Alina yang mengalungkan tangannya di leher Zayyad, menatap mata coklatnya dengan api gairah yang berkobar-kobar. Tampak bibirnya yang merah lembab karena ciuman panas mereka beberapa saat lalu terbuka mengatakan, "Kita adalah sepasang suami-istri, kenapa tidak?"
"Alina tapi kita—emhp"
Alina terus berjinjit, memotong ucapan Zayyad dengan menyedot habis bibirnya kedalam mulut kecilnya. Ciuman yang sangat ambisius itu memancing api dalam tubuh Zayyad kembali berkobar. Alhasil, akal sehat dua orang itu benar-benar lenyap sudah tergantikan dengan gelora hasrat dan haus.
Ciuman panas itu perlahan berubah menjadi perang bibir karena Alina tampak begitu agresif menarik Zayyad dalam setiap gerakannya yang cepat dan menggebu. Langkah kaki mereka tampak beradu, berputar-putar hingga menabrak sisi ranjang.
Bruk!
Keduanya jatuh memukul ranjang putih yang empuk. Masih dengan pergulatan bibir yang terus berlanjut, Alina yang berada di atas Zayyad dengan tid
Erina melangkah ke dapur, menemukan Irsyad yang tampak sibuk dengan peralatan makan. Dua gelas susu vanilla hangat sudah di siapkan bersama dua piring omelette yang baru saja di angkat dari teflon. Tepat ketika Irsyad berputar kebelakang membawa semua itu ke meja, "Kau sudah bangun?" Irsyad dikejutkan dengan keberadaan Erina yang berdiri dibelakangnya sambil menyilang kan tangan di dada. Wajah pucat itu mengulas senyum tipis, "Baru saja" Tampak sorot mata tua itu menyipit, melepas senyum kecil yang menggambarkan khas orang baru bangun tidur. Mendapati itu, kedua sudut bibir Irsyad tersenyum manis menanggapi, "Ayo sarapan!" Irsyad berjalan ke ruang makan. Menata dua gelas susu vanilla di atas meja beserta dua piring omelette hangat yang menguarkan aroma lezat telur ke udara. Erina melangkah pelan mendatangi kursi, mendapati itu Irsyad dengan cepat menarik benda kayu itu untuk mempersilahkan Erina duduk. "Terimakasih.." Erina mengulum senyum kecil di bi
"Pagi!" Jawab Zayyad malas. Mulutnya separuh terbuka, menguap pelan. Masih ada sisa kantuk di kelopak matanya yang pelan terangkat dan pupil nya yang sayup-sayup menangkap objek cantik yang duduk manis di tepi ranjang. Itu tak lain adalah Alina yang duduk bertopang dagu, memasang senyum lebar memandangnya.Zayyad mengangkat separuh punggungnya, berniat untuk bersandar di kepala ranjang. Namun Zayyad terkejut, mendapati tubuhnya yang di bawah selimut itu tak ada sehelai kain pun yang melekat di sana. Zayyad dapat merasakan seluruh tubuhnya yang terasa pegal dan sakit. Tepat ketika Zayyad menundukkan kepalanya, ia melihat bagian atas tubuhnya sudah penuh dengan ruam-ruam merah.Seketika hal gila semalam terlintas di otaknya bagai film yang diputar ulang.Blush!Wajah Zayyad memerah hingga ke daun telinga. Cepat Zayyad menyembunyikan tubuhnya dengan menenggelamkan dirinya di bawah selimut.Alina menahan rapat bibirnya agar tidak tertawa. Sungguh lucu
Ya. Hanya sesederhana itu. Cinta. Cinta punya kuasa besar mengubah dunia yang menakutkan menjadi suatu yang menakjubkan. Itulah kenapa bayi kecil yang awalnya menangis, muncul dengan tawa kecil kala berada dalam gendongan penuh kasih sang ibu. Cinta membawa rasa bahagia yang sederhana, dimana ketika kau melihat sahabat mu tertawa dan kau ikut tertawa dengannya. Cinta membentuk kepercayaan, membuat kau berpikir— dia tidak akan pernah mengkhianati mu. Cinta juga memunculkan rasa aman, itulah kenapa anak kucing selalu mengitari kemana induknya pergi. Begitulah cinta... "Karena aku mencintaimu?" Zayyad bersuara pelan, matanya menatap tepat ke mata hitam Alina yang begitu dekat dalam jangkauannya. "Ya" Alina perlahan mendekatkan hidungnya ke hidung mancung Zayyad, mata hitamnya tak lepas dari menatap mata coklat Zayyad yang bening, "Zayyad.." "Em.." Tampak bulu mata Zayyad bergetar gugup. Mendapati uung hidung mereka bertemu d
Pada malam harinya Alina dan Zayyad sudah berada di vila dan kembali menikmati makan malam yang hangat bersama nenek dan kakeknya Zayyad. Makanan yang terhidang di atas meja cukup banyak dan bervariasi. Di antaranya ada berbagai macam olahan sayuran hijau, telur sambal yang dari sekali pandang Alina tau itu buatan neneknya dan ikan bakar yang sepertinya hasil pesanan."Wah, ada ikan bakar.." Alina mengangkat tangan, bersiap menarik sepiring ikan bakar mendekat. Tapi tidak menduga sebuah tangan tua yang keriput datang menahan."Alin..selama beberapa bulan ke depan tidak boleh mengkonsumsi ikan sembarangan. Jadi Alin makan telur saja ya.." Erina langsung menarik sepiring ikan bakar itu dan menyerahkannya kepada Irsyad.Alina melongo, "Kenapa begitu nek?"Zayyad yang mendengar hal itu ter-ikut bingung, tangannya yang baru saja hendak mengambil sepiring ikan bakar langsung juga di cegah oleh Erina, "Itu juga berlaku untuk Zayyad..."Segera Alina dan Za
Alina meremas kepalanya dengan perasaan tertekan. Bagaimana bisa ia melupakan hal sepenting itu. Zayyad yang melihat ekspresi meresahkan di wajah Alina tau jelas kalau wanita itu khawatir, "Kita hanya melakukannya sekali. Memangnya apa bakal langsung bekerja?""Bukannya tidak mungkin kan?" Jawab Alina, terlihat frustasi."Tapi jika mengkonsumsinya sekarang bukankah sudah sangat terlambat?""Tidak ada salahnya untuk jaga-jaga" Alina meloncat turun ke lantai, " Cepat cuci piringnya ya! Aku siap-siap sekarang..."Alina dengan langkah cepat berlari pergi meninggalkan dapur. Erina yang diam-diam menguping percakapan keduanya, cukup terkejut, segera bersandar jauh ke dinding. Erina menghela nafas lega karena Alina tidak memergokinya."Ternyata rencana itu berhasil.." Mata Erina terus berkaca-kaca, tidak akan mengira rencananya dan Irsyad berhasil. Hotel'Pulau Cinta' itu sungguh suatu keberuntungan besar.Alina yang sudah berada di kamar, den
Keesokan harinya, Alina sudah tampil rapi dalam balutan blus bewarna peach yang dipadukan dengan kulot putih. Perpaduan dua warna itu memberi sentuhan muda dan segar. Ketika Alina melilitkan kepalanya dengan pasmina bewarna abu rokok, itu membuatnya terlihat manis. Alina menuntaskan penampilan sempurnanya pagi itu dengan polesan lipstik orange peach, "Perfect!" Alina tersenyum bangga, memperhatikan pantulan wajah cantiknya di cermin.Meraih tas tangan warna putih, Alina langsung menyampirkannya di bahu. Berjalan turun ke bawah, ruang tamu terlihat lengang. Terdengar derap langkah sibuk dari ruang makan yang tak lain adalah Zayyad yang tengah menata makanan di atas meja."Di mana nenekku dan kakek mu?" Alina pergi berdiri bersandar di sudut meja. Memperhatikan kedua tangan Zayyad yang sibuk menata tata letak piring dan gelas di meja."Mereka berdua lari pagi" Zayyad selesai menata makanan di meja. Semangkuk bubur untuk Erina dan sepiring roti bakar keju unt
Sebulan berlalu sudah dan Alina mendapatkan gaji pertamanya. Itu gaji yang dua kali lipat lebih besar dari tempat mengajarnya dulu di kota Z. Walau begitu, Alina masih merasa tidak nyaman dengan sekolah tempat mengajarnya yang sekarang. Itu karena ia harus berhadapan dengan murid berjenis kelamin laki-laki.Alina sudah berusaha keras untuk mengendalikan rasa benci dan menahan diri untuk tidak mendiskriminasi. Hanya saja, Alina seringkali gagal melakukannya.Tepat pukul dua siang, Tina sudah datang menjemputnya pulang. Alina masuk kedalam mobil, duduk bersandar dan menghela nafas penat. Matanya melihat ke depan, memperhatikan Tina yang mulai menyalakan mesin mobil, "Kita tidak pulang dulu ke vila...""Lalu kita akan kemana Bu?""Ke suatu tempat.."Ya, ke sesuatu tempat yang sudah lama Alina tidak datangi.Tina melirik sekilas ke spion depan, menangkap Alina yang duduk termenung di belakang seperti memikirkan sesuatu, "Baik Bu, silahkan berita
Raut wajah kebingungan Zayyad masih terngiang jelas di otaknya. Itu membuat Alina terdiam, memutar otaknya dan berpikir...Alina berpikir keras apa masalahnya? karena ia sangat jarang masuk angin. Setiap hari ia selalu memiliki jadwal makan yang teratur dan pastinya sehat karena Zayyad benar-benar mengaturnya dengan baik. Hingga terbersit kemungkinan terakhir yang mendadak membuat dunia Alina seakan berhenti berputar."Tidak mungkin" Memikirkan itu, Alina nyaris saja jatuh seakan kehilangan tempatnya berpijak. Pergi keluar kamar mandi, Alina berjalan lemah mendatangi ibunya. Pelan Alina mendekat, mendaratkan sebuah kecupan lembut di kening ibunya, "Bu, Alin pulang dulu ya"Alina pun bergegas pergi meninggalkan rumah sakit dengan perasaan kacau. Berjalan kaki di sepanjang jalan yang sepi, Alina terus memperhatikan kalender di layar ponsel. Berkali-kali Alina menggelengkan kepalanya mendapati fakta bahwa ia sudah terlambat sepuluh hari, "Ini tidak