Keesokan harinya, Alina dan Zayyad benar-benar melakukan perjalanan yang melelahkan. Tapi semua terbayar ketika melihat tempat bulan madu yang sudah Irsyad dan Erina siapkan untuk mereka.
Itu berada di sebuah pulau yang terasing dari dunia perkotaan yang menjemukan. Mengambil penginapan di sebuah hotel sederhana dengan desain eksterior yang cukup estetik. Menggabungkan tiga komponen yang terdiri dari kayu, alam dan pantai. Membentuk kesan tempat tinggal asri yang jauh dari hal-hal duniawi.
Bangunan itu terdiri dari dua lantai yang masing-masing lantai hanya memiliki empat kamar. Itu adalah sebuah konsep kesengajaan untuk membentuk citra perhotelan yang terasing, sunyi dan tentram. Konsep jenius yang berhasil mengundang banyak pasangan datang berbulan madu— terutama dikalangan konglomerat, pesohor, dan mereka yang hanya menginginkan tempat tertutup dan jauh dari orang-orang.
Hotel itu akan menjadi destinasi terbaik.
Tidak mudah memesa
Alina mengangguk, matanya tersenyum membalas keramahtamahan staf wanita itu. Sedang Zayyad terus menempel di samping Alina, benar-benar seperti anak ayam yang mencari perlindungan induknya. Kemudian staf wanita itu membungkuk sopan, permisi untuk pergi.Alina dan Zayyad berjalan masuk kedalam kamar. Mendapati kamar itu ternyata cukup sederhana, jauh dari ekspektasi kemewahan yang disediakan hotel bintang lima pada umumnya. Ada sebuah ranjang besar yang terbuat dari kayu cendana, membuat kamar tidur didominasi dengan aroma cendana yang merilekskan. Ranjang itu menggunakan seprai putih, membuatnya berkolaborasi menawan dengan dinding kayu kamar yang berlapiskan cat minyak kehitaman.Alina mengira di atas ranjang putih itu akan berserakan kelopak mawar merah berbentuk hati dengan sepasang angsa putih yang dibentuk dari selimut. Tapi itu tidak sama sekali. Hanya ada satu bantal panjang—"A-apa? Kenapa hanya ada satu bantal di sini?" Alina berjalan mendat
Alina ingat, kali pertama dan terakhir kali ia pernah datang ke pantai, itu pada saat umurnya sepuluh tahun. Tidak ada yang membahagiakan saat itu. Ia datang bersama ibu, ayah tirinya dan tak lupa dengan si istri muda yang kala itu tengah hamil besar. Alina ingat, waktu itu ia sangat ingin bermain-main di pantai seperti keluarga kecil lainnya yang datang untuk menghapus rasa penat.Tapi melihat mata sendu ibunya yang cemburu tak berdaya melihat kebersamaan suami keduanya dengan istri muda, rasa senang di mata Alina saat itu seketika padam. Walau ibunya datang padanya, mengajaknya bermain. Tapi Alina tidak bisa senang. Karena kala itu Alina berpikir, 'Bagaimana aku bisa senang melihat ibu yang memaksakan senyum bahagia...tapi sebenarnya tidak'"Kau melamun atau merenungi pantai?"Pertanyaan Zayyad mengejutkan Alina. Kilasan masa lalu yang suram lenyap begitu saja dari minda nya, "Entahlah.. mungkin dua-duanya"Alina melepaskan kedua sendalnya dan membiarka
"Tolong espresso dingin satu" Pesan Alina pada seorang pegawai wanita yang bertugas menjaga kedai minuman. Tampilannya terlihat segar dengan rambut kunciran kuda tinggi ke atas . Ia tampak cukup menarik dengan seragam kuning cerah yang senada dengan warna mobil yang mereka gunakan sebagai tempat jualan. "Baik sebentar!" Wanita itu tersenyum cantik dan pergi mengambil cup menyiapkan pesanan. Sembari menunggu, Alina menoleh ke depan. Melihat Zayyad yang berdiri tepat di bawah pohon kelapa menunggunya. Zayyad menolak untuk ikut kemari karena penjaga kedai merupakan seorang wanita. Alina memperhatikan, sesekali angin pantai menerpa menghancurkan tatanan rambut hitam Zayyad hingga terlihat acak. Diam-diam Alina tersenyum, detik itu dimatanya, Zayyad tampak segar dan menawan. "Yang di sana suami anda bu?" Pertanyaannya itu sedikit mengejutkan Alina dan langsung berpaling, "Ah, ya" "Anda sungguh dianugerahi banyak keberuntungan. Anda cantik dan
Zayyad tidak mengira, Alina akan begitu licik sampai menjepit hidungnya. Itu membuat Zayyad kesulitan bernafas dan tidak punya pilihan, selain membuka mulutnya. Detik itu Zayyad dapat merasakan bibir kecil Alina terbuka, menyalurkan rasa pahit dari espresso yang sudah tidak lagi dingin ke mulutnya. Rasa pahit itu membuat mata Zayyad mengerut. Tapi bibir kecil Alina yang mendominasi mulutnya, membuat daun telinga Zayyad memerah malu. Alina menarik bibirnya menjauh dari bibir Zayyad. Mata hitamnya tersenyum puas, "Bagaimana rasanya?" Saat itu wajah Alina berjarak hanya sejengkal dengan wajah Zayyad yang berada tepat dibawahnya. "P-pahit!" Zayyad mengalihkan tatapannya kebawah, posisi itu benar-benar membuatnya rumit. Alina masih tidak bangun, membiarkan dirinya berada di atas tubuh Zayyad dengan kedua tangan bertopang di atas pasir. Mata Alina terus menatap kebawah, fokus memperhatikan lekuk wajah tampan Zayyad yang tampak memerah malu karena perbuatannya tadi.
Malam harinya Alina dan Zayyad pergi ke restoran hotel untuk makan malam. Sekali lagi, hotel ini sama sekali tidak mengambil konsep kelas atas atau menengah. Bagian dalam dan luar di desain dengan tampilan sederhana. Tak lupa dengan konsep sentuhan permai dan asri.Restorannya berada di luar bangunan hotel. Di bangun dengan bahan dasar kayu dan beratapkan daun kelapa yang dikeringkan. Sekilas tampak seperti gubuk dengan sentuhan berkelas. Posisinya yang berdekatan dengan pantai, membuat siapapun yang makan di sana dapat merasakan simpang siur angin laut yang menyejukkan."Pakai syal mu!" Zayyad melilitkan syal merah marun di leher Alina yang sudah tertutupi pasmina putih bermotifkan bunga-bunga sakura kecil. Malam itu Alina tampil modis dalam balutan blus merah muda berpadu celana kulot putih."Aku tidak merasa dingin.." Di luar memang dingin, tapi Alina tidak sampai merasa kedinginan. Menurutnya Zayyad terlalu berlebihan dalam memperlakukannya. Itu nyaris seper
Sepanjang jalan kembali ke kamar, Alina tidak berhenti tertawa membayangkan penampilan Cavell di restoran tadi yang menurutnya sangat memprihatinkan. Berdiri diam tak berkutik ditempat dengan wajah dingin menahan amarah, itu sungguh menggelitik perut Alina untuk tertawa keras. Tapi demi menyakinkan permainan, Alina menahan diri agar tidak tergelak saat itu."Akting mu semakin bagus saja!" Alina dengan murah hati memuji kesuksesan akting Zayyad.Mereka sudah tiba didepan kamar. Zayyad bergegas pergi membuka pintu dengan kunci ditangannya."Sejauh ini aku cukup belajar banyak darimu.." Zayyad mendorong pintu dan mempersilahkan Alina masuk lebih dulu."Ah, kau memang pembelajar yang cepat!" Alina mengacungkan dua jempol kearah Zayyad, lalu melempar tubuhnya keatas ranjang yang empuk. Serat seprai putih yang menyentuh kulitnya, itu benar-benar halus dan lembut. Belum lagi dengan aroma cendana yang mendominasi kamar, benar-benar merilekskan."Tapi, dari
Alina tidak menduga Zayyad akan datang dengan pertanyaan apakah ia sudah mengeringkan rambutnya. Alina menatap ke bawah, memperhatikan beberapa helai rambutnya yang tergerai itu masih meneteskan air. Di sini tidak ada hair dryer dan Alina terlalu malas mengeringkannya dengan handuk. Itu cukup membuang waktu dan tangannya menjadi lelah karena menggosok. "Tidak, aku hanya mengelapnya sedikit. Nanti juga bakal kering sendiri.." Zayyad berjalan kearah sofa hitam yang terletak di dekat jendela kamar. Alina yang duduk di tepi ranjang, diam-diam memperhatikan wajah Zayyad. Alina mendapati itu datar tanpa ekspresi, terkesan tidak memiliki sentuhan emosi. Bibir coklat keunguannya yang tertutup rapat, membuatnya seperti tidak ingin berbicara banyak. Secara keseluruhan, sikap Zayyad itu membuat atmosfer kamar terasa tegang tak bersahabat. Alina mendesah pelan. Melihat Zayyad yang sudah duduk di sofa, Alina berpikir Zayyad mungkin masih marah dan memilih untuk tidur di s
Jendela kamar dibuka dan segerombolan angin pantai di awal pagi yang cerah, menerobos masuk kedalam. Tiupannya yang kencang, tampak bersemangat menampar tirai putih jendela yang belum di singkap. Kedua pintu balkon ditarik dan suasana mentari pagi yang hangat menyusup masuk mendominasi ruangan.Alina yang masih tertidur pulas di atas bantalan yang empuk, perlahan terjaga dari lautan mimpi yang menyenangkan. Merentangkan kedua tangannya keatas, Alina membuka separuh mulutnya menguap. Tampak secercah sinar keemasan yang hangat, mendarat di kedua lengan telanjangnya yang putih bersih.Alina menurunkan tangannya ke bawah tepat di atas selimut yang masih menutupi separuh badannya. Mata khas baru tidurnya yang sayu tanpa sengaja menatap kearah pintu balkon yang terbuka. Di sana Alina melihat...Seorang pria berdiri bersandar di pegangan balkon. Punggungnya tampak menawan dibalik jubah tidur biru gelap yang sesekali tampak berkibar tertiup angin. Tampak rambut hi