Safira berpikir. “Boleh, tapi kamu nggak bisa terus-terusan nyuapin aku ya. Kalau lagi sibuk kan pastinya bikin makannya jadi lebih lama.”
“Lagian siapa yang mau nyuapin kamu,” Sagara pura-pura cuek. Dia ingin menggoda lagi istrinya.
“Iih. sebel deh. Ya udah. Terserah,” Safira cemberut.
“Maaf deh.. Maaf ya, Sayang,” kata Sagara sambil mengelus-elus rambut istrinya.
“Oke… tenang, besok-besok, pake sendok dan garpunya sepasang. Jadi tetap makan sepiring dan menyuap masing-masing hehe,” lanjut Sagara.
Sepiring nasi pun akhirnya habis.
“Nggak kerasa ya, kok udah abis lagi,” ujar Sagara.
“Kamu masih laper?”
“Enggak ah. Udah kenyang kok...”
“Jangan boong ah… mana mungkin kamu udah kenyang. Dedek bayi di perut juga pasti belum kenyang. Kamu harus makan banyak. Lagian aku juga masih laper,” kata
“Aku … nggak ngapa-ngapain. Cuma betulin selimut kamu aja takut kamu kedinginan,” Safira menjawab terbata-bata saking gugupnya. Tubuhnya mendadak meriang.Duuh, kok jadi meriang begini, ya, pikir Safira.“Jangan pergi! Ayo lanjutkan,” pinta Sagara.“Apaan, sih kamu ini nakal!” Safira memukul tangan Sagara.“Nakalan siapa sama yang diam-diam nyium pas lagi orangnya lagi tidur hayo?”“Iiih… kamu ini,” Safira memukul-mukul dada dan bahu Sagara.Seperti biasa, Sagara mengedipkan sebelah matanya ke arah Safira.“By the way, kenapa kamu tadi kamu kok kayak niat banget ya nyium aku?” tanya Sagara sambil menahan tawanya.Sekali lagi Safira melayangkan pukulan ke arah bisep suaminya.“Puas banget kamu. Puas? Dasar!”“Gimana rasanya, seneng nggak?” Lagi-lagi Sagara mencoba menahan tawanya.&ldqu
“Pa, dia juga sama kayaknya sibuk juga. Dia juga lagi ngejar revisian skripsi.”“Ma, Pa.. makasih banyak ya. Berangkat dulu,” ucap Sagara sambil mencium tangan mertuanya satu per satu.“Assalamualaikum,” ucap Sagara. Dia berlalu meninggalkan mertuanya.Beberapa menit kemudian dari dalam rumah terdengar suara mobil dinyalakan dan melaju keluar dari halaman rumah kediaman Pak Indra.Sementara di dalam kamar, sayangnya di sela kesibukannya merevisi naskah skripsi, Safira malah kepikiran obrolannya tadi dengan Sagara.Kasihan banget Papa dan Mamanya pengen liat foto wisuda dia. Apa masih mungkin ya, dia untuk mendaftarkan diri ikutan wisuda? Safira bertanya sendiri dalam hati.Mungkin, usai sidang, aku kan nanti daftar wisuda. Aku coba tanya-tanya deh, mudah-mudah masih bisa. Kalau bisa bersyukur banget jadi bisa wisuda bareng-bareng.Safira pun kembali fokus menatap layar laptop. Saking f
Berliana menyaksikan Safira yang mematung. Suasana hatinya tak nyaman. Dia merasa yakin, dari tadi kakaknya mendengar percakapannya dengan Benua.Berliana menatap Safira agak lama.“Lian kamu kenapa, kok diam?” tanya Benua.“Kak, nanti ngobrol-ngobrolnya dilanjutin ya,” kata Berliana. “Kami mau berangkat jalan-jalan ke taman nih. Mau refreshing setelah seminggu ini kami disibukkan sama revisian hehe.”“Oke… kamu bilang kami. Berarti kakakmu mau sidang juga?”“Iya, Kak. Kita barengan.”Benua tampak berpikir lagi.“Oh, oke. Selamat berjuang ya. Semoga kamu dan kakakmu dilancarkan.”“Amiin. Makasih ya, Kak.”“Salam buat Fira.”“Oke, Kak. Nanti aku sampaikan. Pamit ya, Kak. Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam warahmatullah.”Percakapan keduanya pun berakhir.
Safira bertanya seperti itu karena masih penasaran karena tadi dia tidak mendengar atau melihat Mamanya ngobrol dengan Papanya di telepon.Kalau saja mama tidak ingat putrinya sedang hamil, dia ingin sekali memarahinya. Tadi kamu ke mana aja sih? Masa nggak denger obrolan Mama dan Papa di telp. Hari ini kamu benar-benar aneh, Mama hanya bisa menggerutu dalam hati.Setelah mereka sampai rumah, Mama segera ke kamar mencari suaminya. Rupanya suaminya sedang berbaring dengan tertutup selimut.Safira dan Berliana pun ikut masuk.“Badanmu sangat panas, Pa,” kata sang istri setelah memegang kening dan tangan suaminya.“Iya, meriang, Ma,” kata Papa pelan“Lian tolong ambilkan termometer ya..” pinta Mama.Berliana pun segera mengambil termometer di kotak P3K.“Sini aku yang pasang,” kata Safira.Kemudian Safira memasangkannya di ketiak ayahnya.Beberapa saat , S
“Kamu jangan naif. Dia itu istriku. Aku sangat mencintai dia. Dan kamu ini siapa?” Sagara menatap Granita dengan murka.Safira, Sagara, dan Berliana segera masuk lift. Granita masih mencoba mengejar.“Ara, tunggu...” Granita mau masuk lift, sayangnya pintunya sudah tertutup.“Kenapa sih dia kok gitu amat ya, Kak?” tanya Berliana pada Sagara.“Dia emang aneh. Otaknya udah eror kali,” Sagara menjawab sekenanya. Suasana hatinya masih diliputi kekesalan.“Aneh itu orang. Masa aku dibilang pelakor,” ucap Safira sambil cemberut.“Udah, Yang. Nggak usah diambil hati. Rugi kita yang normal terpengaruh sama pikiran eror orang nggak normal macam begitu,” kata Sagara sambil tersenyum dan merangkul pundak istrinya.“Aku heran aja sama dia. Masa orang kamu dan dia nggak nikah ka? Masa aku dibilang pelakor. Okelah kalau kamu dan dia memang punya masa lalu. A
“Lumayan, Pa,” jawab Safira mencoba tenang.“Di sini rasanya pengap. Pengen udara segar. Ini masih lama nggak, kapan nyampenya?” Safira melirik Sagara.“Padahal AC-nya nyala ya,” ujar Safira.“Enggak tau tetep pengap. Tetap beda,” ujar Safira.“Sabar ya, Yang. Bentar lagi.”Safira mengeluarkan aromaterapi citrus dari tasnya dan menghirupnya.Safira mencoba menyandarkan kepalanya ke jok belakang. Dia mencoba tenang dengan kondisi yang dirasakannya.Akhirnya, waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Mobil masuk ke area sebuah restoran padang. Sagara segera turun dan membukakan pintu untuk Safira.“Alhamdulillah, nyampe nih,” Sagara memberikan tangannya sebagai pegangan kepada Safira agar ia bisa turun dengan lancar.Safira pun meraih tangan Sagara.“Makasih.”Sagara menuntun istrinya dengan pelan masuk ke dalam restoran.
“Sembarangan,” ucap Safira sambil melepaskan pelukan suami.Sagara menarik tubuh istrinya ke dalam pelukannya. Pipi Safira kini bersentuhan dengan dada suaminya. Sagara mengelus-ngelus lembut kepada istrinya yang masih mengenakan kerudung.“Kalau aku bantu buka kerudungmu boleh?”Sebenarnya Safira merasakan kehangatan dan kenyamanan saat berada di pelukan Sagara. Namun dia berusaha menghindar.Aku nggak boleh terbuai, kata hati Safira.“Enggak,” jawab Safira ketus.Safira pun segera melangkah masuk ke kamar mandi, namun tangannya langkah tertahan, tangannya ditarik ke pelukan Sagara.“Lepaskan, apa-apaan sih? Aku mau ganti baju dulu,” ungkap Safira, ketus.“Oke, aku lepas,” kata Sagara. “Nanti kita bisa tidur bareng kan?”“Jangan harap!” kata Safira sambil menutup kamar mandi. Setelah kamar mandi terkunci, dia dengan leluasa mengganti pak
“Aku mau keluar dulu. Kayaknya sore-sore begini di luar seger,” ucap Safira.“Kamu biarin aku sendirian ya, Yang?”“Kalau ada aku, kamu nggak bisa istirahat.”“Enggak, aku pengen ditemani kamu, Yang,” ucap Sagara masih belum melepaskan tangan istrinya.“Oke, kalau gitu. Aku temani, kamu.”Safira kembali duduk.“Nah gini, dong. Aku seneng banget, bisa deket-deketan sama istriku tercinta,” ucap Sagara sambil mengelus-ngelus tangan istrinya.Safira pun mendekat ke arah kepala suaminya. Dia mengusap-usap kepala suaminya.“Maafin aku ya, Yang. Aku sudah zalim sama kamu,” ucap Safira dengan tulus. Air matanya berderai. Dia pun mengecup kening suaminya yang masih terasa panas. Air matanya sebagai tumpah ke wajah suaminya.“Nggak usah minta maaf. Justru akulah yang harusnya minta maaf. Dosaku padamu sangat banyak. Mudah-mudaha