Cecil dan Cia, kedapatan tengah asik mengobrol. Sementara Devan sendiri fokus mencari kontak Zaki di ponsel Cecilia.Sembari melirik Devan yang terlibat serius, Cecil bertanya. "Dah ketemu belom? Gitu aja lama." Ejek Cecil padanya.Tanpa menggubris, Devan hanya memutar bola mata malas. Lalu menyerahkan ponsel itu pada Cecil. "Bantuin kek. Yang punya ponsel siapa?"Cecil mendengkus, menyahut ponselnya kasar. Dilihatnya Cecil sedang mengetikkan sesuatu di sana.Setelah menemukan hasil, Cecil kembali menyerahkan ponselnya pada Devan. "Nih!""Terima kasih." Devan meringis dan menerima ponselnya. Tanpa berlama-lama, dia langsung menekan tombol dial dan menempelkannya di dekat telinga.Beberapa saat, sambungan terhubung.Suara dari seberang telepon, terdengar cukup nyaring. Devan menarik napas lega, ketika Zaki menyapanya."Hallo, Bos. Selamat Siang." Sapanya sopan."Siang ... masih di kantor kan, Zak?" tanya Devan memastikan."Siap, di tempat. Ada yang bisa dibantu, Kawan?" Zaki yang baru
Di dalam mobil, Cecil masih merajuk. Gadis itu memilih untuk memalingkan wajah, ketika tak sengaja tatapan keduanya beradu.Devan melirik Cecil, menghembus napas panjang untuk meredam emosinya. Terjebak dalam perseteruan seperti ini, membuat suasana menjadi canggung. Devan merasa tak enak, bila diabaikan terus menerus."Aku minta maaf," ujarnya meminta maaf. Tak merespon, Cecil memilih jurus andalannya, yaitu diam seribu bahasa.Merasa tak ditanggapi, darah Devan kembali mendidih. "Jangan kayak anak kecil dong! Tolong ngertiin aku. Aku juga punya tanggung jawab di kantor."Cecil menatap nyolot! Dia sudah tidak tahan dengan devannya yang kasar. "Kebiasan kamu mana yang gak aku ngertiin? Sibuk kamu mana yang gak aku pahamin? Kejelekan kamu mana yang gak aku maafin? Semua udah aku korbanin, Devan. Kamu memang egois! Maunya dimengerti, tapi gak mau ngertiin balik. Pantas gak, kamu bentak aku di depan anak sekecil Cia? Kamu keterlaluan, Dev! Cia sampai ketakutan loh!"Air mata Cecil akhirn
Langit yang biru, kini kelabu. Terangnya sang surya tergantikan gemerlap bintang rembulan.Di bawah tekanan alcohol, Cecil kembali menikmati manisnya anggur merah yang dipesan pada seorang barista. Dentuman musik keras juga turut berdisco mengiringi kehancuran Cecilia malam ini.Seteguk, dua teguk minuman durjana itu kembali meluncur di kerongkongan Cecilia. Cecil mulai meracau seiring dengan kesadaran yang menurun."Devan jancok! Bajingan! Keparat. Enyahlah dari hidupku! Aku membencimu!" Cecil menumpahkan semua uneg-unegnya dengan kebar-baran malam ini.Seolah menggila, Cecil justru terlihat sangat menikmati alunan musik dari seorang DJ sexy itu. Padahal, sebelumnya dia tidak pernah menginjakkan kaki di tempat beginian. Alhasil, tubuh elok Cecilia mulai dikerubungi gadun-gadun kegatelan.Seorang pria berperut buncit dengan wajah berumur, mendekati Cecilia dengan tatapan lapar. Tak lupa, dia menjebak korbannya dengan segelas wine yang sudah dicampur dengan obat perangsang.Pria itu d
Pagi menjelang. Di bawah selimut langit biru, kicauan burung menggema syahdu, saling bersahut menyambut mentari.Cecil menggeliat di pelukan Devano. Gadis itu mengerang kecil, merasakan rasa sakit pada tangan dan kaki. Perlahan, Cecil membuka mata. Mengerjap beberapa kali, sambil merentangkan tangannya.Sayangnya, semakin bergerak, dirinya semakin kesakitan. Seutas tali yang melilit di tubuhnya, membuat kulit Cecil memerah."Devano." ujar Cecil pelan.Gadis itu terkejut bukan main, melihat Devano tertidur nyenyak di sebelahnya. Cecil juga melihat ke bawah, melihat pakaiannya sudah berganti, pikiran negatif memenuhi otaknya. "Jangan-jangan ..."Cecil menggeleng lemas. Tidak mungkin Devan sejahat itu. Tapi kenapa pakaiannya bisa berganti? Apalagi, dengan ikatan tali seperti ini.Cecil berteriak histeris. "Bajingan! Jahat, keparat! Devan!"Teriakan Cecil membuat Devan terjaga. Lelaki itu menatap bingung pada Cecilia yang kini tengah menangis histeris. "Ada apa?" tanyanya dengan suara se
Baskara bertahta di puncak peraduan. Awan-awan berselimut pun mengitari cakrawala yang cerah. Cecil dan Devan sepakat memutuskan pulang karena Utari sangat cemas. Bahkan, wanita itu terus menghubungi sang putra berkali-kali, meski sudah dibilang jika Cecil baik-baik saja, tapi tetap saja tidak akan percaya, jika gadis itu belum berada di rumah."Sudah siap semua, kan? Mama sudah menunggu." Sambil melirik Cecil yang masih terdiam di tempat. Terlalu malas walau hanya menjawab pertanyaan sesimple itu.Cecil hanya mengacungkan kedua jempolnya, mengangguk lemah menatap Devan.Devan mendekat pada Cecil, duduk di samping gadis itu, sambil merangkulkan tangan di pundaknya. "Kenapa diam saja? Mogok bicara? Aku ada salah apa lagi?"Tak ingin menjawab, Cecil bergerak gelisah. Berusaha menjauhkan tangan Devan dari bahunya. Detik berikutnya, makian keluar dari mulut gadis itu. "Banyak! Kamu sesat! Aku membencimu, Devan!"Bayangan Devan yang melumat rakus bibir Cecil beberapa jam lalu, masih terngi
Suasana semakin panas. Kesunyian kembali melanda dan yang tercipta hanya kesabaran Utari yang menuntut penjelasan.Dentingan jarum jam, yang berporos mengeliling angka yang tertera, memecah sepi yang tercipta.Di dalam bekapan Devan, Cecil meraung ingin dilepas. Menarik tangan itu, sekuat tenanga, tapi sayangnya Devan terlalu kuat."Ada apa ini? Kenapa kamu bekap Cecil seperti itu, Dev?" Utari memandang heran pada Devan dan Cecil. Terlihat, Cecil ingin berontak, tapi tidak bisa.Tak ingin membuat Utari semakin bertanya-tanya, Devan mendekatkan tubuhnya dengan Cecil, membisikkan kalimat-kalimat yang membuat gadis itu bergidik ngeri. "Jangan bicara macam-macam, sama Mama. Masih mau bekerja, kan? Kalau kamu aduin semua, Mama akan membuatmu seperti hidup di sangkar emas. Penuh dengan kemewahan, tapi tidak bisa terbang bebas ke manapun yang kamu mau."Setelah mengancam Cecilia seperti itu, Devan melepaskan Cecilia. Membiarkan gadis itu menjelaskan sendiri.Cecil kebingungan, mencari alasan
Dengan tawa yang cukup nyaring, Devan meremehkan kejujuran Cecil. Menatap gadis itu lekat-lekat."Sopir, kamu bilang? Gak usah beralibi! Jangan bela gadunmu di depanku! Aku sangat muak!" Sekali lagi, Devan menatap pria bangsat itu. Seketika, darahnya kembali mendidih. Dia tidak habis pikir, bagaimana mungkin, Cecil bisa tertarik dengan lelaki sepertinya? Pelet apa yang sudah diberinya pada Cecil?Hampir, Devan hampir melayangkan tinjunya lagi. Namun dengan cepat, Cecil berdiri menantang. Memasang badan di depan lelaki tak berdaya itu. Ya, Cecil merasa bersalah, sudah melibatkannya dalam permusuhan bersama Devan. Tapi niatnya tadi tidak seperti ini, tidak tahunya, Devan malah seperti orang kesetanan.Cecil menunjuk Devan. Kilatan marah di ekor matanya, membuat dia tak bisa menahan diri lagi. "Jangan sentuh dia sedikit pun! Masalahmu sama aku, bukan sama bapak ini. Dia cuman laki-laki yang ingin bertanggung jawab dengan anak istrinya. Mencari sesuap nasi dengan menjadi sopir online. C
Semilir angin segar menjuntai-juntai. Bertiup mesra pada helaian legam panjang yang berterbangan diterpa udara. Terlihat Cecilia semakin masuk dalam pelataran yang megah mentereng.Ekor matanya bertubrukan dengan seseorang nan jauh di sana. Ya, pandangan Cecil dan Dela saling beradu. Meski Dela melayangkan tatapan ketidak sukaan, tapi Cecil tampak tak acuh dan lebih memilih untuk terus berjalan.Sementara Devan yang berjalan dibelakang Cecil, diam-diam mensejajarkan langkahnya dengan gadis itu. Menggandeng tangan Cecil, dan tak mempedulikan keberadaan Dela di sana."Van." Tegur Dela saat keduanya tiba di hadapan Dela.Dengan malas, Devan menanggapi panggilan itu. "Ada apa lagi sih? Urusan kita udah selesai! Jangan cari aku lagi."Diam-diam, Cecil memerhatikan pertikaian itu. Tapi dia tidak berani ikut campur, karena ini memang bukan rananya untuk berbicara.Dela terdiam, melirik Cecil sejenak, lalu kembali bersua, "Dia siapa?" Ujung matanya menelisik dari atas sampai bawah. Cukup cant