Share

IDPK - Part 2. Kesepakatan

"Apa ini?" Satrio mengernyitkan dahi ketika Lilian mengulurkan lembaran kertas bermaterai kepadanya.

"Mas Satrio kan ndak buta huruf to? Apa perlu aku ajarin membaca kayak anak TK?" sahut Lilian cuek sembari menghempaskan bokongnya di kursi makan tepat di depan Satrio.

Satrio memutar bola mata malas mendengar ucapan Lilian.

"Itu surat perjanjian kontrak, Mas. Aku sudah tanda tangan. Jadi, Mas Satrio juga harap menandatangani surat itu."

Tanpa menggubris ucapan Lilian, Satrio mulai menekuri huruf demi huruf yang tertulis di sana. Ketika sampai di kalimat....

'Dengan ini, pihak pertama atas nama Hendro Satrio Haryo Sasongko menyatakan bahwa bersedia memberikan semua kewajiban materiil dan fasilitasnya kepada pihak kedua Lilian Sudirgo. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan apa saja yang harus diberikan akan disebutkan di halaman berikutnya.'

Sepasang netra Satrio membelalak. Gadis gendut yang telah dinikahinya ini ternyata tidak selugu apa yang dipikirkannya. Dia membuat surat kontrak yang menguntungkan dirinya.

"Kamu ternyata Wewe gombel, Li!" dengusnya kesal.

Lilian yang disebut Wewe gombel tampak tidak peduli. Dia tetap melanjutkan mengunyah apel dan anggur di piringnya.

Satrio masih melanjutkan membaca surat kontrak yang telah dibuat oleh Lilian.

'Fasilitas yang harus diberikan tersebut di bawah ini :

1. Uang belanja bulanan sebesar 30.000.000

2. Mobil sedan.

3. Rumah sebagai kompensasi jika pihak pertama menceraikan pihak kedua.'

Satrio mendengus setelah membaca apa saja kompensasi yang harus diberikan kepada Lilian.

"Kamu merampok aku, Li?" semburnya sambil melempar kertas perjanjian itu pada Lilian.

"Mas Satrio digaji sama Papi seratus lima puluh juta, kan? Jangan mengelak, Papi udah bilang sama aku." Lilian membalas tatapan Satrio tajam.

"Aku cuma minta dua puluh persen saja, Mas. Masak Mas Satrio menolak?" lanjutnya.

"Mbelgedes!"

"Ya, kalau Mas Satrio menolak. Aku juga ndak apa-apa, kok. Aku juga sudah siap jadi janda hari ini." Lilian berkata cuek.

Lilian juga tidak rugi jika harus meninggalkan rumah ini segera. Selama ini dia sudah cukup nyaman tinggal di rumahnya yang sederhana. Dia juga sudah cukup hidup dari gajinya sebagai guru taman kanak-kanak sambil jualan online.

Bukankah yang membutuhkan dirinya tinggal di rumah ini adalah Satrio?

"Heh, kamu mulai mengancam aku, Li?" dengus Satrio.

"Loh, siapa juga yang mengancam. Aku cuma minta bayaran, Mas. Kita kan hanya pura-pura jadi suami istri to? Kalau kamu ndak setuju dengan bayaranku, di luar sana Mas Satrio bisa cari perempuan lain untuk dibayar yang lebih murah, Mas." Lilian berkata dengan berapi-api.

Dia sedang memperjuangkan haknya. Di rumah ini, dia dianggap sebagai pekerja oleh Satrio. Bukankah sudah selayaknya dia mendapatkan bayaran?

"Kampret kamu, Li. Tahu gitu kemarin aku nolak menikahi kamu!" geram Satrio kesal seraya bangkit dari duduknya.

Sarapan nasi goreng yang disiapkan oleh Lilian masih tersisa separuh di piringnya. Satrio sudah tidak punya selera untuk menghabiskan.

"Kan kemarin juga sudah Lilian kasih solusi, Mas. Kita bercerai saja, mudah, kan? Daripada kamu harus bayar aku segitu banyaknya." Lilian berkata dengan santai.

Satrio yang baru saja akan melangkah pergi, seketika melirik Lilian. Dia mulai paham dengan apa yang diinginkan oleh gadis itu.

Aah, rupanya gadis gendut itu ingin bercerai darinya.

Satrio menyeringai. Jika dia terjebak dengan rencana Lilian untuk menceraikannya, dia yang akan dimarahi habis-habisan oleh orang tuanya.

"Aah, ternyata kamu ingin aku terlihat buruk di mata mami dan papi?" tuduhnya penuh penekanan.

"Loh, kok Mas Satrio berkata begitu? Aku ndak mikir sejauh itu, Mas. Aku mikirnya lebih simpel, aku pergi dan ndak perlu lagi berurusan dengan keluarga Mas Satrio." Lilian masih melanjutkan mengunyah apelnya dengan santuy.

Berbeda dengan Satrio yang mulai kesal. Mana mungkin dia membiarkan gadis gendut itu berbuat seenaknya. Jika dia menceraikan Lilian, bisa-bisa dia dicoret dari kartu keluarga Haryo Sasongko.

"Simpal simpel, simpal simpel.... Semua nggak akan sesimpel itu, Sebloh!" berangnya.

Bagi Lilian memang simpel, tapi bagi Satrio ini perkara rumit. Bagaimana jika dia tidak mendapatkan warisan kalau papinya marah?

Selama beberapa saat, Satrio berpikir. Jika dia tidak memenuhi keinginan Lilian, gadis gendut itu akan pergi dari sini. Itu artinya, masalah besar akan datang pada Satrio. Papanya adalah orang yang konsisten memgang janji. Jika tidak, tentu saja sekarang Satrio tidak akan menikah dengan Lilian.

Apalagi maminya jatuh kasihan pada Lilian yang hidup sebatang kara di usianya yang masih belia. Mana mungkin mereka akan membiarkan Lilian pergi begitu saja dari hidupnya.

Yang ada, Satrio yang akan disalahkan habis-habisan oleh mami dan papinya.

Hah, Satrio tidak punya pilihan lain kecuali setuju dengan permintaan Lilian. Dia harus memberi nafkah tiga puluh juta tiap bulan. Itu tidak terlalu besar untuk Satrio, karena yang diucapkan papinya tentang jumlah nominal gaji itu bukan jumlah total yang didapatkannya.

Satrio mendapatkan jumlah yang lebih besar lagi.

"Yowes, deal. Aku setuju!" Satrio akhirnya memilih untuk membubuhkan tanda tangan di surat kontrak yang dibuat oleh Lilian.

Bukannya senang, Lilian malah keselek anggur sampai terbatuk-batuk parah. Melihat Lilian terbatuk-batuk bukannya menolong, Satrio malah tertawa terbahak-bahak.

"Bisa-bisanya si Sebloh keselek anggur, ha-ha-ha."

Suara tawa bergema di seluruh penjuru ruangan. Satrio sampai harus memegangi perutnya.

"Jahat kamu, Mas. Lihat orang kena musibah bukannya ambilin minum, malah diketawain," dengus Lilian sambil mengerucutkan bibirnya beberapa senti.

"Itu namanya karma. Kamu pagi-pagi bikin kesel orang, dibalas kontan sama Gusti Allah!" sahut Satrio masih tertawa terbahak.

Ekspresi lucu Lilian saat keselek, mirip orang yang sedang sakarotul maut masih mengundang tawa.

"Heleh, Mas Satrio paling pintar kalau nyalahin orang." Lilian tidak mau disalahkan.

Asap tidak akan ada kalau tidak ada api. Lilian tidak mungkin berbuat demikian jika bukan karena Satrio yang membuat ulah lebih dahulu.

"Lhawong memang begitu loh, Sebloh. Kamu itu lagi kena azab. Ha-ha-ha." Ternyata ada untungnya Satrio mempunyai istri Lilian. Dia bisa bebas tertawa seperti nonton Love Van Java sedang live di rumahnya. Lilian sebagai mbak nunungnya.

"Mas!" pekik Lilian mulai kesal karena ditertawakan sebegitu rupa oleh suaminya sendiri.

"Ada apa, Sebloh?"

"Mbok ya jangan manggil aku Sebloh to, Mas!" protes Lilian.

"Namaku bagus loh, Lilian Sudirgo masak diganti seenaknya sendiri jadi Sebloh," lanjut Lilian.

"Lha diganti apa? Kalau gitu diganti jadi Mbak Nunung apa Ratmi B29 aja, ya." Satrio masih terkekeh.

Ternyata adegan keselek itu membawa berkah. Perbincangan receh antara Satrio dan Lilian itu adalah berkah dari adegan keselek yang mirip sakarotul maut itu tadi.

"Emoh, Mas."

"Yowes, Sebloh wae. Fix no debat." Selepas mengatakan itu, Satrio melenggang pergi dengan cuek.

"Jangan lupa, surat kontrak itu disimpan baik-baik. Jangan sampai mami dan papi lihat. Ngerti!" ujar Satrio galak.

"Padahal habis tertawa, eh sudah balik jadi galak lagi," gerutu Lilian kesal.

Ketika Satrio sudah berada di mobil siap untuk berangkat ke kantor, Lilian berlari tergopoh-gopoh menghampiri.

"Mas!" panggilnya.

Satrio mendengus mendapati Lilian yang mengatur napas.

"Ada apa?"

"Aku minta izin, hari ini aku ngajar, ya, Mas." Bagaimanapun, Lilian tetap saja menganggap Satrio sebagai suaminya. Jadi, dia harus meminta izin Satrio jika mau keluar rumah.

Satrio memutar bola mata malas.

"Dengar, ya, Sebloh. Kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau! Begitu juga aku, aku bebas berbuat apapun yang aku mau." Satrio berkata datar.

Suasana akrab yang terjalin beberapa menit lalu sudah menguap hilang entah kemana. Sekarang, Satrio sudah cosplay menjadi seorang Satrio yang menyebalkan seperti semalam.

Lilian menghela napas kasar. Tiba-tiba dia menyesal telah meminta izin.

"Tahu gitu, aku nggak usah bilang," dengusnya seraya menggeloyor pergi tanpa pamit. Lilian urung melanjutkan langkahnya.

"Kamu harus siap mental jadi istriku, Li. Aku rasa itu akan setimpal dengan bayaran yang telah kamu minta. Kamu jangan protes kalau aku menghabiskan waktu bersama kekasihku. Anggap saja kamu nggak tahu. Kamu hanya harus berpura-pura di depan papi dan mami. Itu saja."

Lilian hanya berdiri membelakangi Satrio yang mengoceh menyebalkan. Gadis itu hanya diam tidak menyahut.

Dia tahu, berpura-pura baik-baik saja di depan mami dan papi tidak akan semudah itu. Satrio pasti sudah memperhitungkan semuanya. Kebusukan apa yang harus disembunyikan oleh Lilian tentang Satrio.

Apakah benar Satrio sudah memiliki kekasih tanpa sepengetahuan mami dan papi?

Aah, pasti akan membutuhkan banyak energi untuk melakukan ini.

Namun, ketika Lilian teringat nominal tiga puluh juta yang akan didapatkannya setiap bulan, dia mencoba mengabaikan semua itu.

"Semangat, Li. Kamu akan mendapatkan tiga ratus juta jika sanggup bertahan selama sepuluh bulan saja." Otak Lilian sudah mulai menghitung berapa jumlah uang yang akan mengalir dalam rekeningnya.

Belum lagi mobil dan rumah juga akan diberikan oleh Satrio.

"Baiklah, itu cukup setimpal." Lilian menguatkan hati.

Tidak peduli apapun yang akan terjadi di depan nanti, tugasnya hanya satu. Dia hanya harus berpura-pura saja seperti yang diucapkan Satrio. Yang penting, dia masih bisa mengajar di taman kanak-kanak. Itu akan mengurangi beban pikirannya tentang suami yang menyebalkan itu.

Bisa berjumpa dengan anak-anak akan membuat semangatnya terus tumbuh. Sepahit apapun kenyataan rumah tangga yang akan dialaminya nanti, dia harus menyiapkan diri.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Indah Syi
wkwkww Sebloooh q datang lagiii
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status