Yuna berkali-kali menghembuskan napas panjang. Sesekali ia menyumpali mulutnya dengan roti isi coklat sembari menatap lurus ke detetan atap gedung hadapannya. Dokter cantik itu menghabiskan waktu istirahat makan siangnya hanya dengan sepotong roti di rooftop gedung tempatnya bekerja.“Kenapa aku merasa tuan Jason terasa lebih licik dari Ryan?” gumam Yuna berat. “Kemarin dia menawarkan aku untuk makan siang bareng, sekarang malah sendirian dan aku?”Dokter cantik memajukan bibirnya mengeluarkan kekesalannya. Bagaimana tidak, ia harus makan siang di kantin bersama para karyawan lain. Bukannya Yuna enggan atau gengsi, tetapi ia harus bertemu dengan Vina dan Ryan. Serta dirinya tak punya teman di sana."Membosankan sekali. Haruskan aku mencari teman di sini?" ucapnya malas.Sepotong roti yang dibelinya untuk mengganjal perut dan terpaksa ia menyantapnya di lantai rooftop yang sepi dan sunyi. Bukan itu saja yang mengganggu pikirannya, tetapi sikap dan permintaan Jason. Menemaninya makan ma
“Aku merasa sekarang Yuna seperti orang lain, sulit untuk dibujuk.”Vina mengeluhkan sikap Yuna pada Ryan dari sambungan telepon. Ia masih berada di lantai rooftop dan masih duduk di bangku panjang tempat tadi bersama Yuna. Wajah wanita itu tampak menyimpan kekesalan yang mendalam.“Aku pun merasakah hal yang sama. Sepertinya karena pengaruh paman Dimas-nya ... lebih baik kita bujuk dengan cara halus. Tetap dekati Yuna, dan terus bersikap baik sampai dia mau menurut lagi. Yuna sudah tak bisa lagi digertak apalagi diancam,” titah Ryan dari balik telepon.“Baiklah kalau begitu. Nanti biarkan aku yang berbicara pada tuan Arka dan meminta pengertiannya,” balas Vina berat, lalu ia menyudahi panggilan teleponnya.Wanita itu mengepalkan kedua tangannya dan menatap penuh kebencian ke arah depannya seolah menunjukkan amarahnya pada Yuna.“Banyak tingkah sekali kamu, Yuna! Menyebalkan.” Puas mengerang dan mengumpati Yuna. Wanita itu langsung bangkit dan memutar tubuhnya masuk ke dalam gedung.
“M—maafkan aku, Tuan! A—aku hanya disuruh.”Bi Nani, pelayannya Jason yang menukar obat serta vitamin langsung bersimpuh di hadapan kaki Jason. Tangis ketakutan dan penyesalannya mengalir deras, hingga suaranya gagap saat memohon ampun. Jason sama sekali tak tersentuh oleh air mata bi Nani. Sepulang kerja wanita itu langsung diintrogasi di ruang tengah.“Siapa yang menyuruhmu?” tanya Jason dengan tatapan murka. Elsa, Arka?” tebaknya.Air mata bi Nani langsung terhenti. Kedua bola matanya membesar sempurna, bibirnya bergetar. Akan tetapi, ia tak segera menjawab.“Jika kamu diam, berarti memang mereka yang menyuruhmu,” ucap Jason seraya memundurkan kursi rodanya menjauhi tubuh pelayannya.“Berapa banyak mereka membayarmu hingga kamu berani berkhianat padaku?” sinis Jason dengan tatapan penuh kebencian.Lagi, bibir bi Nani hanya bisa bergetar dan kesulitan untuk menjawab. Jason pun tersenyum sinis. Sungguh ia tak menyangka orang yang selama ini bekerja dengannya selama lima tahun lebih b
Jason membuka kedua bola matanya setelah mendengar pintu kamarnya tertutup. Ia langsung bergegas bangun dari pembaringannya setelah yakin tak ada Yuna di sana. Kedua tangannya mengepal kuat.“Papa, kamu benar-benar mau menyingkirkanku demi anak tirimu,” geram Jason dengan tatapan nanar. “Maaf, pa. Aku tak akan membiarkanmu! Akan kupertahankan hakku.”Dengan tertatih, ia bergeser menjangkau kursi rodanya dan perlahan berpindah lalu bergegas ke kamar mandi. Kamar mandinya sudah didekorasi agar ia tak kesulitan membilas tubuhnya sendiri. Jason meredamkan emosi dan pikirannya dengan air pancuran yang hangat.Tak perlu lama, setelah busa sabun dalam tubuhnya bersih, ia langsung menutup tubuhnya dengan handuk dan berpindah ke kursi roda. Jason tetap bertekad untuk menghadiri undangan Brian dan menanyakan langsung tentang tujuannya. Ia tak perlu berbasa basi dengan papanya yang sudah terlalu jauh, menurutnya.Akan tetapi, Jason yang hendak bersiap cepat harus terhenti saat baru saja keluar d
Yuna mendorong kursi rodanya Jason hingga memasuki ruang tengah mansionnya Brian. Luas bangunan tersebut tak berbeda jauh dengan mansion Jason. Hanya halaman depannya lebih luas milih CEO lumpuh tersebut. “Selamat datang anakku!” sambut Brian ramah diikuti senyuman lebarnya dan langsung menghentikan langkah Yuna.. Tak ada rasa garis penyesalan ataupun rasa bersalah pada wajah Brian. Lelaki itu tampak bersikap seolah tak terjadi apa pun di antara dirinya dan anak kandungnya. Jason membalas senyuman papanya dengan senyuman lebar. Kemudian ia menoleh ke belakang pada Yuna tanpa bersuara. Akan tetapi dokter cantik itu mengerti maksudnya. Yuna melangkah maju dan menyerahkan paper bag pada Brian. “Aku membawakan kue muffin vanilla keju, kesukaanmu,” jelas Jason saat Brian menerima pemberian Yuna. “Ah, rasanya mungkin sedikit hambar karena aku memesan yang less sugar. Terlalu banyak gula tak bagus untuk kesehatanmu ... Papa harus mulai menjaga kesehatanmu agar bisa berumur panjang!” lanju
“Tuan, Anda baik-baik saja?”Yuna meraih pundak Jason yang tampak gelisah. Lelaki itu tak merespons, tetapi memilih menarik dasinya untuk dilonggarkan. Perjalanan mereka masih sedikit jauh.“Pak Rama, tolong sedikit lebih cepat!” titah Yuna pada sopirnya Jason.“Baik, Dok,” sahutnya cepat.Dokter cantik itu langsung mendekat pada Jason dan membantunya melepaskan dasi serta kancing kerahnya. Kemudian Yuna melepaskan jas tuksedo lelaki itu dengan cepat dan hati-hati. Napas Jason semakin tersengal dan terus kesulitan bernapas.“Atur napasmu dan ikuti instruksi dariku!” pinta Yuna lalu memandu pasiennya.Sayangnya, wajah Jason bertambah pucat dan gelisah. Ia kesulitan untuk mengikuti instruksi Yuna. Tubuhnya mulai melemas dan jatuh dalam pelukan Yuna.“Tuan!” panggil Yuna membawa tubuh Jason pada sandaran kursi.Tubuh lelaki itu terasa dingin. Detak jantung Jason terlalu lemah. Suara napasnya terdengar tercekik.“Tuan, respons aku, jika mendengar suaraku!” Yuna memastikan Jason masih ters
Perlahan Jason membuka kedua matanya. Yuna tampak sedikit salah tingkah. Cemas, jika lelaki itu salah mengartikan maksud dan tindakannya.“Tu—tuan tidak tidur?” tanya Yuna gagap. “Maksudku tadi ....”Yuna tak melanjutkan penjelasannya. Tampaknya Jason sudah mencerna maksudnya dan ia tak berani menduganya. “Maafkan aku jika betingkah tak sopan,” pungkasnya.Jason tersenyum tipis. Ia lantas menyingkirkan selimut di atas dadanya, lalu membawa tubuhnya bangkit. Jason bergeser sedikit untuk duduk. Tentu saja Yuna refleks membantunya dan menyiapkan bantal untuk Jason bersandar. Lelaki itu lalu melirik ke arah lorong ruang gantinya. “Bisa tolong ambilkan kaos tipis untukku di ruangan itu!” pintan Jason sopan.Yuna mengangguk dan bergegas menuju ruangan tersebut. Wajahnya terlihat masih menahan malu, hingga ia menutupi wajahnya setelah berada di sana. Yuna meringis bingung merasa ucapan dan tindakannya terlalu berlebihan.“Bagaimana kalau tuan Jason mengira aku menggodanya?” Yuna bertanya da
“Menggodaku?” Jason berkata terdengar mengejek, bahkan diakhiri desis sinis. Ia lalu menoleh pada Yuna yang tampak terkejut dengan reaksinya.“Mungkinkah kamu merasa kasihan padaku?” sambung Jason menebak. Yuna terdiam sesaat. Ia bukan baru kali ini menghadapi seorang pasien seperti Jason. Terkadang mereka tak ingin dikasihani karena merasa dihina dan mengira tak bisa melakukan apa pun dengan keterbatasan fisik yang dideritanya.“Aku tak butuh belas kasihan ... itu yang ingin Tuan tegaskan?” ucap Yuna langsung membuat Jason tak bergeming.Dokter cantik itu lantas tersenyum dan memilih duduk di tepi ranjang Jason. “Tuan tahu kenapa aku menerima tawaranmu?” tanya Yuna mempertahankan senyuman manisnya.Jason tak menjawab dan tak merespons. Yuna menghela napas panjang nan dalam. Bayangan tentang kebahagiaannya yang diberi kesempatan mengulang waktu membuatnya terus tersenyum, hingga membuat Jason menatapnya penasaran.“Aku pernah merasakan di posisi Tuan Jason. Dikhianati oleh orang yang