Share

Ibu Mertuaku Penuh Drama
Ibu Mertuaku Penuh Drama
Penulis: RA. ADISTI5585s

Part 1

“Mayang! Ini kamu selesaikan setrikaannya. Ibu mau pergi rewang untuk pengajian dulu di rumah Ibu Mia!” Ketus Ibu mertuaku sambil menunjuk pakaian dua baskom besar yang belum tersentuh setrikaan.

Kerjaan seperti ini sudah biasa kulakukan setiap dua hari sekali. Ini belum termasuk cucian kotor seluruh keluarga.

“Setelah itu, kamu siapkan makan siang. Itu ibu sudah belanja sayur bayam sama tempe, tahu. Terserah kamu mau masak apa yang penting harus ada sambelnya.” Titahnya sembari melotot ke arahku.

Ibu punya dua orang menantu di rumah tapi anehnya, menantu yang satu, Farah tak pernah sekalipun diperintahnya seperti ia biasa melakukannya padaku.

“Kerjanya jangan lelet karena semua orang butuh makan cepat, Suami mu tuh bangunin jangan malas-malas, suruh cari kerja sana!” Aku hanya bisa mengangguk saja mendengar omelannya.

Akupun gegas menuju kamar tidur kami untuk membangunkan suamiku yang masih tertidur pulas di samping buah hati kami, Arthur.

“Mas, bangun dulu … Ibu suruh cari kerja hari ini.” Suamiku, Mas Didik masih bergerak malas.

Setelahnya, Aku lanjut menyetrika sebelum Arthur ikut terbangun dan memperlambat kerjaku.

Aku memang harus mengerjakan segala sesuatunya sekilat mungkin, karena sebentar lagi anakku, Arthur yang berumur 3 bulan pasti bangun dan musti menyusu.

Cucian piring sejak semalam sudah kukerjakan sehingga aku lebih fokus membersihkan rumah, memasak dan mengurus cucian saja pagi ini.

Kurang lebih satu jam, akhirnya aku selesai dengan satu kerjaan. Aku lanjut merendam pakaian dan memotong sayuran sambil menggoreng tempe tahu yang sudah aku potong kotak-kotak. Tak lama Arthur bangun, aku meminta Mas Didik membantu ku selagi aku menyusui Arthur.

Suamiku tanpa banyak bicara membantuku. Ia memang sangat rajin membantu pekerjaan rumahku selama ini. Maklum saja ia sudah menganggur selama setahun ini karena PHK di perusahaan tempatnya bekerja dulu dan sampai sekarang belum ada permohonan lamaran kerjanya yang membuatnya bekerja kembali.

Sambil mencari kerja, biasanya suamiku membantu Bapaknya, Bambang di kebun menanam bibit pohon yang nantinya untuk dijual.

“Kamu yang sabar ya, nanti kalau aku sudah punya kerjaan. Pasti kamu sama Arthur akan kubelikan pakaian dan makanan yang enak-enak.” Janji Mas Didik kala itu menenangkan, aku yang hanya bisa pasrah saat melihat menantu lainnya, Farah membeli barang-barang branded setiap bulannya.

Farah, menantu lainnya di rumah ini sejatinya berasal dari keluarga kaya dan punya pekerjaan yang bagus sehingga tak heran aku yang hidupnya pas-pasan ditambah suami yang pengangguran membuat Ibu mertua lebih memfokuskan perhatian pada Farah sedangkan aku harus puas diperlakukan layaknya pembantu.

Setelah selesai memasak dan mengerjakan semua pekerjaan, Aku masuk ke kamar untuk menidurkan Arthur kembali. Sebelum masuk kamar, kulihat Farah baru saja bangun tidur dan langsung ke kamar mandi.

Itulah pekerjaan rutinnya, setiap bangun tidur dia langsung mandi dan bersiap-siap makan siang. Sementara aku masih berjibaku dengan anakku dan pekerjaan rumah yang tak ada habis-habisnya dengan baju yang masih berbau asam. Pukul tiga sore, Ibu Mertuaku pulang dan aku yang ikut tertidur di samping Arthur, kaget mendengar suara teriakannya.

“Ampun! Ini sampah berhamburan. Dasar si Mayang ini menantu pemalas. Disuruh kerja malah enak-enakan tidur.” Kepalaku mendadak pusing namun tetap ku paksakan bangun dan menghampirinya.

“Kamu kerjanya apa seharian, memangnya sampah ini bisa membersihkan sendiri dan masuk langsung ke tong sampah kalau hanya kamu lihatin, Coba lihat sampah berhamburan dan tai ayam dimana-mana.” Sungut Ibu mertuaku seraya menendang-nendang plastik-plastik yang bertebaran ke sana ke mari.

Meski bingung dengan keadaan dapur, Aku mengambil sapu dan membersihkan sampah-sampah tadi. Aku sangat yakin sekali sudah menutup pintu dapur dengan menguncinya.

Tadi saat membersihkan, semua sampah sudah kumasukkan ke dalam karung dan rencananya akan kubakar pada sore hari nanti. Pintu dapur memang harus ditutup setiap selesai bekerja sebab ayam tetangga selalu saja masuk dan mengotori dapur.

Selama ini apapun perlakuan Ibu memang membuatku tak tahan, tapi karena keadaan membuat kami harus hidup menumpang dan bertahan dengan apapun perlakuan ibu mertua. Terkadang air mataku mengalir sambil mengerjakan perintahnya.

“Makan siang yang ibu suruh buatkan mana?” tanyanya. Aku menunjuk tudung saji di meja makan. Begitu ibu membukanya, dia menoleh dengan pandangan tak senang. Begitu kuhampiri, aku kaget karena semua piring yang tadinya terisi penuh gorengan tempe, tahu juga sayur bayam dalam mangkuk, semuanya bersih dalam keadaan kosong.

“Mana !! Ini kosong Mayang, Ibu ini lapar belum makan, Ini pasti kamu berdua sama Didik yang habiskan makanan. Terus orang rumah mau kamu suruh makan batu !” Hardiknya.

“Mayang dan Mas Didik bahkan belum makan, Bu. Tadi selesai masak, Mayang menyusui Arthur di kamar sementara Mas Didik mulai pagi tadi bantu bapak menanam bibit.” Selaku membela diri.

“Halahhh, alasan aja memang kalian berdua itu rakus, makan nggak ingat-ingat sama orang yang ada di rumah ini, sudah menganggur bikin beban keluarga aja, Capek ibu lama-lama lihat kalian berdua di rumah ini.” Katanya sambil berkacak pinggang.

Astaghfirullah. Sebegitu teganya ibu mertuaku bilang begitu. Kami memang selalu dianggap sebagai beban hanya karena Mas Didik masih menganggur, meski kami berdua selalu mengerjakan pekerjaan rumah sekalipun, tak pernah dianggap apalagi dihargainya. Aku hanya bisa menunduk dan memandang kosong. Lelah rasanya ingin menangis.

Air mataku sudah sangat jarang menetes lagi, rasanya semakin kebal dengan kata-kata kasar dari mulut mertuaku ini. Dulu, saat Mas Didik bekerja dan kami sering membelikan kebutuhan di rumah ini. Perlakuan ibu sangat baik bahkan dari mulutnya sendiri berucap bahwa aku dianggapnya sebagai anak sendiri.

“Tidak ada menantu di rumah ini, yang ada hanya anak. Jadi kamu Mayang pasti ibu anggap sebagai anak sendiri, ya kan, Pak?” Bapak mertuaku tersenyum dan menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan kata-kata ibu.

Tapi itu tak bertahan lama, begitu aku mengandung dan ia ketahui anakku laki-laki. Seketika dia mulai berubah sampai Arthur lahir tak sekalipun mau ia gendong. Alasannya klise, hanya karena sudah terbiasa punya anak laki-laki maka cucu laki-laki membuatnya malas.

Ia menginginkan cucu perempuan saja. Keadaan semakin diperparah ketika Mas Didik tak bekerja. Kesengsaraan semakin lengkap menderaku.

“Ibu maunya cucu perempuan, kalau laki-laki buat apa !! Ibu sudah punya tiga anak laki-laki.” Aku hanya mengusap dada mendengarnya waktu itu.

Aku pikir itu hanya perkataannya sementara saja, namun hal itu berkelanjutan hingga sekarang dan terbukti dengan perilakunya pada kami.

Saat kerepotan mengurus rumah, ada kalanya aku meminta bantuannya menggendong Arthur sebentar saja tapi langsung ditolaknya.

“Nanti dia kencing dan BAB, ibu ini mau salat, kasih aja sama bapaknya sana,” Akhirnya aku menggendong Arthur sambil menyelesaikan kerjaan, karena Mas Didik masih sibuk di kebun bersama bapaknya.

Memang cukup berbahaya membawa anak sambil memasak, namun apa boleh buat jika tidak segera dikerjakan maka omelan dan caci maki ibu mertua akan terdengar sampai rumah tetangga. Tetanggaku saja sampai hapal dengan kebiasaannya.

Yang lebih mengesalkan lagi, saat ibu mengadakan pengajian di rumah. Mulai dari kegiatan bebersih rumah sampai memasak diserahkan sepenuhnya kepadaku. Sementara menantu satunya tidak boleh diganggu gugat dengan alasan dia sibuk dan capek karena seharian bekerja.

Farah bekerja di salah satu salon kecantikan, sementara suaminya bekerja sebagai mandor di peternakan. Sedangkan adik iparnya yang terakhir, Iwan masih bekerja sebagai tenaga administrasi di sekolah swasta.

“Besok di pengajian Ibu mau bikin lontong sayur sama kue basah, Mayang coba kamu catat apa saja bahan yang harus ibu beli di pasar,” Aku yang memang pandai memasak sejak masih gadis, tak kesulitan mencatat bumbu dan bahan yang harus dibeli.

“Acaranya jam empat sore, jadi semua harus siap sebelum jamnya ya, Ibu mau ke tempat Bu Ida dulu nanti Ibu kembali.” Ibu menyerahkan semua belanjaan saat dia sudah pulang dari pasar dan aku mulai mengolahnya berjibaku di dapur.

Mas Didik yang melihatku kerepotan harus mengurus semua masakan sendiri untuk 40 orang di pengajian, membantuku menggelar ambal, menyusun minuman gelas dan melipat tisu. Dan setengah jam sebelum acara, Ibu pun baru pulang dengan santainya.

“Sudah selesai semuanya?” Aku hanya mengangguk.

Badan rasanya lelah sekali. Dia memperhatikan dengan senyum karena semua lontong sayur sudah lengkap, ditambah kue kelepon, bebongko dan tahu isi yang sudah siap di meja prasmanan.

Ia segera menuju kamar mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi yang tak jauh dari dapur. Setelah lima belas menit, dia ke luar dan masuk ke dalam kamar. Tak lama diapun siap menyambut tamu pengajiannya dengan senyum ramahnya. Senyum yang tak pernah ia tunjukkan di hadapanku.

“Ayo Ibu-ibu silahkan diicip-icip rasa masakan saya, gimana enak nggak?” Suara ibu terdengar hingga ke dapur.

Aku dan suami saling berpandangan, kami masih sibuk memotong lontong. Kami berdua Mas Didik stand by menunggu perintah ibu selanjutnya. Sementara ibu berdua dengan Farah menghadap para tamu pengajian.

“Ini enak sekali loh, Bu Sutinah. Diam-diam ternyata Ibu pandai sekali memasak dan bikin kuenya, ini yang berbungkus daun pisang …kue apa namanya.” Terdengar suara Ibu Ida, teman ibu.

“Itu nogosari, biasalah kue orang jawa.” Tapi begitu bungkus dibuka ternyata bukan nogosari. Isinya kue bebongko, seketika wajah Ibu pias karena malu dan ibu pasti lupa bertanya padaku kue apa yang ada dalam daun pisang tadi.

“Loh, nogosari kok warnanya hijau dan rasanya ini seperti kue bebongko, itu loh kue khas Banjarmasin.” Ibu cengegesan mengetahui kue dalam pisang bukanlah sesuai harapannya.

“Iya ini namanya bebongko, Bu. Gimana sih buat kue sendiri tapi lupa namanya.” Ibu tersenyum kecut saat ibu-ibu lain yang justru tahu nama kue yang kubuat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status