Bab 146: Kembali ke Dalam Kasih-Nya
**
Sampai serak suara Johan. Sampai habis nafasnya. Tersengal-sengal dia dibuat tangis dan pilunya sendiri. Bahu dan pundaknya bergerak turun naik dengan cepat seirama dengan isakannya.
Ia terus saja menyurukkan wajahnya di dadaku dan membasahi bajuku dengan airmatanya.
Ia mengeluh, merintih, mengiba dan menumpahkan semua kepedihan di hatinya.
“Aku bahkan tidak sempat melihat Joni untuk yang terakhir kalinya, Faaat..,”
“Aku bahkan tidak sempat melihat jenazahnya dimasukkan peti..,”
“Aku.., aku bahkan tidak sempat melihat dia dimasukkan ke dalam liang kuburnyaaa..,”
“Aku, aku.., Oh Tuhanku.. sudah Kau ambil ayah dan ibuku, sudah Kau ambil juga ayah baptisku.. yang terakhir Kau ambil pula saudaraku..,”
Johan terjatuh di depanku. Saking lemasnya dia kehabisan tenaga hingga tak sanggup lagi berdiri.
Aku mengambil bahunya dan membimbing
Bab 147: Sumbu Kompor**Pagi, pukul delapan, Johan bangun lebih dulu. Dia masuk ke kamar mandi. Tidak langsung mandi, tetapi menggosok dan menyikat lantai kamar mandi yang sudah lumayan lama tidak kami pakai.Aku masih tertidur-tidur ayam di kasur lipatku, meringkuk kedinginan seperti orang demam. Atau, aku memang sedang demam?Entahlah, pastinya semua tubuhku terasa sakit dan sekujur persendianku terasa ngilu.Selang beberapa saat kemudian Johan berdiri di ambang pintu kamarku. Menggunakan handuk dia mengelap-elap rambutnya yang masih basah sehabis mandi.“Hei, The Pooh..!” Panggilnya membangunkan aku.“Bangun, sudah siang. Cepat mandi, biar aku yang bikin sarapan.”Aku bangkit malas-malasan dari kasurku dan berjalan tertatih-tatih ke kamar mandi. Sementara Johan yang selesai berbaju dan bercelana pendek kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Dia sadar kami tidak punya apa-apa. Kami memang b
Bab 148: Tanpa Kata Cinta**Suasana pagi yang ramai di kawasan pusat kota Bandar Baru. Jalan raya dipenuhi aneka macam kendaraan.Sementara itu, di kantor cabang sebuah bank syariah, suasana juga mulai menggeliat dengan kedatangan beberapa nasabah yang bermaksud menyelesaikan kebutuhannya terkait perbankan.Di salah satu meja pada lantai dasar, Leony sedang sibuk berkutak-katik dengan komputernya. Dengan ramah ia mengajukan beberapa pertanyaan kepada seorang nasabah yang keluhannya sedang ia layani, lalu meng-input data-data yang diperlukan itu lewat keyboard yang disambar-sambar oleh kesepuluh jarinya yang lincah.Terhitung sejak resign-nya Leony dari hotel Mustika Bumi, maka sudah empat bulan ia bekerja sebagai customer service di bank syariah itu. Wajahnya yang cerah menyiratkan kegembiraannya dalam menjalani pekerjaan.Kecantikannya yang memang memiliki sedikit kemiripan dengan salah satu aktor di sinetron televisi, sekarang kian tampak
Bab 149: Jangan Lompat-lompat**“Siapa??” Tanyaku terkejut, seraya menegakkan tubuh dan menatap Johan dengan mimikku yang paling serius.“Anggun.” Jawab Johan.“Anggun??”“Iya, Anggun. Nama lengkapnya Anggun Aulia Rasyid. Dia ini adalah pramugari yang dulu pernah merequest lagu padaku dan Joni waktu ngamen di warung Ayam Penyet Solo.”Aku terperangah, jantungku tiba-tiba berdegup lebih kencang.“Kamu ingat, Fat? Dulu, waktu pulang ngamen aku pernah membawa satu porsi ayam bakar komplit. Nah, orang bernama Anggun inilah yang membelikan itu.”“Terus, terus?” Kataku meminta Johan lanjutkan cerita.“Jadi, ternyata, acara kecil-kecilan di pesawat itu, dialah yang punya inisiatif.”Tiba-tiba saja aku merasa terharu, pada bagaimana Anggun memperlakukan Johan saudaraku ini.Anehnya, rasa kesalku padanya dulu, ketika dia menuduhku s
Bab 150: Kunjungan Fathan**Sebuah mobil berjenis MPV warna hitam menelusuri daerah Simpang Tiga di bagian selatan kota Pekanbaru. Membaur di rona malam yang masih muda, bersama aneka kendaraan yang berhenti di lampu merah.Rodanya menggelinding lagi di sepanjang jalan Kaharuddin Nasution. Gerimis tipis menyaput dari langit dan mencipta bias di kaca-kaca spion.Selang beberapa menit mobil itu memasuki jalan Tengku Bey. Hingga tak lama kemudian memasuki kompleks perumahan dan berhenti di depan sebuah rumah dengan catnya yang berwarna hijau muda.Gerimis yang tipis dari langit tadi, berhenti nyaris bersamaan dengan mesin mobil yang dimatikan dan lampunya yang dipadamkan.Seorang lelaki tampan berpostur tinggi dan gagah keluar dari mobil itu, lalu berjalan melewati pagar halaman yang tampaknya memang sengaja dibiarkan terbuka.Tangannya menjinjing kantong belanja kecil terbuat dari karton. Langkah kakinya mantap menjejak untuk kemudian
Bab 151: Bertemu Dalam Mimpi**Anggun mengangkat jari telunjuknya, lalu dengan itu ia membuat gerakan seperti menepuk nyamuk di ujung hidung Leony.“That’s right!” Sahutnya. “Itu juga yang ingin aku crosscheck ke kamu.”“Iya, iya, aku ingat sekarang. Beberapa bulan yang lalu, waktu kita bertemu Ifat di sini, ketika itu aku memperkenalkan kalian berdua, Ifat sendiri yang bilang kalau Johan ini adalah teman satu kontrakan, sehingga saking akrabnya sudah menjadi seperti saudara.” Terang Leony.“Nah, cocok.” Sahut Anggun kian bersemangat.“Waktu itu, Ifat juga yang memberi tahu kita kalau Johan sedang mengikuti audisi di Medan, kan?”“Iya, betul. Tidak terasa ya? Seakan-akan baru kemarin saja.”“Hmm-hmm. Eh, ngomong-ngomong, kamu pernah ketemu dengan Ifat, Leony?”Maka, inilah sesungguhnya muara yang ingin dituju Anggun memancing
Bab 152: Hanya Lelaki Biasa**Kepulangan Idah membawa dampak yang sangat positif bagi Pak Latif sekeluarga. Kehidupan mereka telah kembali seperti semula, dan khusus untuk Pak Latif, radang paru-parunya mengalami kesembuhan.Sekarang ia sudah mulai bisa bekerja lagi, memulung barang-barang bekas sembari menarik gerobak kecilnya. Meskipun rutenya masih belum terlalu jauh.Idah selalu menjenguk aku di rumah. Pagi, siang, sore dan kapan pun dia teringat pada kakaknya.Namun, ada yang sedikit khusus, adalah Bu Latif. Pada waktu yang khusus pula beliau menceritakan padaku akan kekhawatirannya pada diri Idah.Putri sulungnya itu mengalami perubahan sikap, begitu tutur Bu Latif. Idah yang semula periang dan ceria sekarang selalu tampak murung.Dia sering duduk melamun di ayunan ban bekas yang tergantung di dahan belimbing samping rumah.Pada saat-saat yang tenang, aku juga membahas itu bertiga bersama Pak Latif. Sekali lagi aku
Bab 153: Trauma**“Ifat..”Sebuah suara mengejutkan aku, suara yang cukup akrab di telingaku. Meresponnya aku pun berbalik.“Ya, Ni?”“Nih, untuk kamu dan Johan.” Uni Fitri memberiku dua mangkuk soto Padang yang ia letak di atas nampan. Selain kepadaku ia juga memberi soto kepada beberapa tetangga terdekat kami. Dia bilang sebagai ungkapan syukur karena Keysha telah sembuh dari sakitnya.“Mudah-mudahan selalu begini ya, Fat? Tak ada orang yang membakar lahan, tidak ada kebakaran hutan, supaya tak ada asap, supaya Keysha tidak sakit-sakit lagi.” Kata Uni Fitri sebelum berlalu.“Amin.. terima kasih, Ni.” Sahutku.“Iya, sama-sama.”Aku masuk ke dalam rumah. Semangkuk soto untuk Johan aku letak di dapur dan aku tutup dengan tudung saji.Lalu, kunikmati soto pemberian Uni Fitri in
Bab:154 Safira**Hari pun berlalu, satu-satu, menggenapi almanak yang tergantung di dinding yang bisu.Dan sekarang, rumahku semakin terasa sunyi sebab Johan telah berangkat lagi ke Jakarta untuk mengikuti rangkaian acara lanjutan pasca audisi.Dia bilang, ada konser pertunjukan, semacam, apa namanya? Konfigurasi? Inaugurasi? Iya, iya, begitulah kira-kira. Aku tonton saja nanti di televisi.Walaupun hanya berhasil menyabet juara ketiga di Audisi Bintang Indonesia, tetapi suara emas Johan berhasil menarik minat sebuah perusahaan rekaman di Jakarta.Dia juga akan membicarakan masalah kontrak dengan perusahaan rekaman tersebut, yang agendanya menyusul setelah ia menyelesaikan rangkaian acara pasca audisi.Oh, iya. Jika aku tak salah dengar, Johan juga bercerita tentang manajemen artis yang aku masih tidak paham soal itu.Terakhir—yang ini aku yakin tak salah dengar—Johan dan dua finalis lainnya diundang oleh sal