkus berisi bakso dan satu bungkus lagi berisi obat untuk Sekar.

Pemandangan seperti ini sudah biasa ku saksikan, terasa nyeri melihat kebahagiaan mereka sementara aku masih harus berjuang menurunkan demam anakku.

Malamnya, Arthur kembali demam dan aku hanya bisa mengompresnya berulangkali. Setelah kompresnya mengering, aku ke luar kamar ingin mengambil air kompres.

Kulihat ibu diam-diam masuk ke kamar Farah membawa nampan dan aku tidak melihat jelas apa yang dibawanya. Aku memilih kembali ke kamar mengurus bayi ku. Setelah setengah jam bolak balik mengompresnya, akhirnya demam anakku turun dan dia tertidur pulas. Lega sekali rasanya. Sayup-sayup kudengar suara dari luar kamar.

“Sate yang ibu bawa tadi enak loh. Ibu beli di mana.”

“Syutttt, jangan ribut kamu. Nanti Mayang dengar.”

“Kalau dia dengar memangnya kenapa?”

“Tadi siang dia mau pinjam duit ibu, tapi ibu bilang nggak ada uang, makanya ibu beli segala macam makanan ini diam-diam jangan sampai dia tau.” Ucapan pelan ibu masih tetap terdengar olehku.

“Kenapa nggak dikasih aja sih Bu?, kan kasian, dia pinjam juga buat anaknya sakit.”

“Enak aja, memangnya dia bisa kasih kembali uang yang dia pinjam, lihat tuh Si Didik aja nggak kerja, apalagi si Mayang juga bisanya cuma menyusui anak aja, bisa habis uangku buat mereka.”

Tak terasa air mataku mengalir. Kalau aku yang diperlakukan tidak adil oleh ibu seperti ini, aku masih bisa bertahan tapi bagaimana dengan anakku. Bukankah dia juga cucu ibu yang seharusnya mendapatkan perhatian yang sama dengan Sekar.

“Ya sudah terserah ibu aja, tapi malam ini Sekar tidur sama ibu ya, aku nggak mau dengar suara rewelnya. Aku betul-betul mau istirahat malam ini.” Tak ada kudengar jawaban. Ku hanya mendengar ibu membawa Sekar ke kamarnya.

“Sekar cucu ibu, cepat sembuh ya anak wedo cantik, malam ini tidur sama mbah ya.” Suaranya terdengar saat melewati kamar kami.

Farah memang benar-benar diperlakukan seperti ratu di rumah ini, Aku pernah bertanya sama Mas Didik mengapa ibu begitu menyayangi Farah dan membenci kami.

Mas Didik hanya bilang ibu sudah lama kepengen anak perempuan tapi semua anaknya laki-laki. Tak heran, dia suka sekali saat mendapatkan cucu perempuan. Jawaban Mas Didik tetap saja di luar nalarku.

Malam ini aku masih menunggu kepulangan Mas Didik, berharap dia mendapatkan uang untuk berobat Arthur. Kasihan anakku, selama sakit sangat rewel dan aku harus bolak balik mengganti celananya yang basah akibat pipisnya.

Aku tak seperti kebanyakan ibu rumah tangga yang lain, yang bisa membeli popok buat anaknya. Jadi aku hanya bisa mengganti celananya berulang kali, dan akan mencuci setelahnya supaya celana gantinya tidak kehabisan.

Tak lama suamiku pulang, wajahnya tersenyum senang. ‘Semoga saja sudah ada uang dibawanya’ Aku sangat berharap.

“Dek, aku dapat pinjaman uang dari temanku yang bekerja di perusahaan kayu, Ini bisa dipakai buat berobat Arthur. Cepat ganti bajunya. Kita bawa dia sekarang.” Aku mengucap syukur berulangkali.

“Alhamdulillah.” Aku segera mengganti pakaian Arthur dan kami bergegas membawanya berobat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status