Ciara sudah dipastikan cemburunya bukan main. Ditambah mereka punya janji? Pikiran Ciara sudah langsung tentang pernikahan. Haidar malah tidak ingat apa-apa, dia merasa tidak mempunyai janji dengan perempuan tersebut. "Janji apa?" tanya Haidar. "Aku bisa telat, Sayang!" rengek Ciara. "Ya udah kita berangkat. Maaf, harus pergi dulu Toy," katanya. "Mmm, tapi ini penting!" "Kamu ngerti ini suami orang gak, sih!" celetuk Ciara kesal. "Loh, apa salahnya? Memangnya aku selingkuhi suamimu?" tanya Toya. "Udah! Ayo Sayang kita berangkat!" Haidar menarik tangan Ciara untuk menghindari dari Toya. Toya sangat kesal dengan ulah Haidar maupun Ciara. Ia terus mengikuti mereka ke kampus tanpa sepengetahuannya. Menjadi mata-mata juga, ternyata Toya bekerjasama dengan Spion. *** "Sayang," sapa Haidar setelah pulang kerja. "Apa!" jawabnya ketus. Haidar pulang malam yang ternyata istrinya masih juga belum tidur. Kagetnya, suhu badan Ciara panas karena kehujanan mengintip Haidar di kantor. Ia m
"Ngaco! Cia lagi haid," jawab Ciara. "Oh, hahaha." Haidar tersenyum sembari mengurut punggung istrinya. "Hamil mulu pikiran Om," timpal Ciara. "Udah pengen banget soalnya. Apa ucapan Om menyakitimu?" tanyanya. "Mboten, tapi mungkin bagi perempuan lain ini menyakiti karena kayak memberi harapan dan ternyata masih gagal." "Beneran kamu gak sakit hati?" "Hahaha, nggak. Yang bikin sakit hati tuh kalau Om udah gak cinta lagi sama Cia," jawab Ciara. Sejenak Haidar menatap istrinya yang pucat. Ia kecewa sebenarnya, baru kali ini Ciara keluar rumah tanpa izin dan ujung-ujungnya keadaannya sakit. Tidak menyadari bahwa dirinya dimata-matai. "Malam ini ngobrolnya dikit aja, cepat tidur!" pinta Haidar. "Gak mau!" rengeknya. "Ciara Basma! Sadar, gak kamu udah salah keluar tanpa izin! Mau apalagi sekarang? Gak nurut, hmm?" "Huaaaaaa, dibentak!" Ciara langsung menangis sembari tertidur. Memang sikap Ciara masih begini. Moodnya masih berlari-lari. Haidar geram melihatnya, tidak ingin membe
"Gak usah pakai jilbab!" "Nggih harus pakai toh, Nduk." "Hahaha, mukanya panik amat kenapa? Iya-iya pakai yang hitam aja," kata Ciara. "Kirain kamu kerasukan gak mau pakai jilbab. Hahaha," jawab Haidar. Canda tawanya tidak tertinggal meskipun dalam keadaan sakit seperti itu. Sikap dingin Haidar benar-benar hilang, lebih banyak senyum juga setelah menikah dengan Ciara. Ia menggendong istrinya yang lemas itu untuk ke mobil yang telah disiapkan papanya. *** "WANITAKU, JEMARI INI TELAH BERANI MENERIMA JANJI. MAKA DARI ITU, AKU HARUS MEMBERIMU LEBIH DARI SEJUTA BUKTI, BAHWA KAMU IALAH WANITA PILIHAN YANG HARUS DIMULIAKAN, KAMU WANITA RUPAWAN YANG HARUS KUJAGA DARI GODAAN." "Suwun, Cintaku. Isbay yakin, njenengan orang yang tepat," sahut Ciara. "Sepurane ponselmu Om bawa riyen, Nduk. Mau beri pelajaran buat orang-orang yang menggodamu," ungkapnya. "Nggih, monggo." Ciara menyerahkan ponselnya yang hari ini ada beberapa teman Ciara yang bersikap tidak pantas. "Cepet sembuh ya. Ada ke
"Nanti aja di rumah," jawab Haidar. "Kejutannya emang ada di rumah?" tanya Haidar. "Ada di sini, udah Om bawa," ucap Haidar. "Aaaaa gak sabar sampai rumah." Belum diketahui oleh Ciara, bahwasannya Haidar membawa sesuatu yang sangat Ciara harapkan. Keinginannya untuk punya guling pororo dan bantal love bergambar pororo yang ada tanda tangan suaminya pun diwujudkan. Haidar selalu mencari cara untuk memberikan kebahagiaan sang istri. "Wiih, pororo, imutnya!" Ciara gemas melihat badut pororo. "Mau beli badut?" tanya Haidar. "Ya gak dong. Kalau beli kostumnya bagus tuh, terus Om yang pakai. Pasti gemoynya banget! Semoga benihnya Om Sayang laki-laki kembar tiga!" Ciara mencubit pipi Haidar. "Aamiin," jawab Haidar. "A-aduh, Isbay-Isbay. Ya udah kita beli," jawab Haidar. "Beneran mau?" tanya Ciara. "Apa salahnya? Mau aja dong, Cintaku," sahut Haidar tersenyum. "Yeee, suamiku memang the best," *** "Alhamdulillah, udah hadir benihku." Haidar mencium perut istrinya. "Masyaallah, pe
"A-aaaaarghhh!" "Masih mau pulang? Om juga ikut pulang kalau kamu pulang. Sini Om anterin, jangan naik taxi!" Haidar membelai kepala istrinya. "Mboten, ikut Om aja. Yuk beli jajan!" Ciara memeluk Haidar sembari turun dari mobil. "Gemesinnya, Masyaallah. Harus dijaga nih, Om yakin deh hasilnya kembar tiga," kata Haidar. "Isbay ingin ice cream nanas," ucap Ciara. "Nggak boleh, Sayang. Yang boleh-boleh aja, nggih?" Haidar terus meletakkan tangannya di belakang pinggang istrinya. "Yaaaaahhhhh!" keluhnya. Kesal tidak bisa makan bebas. Ciara cemberut terus, tetapi bibirnya ditarik-tarik dengan tangannya sampai dia salah tingkah karena dilihatin beberapa orang. Ciara pun tersenyum dan menggenggam tangan suaminya supaya tidak iseng di tempat umum. "Njenengan juga gak boleh makan! Harus adil dong, yang ngehamilin siapa masa yang nanggung aku sendiri!" "Hahaha, baiklah. Om juga gak makan ice cream nanas, kita beli cemilan aja, entar lanjut beli jilbab baru juga nggak masalah," kata Haid
"Nggih, kalau pulang Om antar, jangan kumat kayak tadi mau naik taxi online," pinta Haidar. "Sudahlah, njenengan sibuk," jawab lirih Ciara. "Aku ingin senyummu," bisik Haidar. "Om gak usah ngerayu! Percuma!" ucapnya ketus. "Percuma? Ocyang gak percaya. Oleh tuh nyuruh kamu pulang karena gak mau kami sakit hati karena Toya," kata Haidar. "Ngapunten, nggih ... Ocyang anter pulang kalau begitu," jawabnya. Haidar mengantarkan istrinya untuk pulang. Tanpa ia tahu, ada penawaran kerja sama yang mengharuskannya ke luar negeri untuk jangka panjang. Akan tetapi, harus segera memberi keputusan saat ditelpon. Sayangnya, ponsel Haidar saat di mobil yang berbunyi dengan sengaja ia abaikan, takut istrinya cemburu lagi karena sudah jelas yang telepon ialah Toya. "Bagus, jangan diangkat!" seru Ciara. "Misal kamu aja yang angkat gimana? Jangan-jangan soal kerjaan," sahut Haidar. "Cuma misal kan? Isbay ogah banget!" celetuk Ciara. "Iya, misal aja." *** "Alhamdulillah! Kamu memang penolongku,
"Sepuluh meter juga boleh," jawab Ciara. "Sayangnya empat kata sudah cukup. Toya tidak di kantor," kata Haidar. "Serius? Ke mana?" tanya Ciara. "Neneknya sakit, jadi pulang." Haidar mengambil segelas air putih. "Aduh!" keluh Ciara. "Kenapa? Kok malah khawatir? Harusnya seneng kan gak ada yang dicemburui?" Ciara takut akan ada kasus lagi seperti dengan Bening. Ia seperti trauma dengan orang sakit. Berhubung masalah dengan Bening juga dikarenakan saat sakit. Kalau keadaan seperti ini, ada tamparan untuknya untuk lebih banyak waktu berbuat baik dengan Bening. Mengetahui bahwa ada perempuan lain yang mencintai suaminya itu tentu sakit, tetapi sakit itu akan berbalut syukur besar jikalau ternyata yang mencintai mampu menahan, dan tak ingin mengusik rumah tangganya. "Bagaimana jik---" "Suuddd! Jangan pikirkan yang tidak-tidak!" Haidar meletakkan telunjuknya di bibir Ciara. "Aaaaaahhhh, iya. Jadi ingin ketemu Bening. Bisa gak kita ke Belanda?" tanya Ciara. "Bisa aja, tapi kan lagi h
"Astagfirullah, siapa yang main alat pijat ini dilempar?" tanya penjual sarung. Hampir saja alat pijat yang dijual juga di area maka, melayang mengenai Ciara. Beruntungnya Haidar berhasil menarik tubuh istrinya. Alat pijat itu pun terjatuh tepat di tempat Ciara yang awalnya berdiri sebelum ditarik. Tidak lama dari itu, datanglah kedua orang tua yang meminta maaf karena ulah anaknya yang memang ada gangguan mental. "Ngapunten sanget Mbak, Mas. Mohon pemakluman untuk anak kami yang mengalami gangguan mental," pinta Ibu dari anak tersebut. "Mboten napa-napa Bu. Semoga anak Ibu dan keluarga selalu mendapatkan keberkahan. Boleh kula peluk anaknya?" Ciara tersenyum ke anak tersebut. "Aamiin." Anaknya masih balita. Perempuan yang usianya sekitar empat tahun, ia memang mengalami gangguan, orang tuanya baru menyadari hal tersebut belum lama. Mereka mengizinkan Ciara memeluknya sembari diberi kabar tentang pertumbuhannya. "Adik, kapan-kapan main ke rumah Kak Cia mau?" tanya Ciara. Anak ke