"K—kamu nyerah, Mas? Nyerah sama hubungan kita?" Suara Mbak Linda terdengar bergetar. Aku buru-buru menggandeng tangan Rea. Kami mendesak masuk ke dalam rumah. "Iya, Lin. Aku nyerah. Udah berusaha bertahan, cukup. Aku gak bisa lagi.""Kakak gak bisa kayak gitu, dong. Kenapa gak bisa bertahan?" Aku menatap Kak Anton. Sejenak, kami semua diam. Apalagi melihat ada Rea. "Kak?" Aku menyuruh Rea masuk ke dalam kamarku yang ada di sini. Kak Anton terduduk. Pandangannya tampak kosong, seperti telah berbuat kesalahan besar. Aku menoleh ke Mbak Linda yang ikut duduk di lantai. Beberapa detik, dia terisak. Jujur. Berada di posisi ini sulit. Aku jongkok, menatap Mbak Linda. Berapa tahun mereka menikah, harus menyerah sekarang. Semuanya karena Mama. Gemetar tanganku mengambil ponsel, diam-diam merekam semuanya. "Capek aku berusaha mempertahankan rumah tangga ini. Gak berhenti buat membangun semuanya. Lalu sekarang? Benar-benar tahun yang sia-sia."Mbak Linda memukul lantai. Wajahnya tamp
"Pak, ini maksudnya gimana, ya? Maaf, saya belum paham."Aku menelan ludah, meremas amplop putih itu. Bisa bahaya, apalagi sedang gawat sekali sekarang. Apa reaksi Kak Anton melihat kertas ini? Apakah dia juga sama terkejutnya sepertiku? Atau biasa-biasa saja. "Karena kinerja yang benar-benar menurun sampai merugikan perusahaan. Bahkan, kantor cabang di Semarang goyang gara-gara kakak ipar kamu."Separah itukah? Aku mengusap wajah mendengarnya. "Saya udah berusaha kasih keringanan. Biar Anton memperbaiki kinerjanya. Tapi percuma. Jangankan memperbaiki, dia saja tidak memenuhi panggilan saya."Aku menatap amplop di tangan. "Apakah tidak ada keringanan lagi, Pak? Saya mohon, Pak. Keluarga saya lagi banyak masalah.""Itu udah paling ringan. Untung kakak kamu gak dimasukin ke penjara."Astaga. Itu lebih parah."Maaf, ya. Saya harus mengikuti peraturan dari kantor. Meskipun kamu adalah karyawan kebanggaan da paling profesional, tapi maaf. Saya gak bisa bantu kamu."Baiklah. Dari pada a
"Abang tahu apa?" tanyaku hati-hati."Tahu banyak. Soal kamu yang mulai mendekati Weni lagi, semuanya. Saya tahu soal itu. Dan kamu berniat untuk kembali dengan Weni, bukan?"Astaga. Aku menelan ludah, Bang Wira bisa tahu begitu dari mana?Jangan-jangan, Weni sudah memberitahukan semuanya pada Bang Wira. Ah, ini kurang tepat. "Kenapa diam?" tanya Bang Wira galak. "Iya, Bang. Saya berniat kembali dengan Weni dan saya butuh restu dari Abang kembali."Terdengar tawa. Bang Wira menggelengkan kepala, seolah tidak percaya dengan apa yang aku katakan tadi. "Kamu tidak salah? Mencari mati atau bagaimana?"Eh? Enak saja. Aku memalingkan wajah, sedikit kesal dengan pertanyaan Bang Wira. "Apa yang sudah kamu persiapkan untuk kembali membujuk saya?"Aduh, pertanyaan yang rumit. Aku menatap ke arah lain, sedang mempersiapkan untuk menjawab pertanyaan Abangnya Weni. Tanganku merogoh kantong celana, mengambil kunci mobil yang sudah aku persiapkan untuk Weni dan kunci rumah. Bang Wira menatapku
"Surat perjanjian?" tanya Bang Wira sambil mengambil surat yang aku sodorkan.Weni menatapku. Dia terlihat sekali tidak percaya."Coba kamu baca, Wen." Bang Wira akhirnya menyerahkan kertas itu setelah membacanya."Ada ide apa kamu buat surat itu?""Biar saya bisa menepati janji saya sendiri, Bang."Bang Wira mengangguk-anggukkan kepala. Dia mengerti apa yang barusan aku katakan.Weni membaca hampir sepuluh menit. Aku menatapnya, berharap tidak ada kesalahan yang ditulis oleh Dino tadi."Gimana, Wen?""Weni setuju, Bang."Yes! Aku mengepalkan jemari."Kapan sidang kedua kalian?""Lusa, Bang." Aku yang menjawab. Weni diam saja, dia saja tadi takut-takut menjawab pertanyaan Bang Wira."Temui Abang besok di kantor. Siang hari. Ayo kita pulang, Weni."Aku melongo mendengarnya. Menemui Bang Wira di kantornya? Dia mau ngapain?Mau mempermalukanku begitu? Astaga, aku tidak mau kalau begitu.Namun, saat hendak bicara, Bang Wira sudah keluar dari rumah makan. Aku menepuk dahi. Jangan sampai ap
"Kok bisa, Ndre?" Mbak Linda menghampiriku. Di belakangnya ada Kak Anton juga. "Gak tau juga, Mbak. Mama tiba-tiba pingsan."Padahal, aku penyebabnya. Sebenarnya, ini bukan sepenuhnya salahku. Mama yang memaksaku. Bagaimana tidak, masa aku harus selalu mengikuti kata-kata Mama. Memangnya, aku ini boneka? Aku capek menghadapi Mama sendirian. "Masalah Weni?" tanya Mbak Linda sambil menepuk pundakku. Aku tersenyum tipis. Tidak menggeleng, juga mengangguk. Mbak Linda melirik Ayna yang berdiri di sebelahku. "Siapa?" bisiknya sambil melirik Ayna kembali. "Mama mau menikahiku dengan wanita itu, Mbak.""Oh." Mbak Linda menganggukkan kepala. "Ehm." Beberapa detik setelahnya, Mbak Linda berdeham cukup keras, membuat kami menoleh semua. "Istri kamu udah nunggu kayaknya, Ndre. Pulang aja. Biar Mbak sama Kak Anton yang nunggu."Mendengar itu, aku mengernyit. Bagaimana ceritanya Weni menungguku?"Ayo." Mbak Linda melotot, menyuruhku mengikutinya. "Jaga Mama sebentar, Mas," kata Mbak Linda
"Gimana? Udah selesai urusan sama si Wira?" tanya Mbak Linda saat aku sedang mengendarai mobil. "Udah. Besok, aku dan Weni bakalan kumpul kembali, Mbak. Sama anak-anak."Ah, senang sekali rasanya. "Bagus. Mbak suka sama cara kamu sekarang. Lebih tegas. Jangan sampai berbuat kesalahan lagi. Ingat.""Pasti, Mbak."Aku melirik Rea. Dia sejak tadi terlihat gembira. Untung sekarang sedang libur panjang, aku bisa mengajak Rea kemana saja. "Nanti malam, aku mau ambil barang-barangnya Weni, Mbak. Mau ikut, gak?" "Boleh. Jemput aja nanti.""Oke. Makasih, Mbak."Sepanjang perjalanan, aku tersenyum. Masalah ini akan selesai baik-baik. Kami sampai di rumah. Aku sudah menyiapkan pembantu dan babysitter untuk membantu Weni di rumah. "Papa ke tempat kerja dulu, ya, Sayang." Aku mencium kening Rea. "Kapan kita jemput Mama, Pa?" tanya Rea sedikit sedih. Aku tersenyum, mencubit pipinya pelan. "Besok. Nanti malam, kita ke rumah Mama. Sekalian beli es krim.""Asik. Makasih, Papa." Rea memelukku s
"Cie. Udah kayak pengantin baru."Weni buru-buru melepaskan pegangan kami, ketika suara Mbak Linda terdengar. "Apaan, sih, Mbak." Aku melotot ke Mbak Linda. "Kalau ada masalah, bicarain berdua. Kalian itu udah cocok, jangan sampai Mbak dengar ada masalah lagi."Aku tersenyum, mengusap leher. "Iya, Mbak."Hampir dua jam aku di sini. Membantu memindahkan barang-barang. Lelah juga rasanya. Aku meregangkan tubuh. Sebenarnya, ini masih pukul sembilan malam, tapi sudah pegal-pegal. "Kak Anton jadinya kerja di mana?" tanyaku sambil melirik Kak Anton yang baru saja duduk. Dia sejak tadi sibuk di dalam. "Ya, mulai dari awal lagi. Karyawan. Gak kayak kamu yang udah naik pangkat.""Apaan, sih, Kak. Kalau Kakak mau, aku bisa bantuin masukin Kakak lagi ke kantor.""Serius, Ndre?" tanya Kak Anton. Aku tahu, masih ada harapan di mata Kak Anton. Dia ingin sekali kembali bekerja di perusahaan, tapi tidak bisa juga. "Serius, Kak. Bos gak bakalan marahin. Buat Kakak apa, sih, yang enggak?"Kami d
"Hah? Serius, Mbak?" tanyaku sedikit terkejut. "Masa Mbak bercanda. Ayo cepetan, putar balik."Aku mengangguk, berputar balik. Sepanjang perjalanan, aku sering sekali melirik Weni yang sibuk dengan bayi kami. Sebenarnya, aku takut kalau Weni tidak enak datang ke rumah sakit bertemu dengan Mama. Sampai di rumah sakit, aku memarkirkan mobil. Mbak Linda langsung turun. Sedangkan Weni masih diam di tempatnya. "Kamu tunggu di mobil aja, ya. Takutnya malah gak mau ketemu sama Mama. Aku gak bakalan maksa kamu, kok."Aku mengusap kepala bayiku. "Adek sama Mama di mobil, ya. Papa keluar sebentar."Baru setelah itu, aku keluar dari mobil. Melangkah masuk ke dalam rumah sakit. "Mas."Eh? Aku menoleh. Menatap Weni. Dia ikut keluar dari mobil. Ada apa?"Aku ikut."Serius? Apakah semuanya akan baik-baik saja, kalau Weni ikut masuk ke dalam? Ah, aku tidak yakin. "Janji, deh. Aku gak bakalan buat aneh-aneh. Aku cuma mau lihat kondisi Mama kamu. Itu aja."Buka itu yang aku takutkan. Aku takut, M