Semua orang yang hadir di pertemuan itu sampai terkejut ketika mendengar suara gaduh tersebut. Apalagi ketika mendengar suara Edi yang mengomel tidak karuan."Dasar nggak punya sopan santun sama sekali dengan orang yang lebih tua! Apa ibumu nggak mengajari cara menghormati orang yang lebih tua?" omel Edi sambil mencoba bangun.Santi langsung mencekal tangan Bima yang sudah bersiap melayangkan tinjunya lagi karena emosi. Hati Bima seperti sedang ditimpuk dengan batu besar, sesak dan sakit.Bisa-bisanya orang lain menghina dua orang wanita yang berarti dalam hidupnya. Edi sempat menawar Santi seharga jutaan rupiah sebelum tinju pertamanya tadi melayang. Dan kini dengan santainya dia menyalahkan ibunya tidak bisa mendidik anak. Hati siapa yang tidak sakit mendengarnya?Bima berusaha menarik paksa tangan yang dicekal oleh Santi, namun sulit. Tenaga Santi seperti bertambah berkali-kali lipat dari sebelumnya."Tahan, Mas!" seru Santi."Lepasin aku, San! Orang seperti dia ini tidak pantas
Santi segera berpegangan pada tangan Bima yang duduk di sampingnya. Begitu pula dengan Mona yang refleks memegang Santi karena dia takut gelap.“Maaf, tapi aku takut gelap!” ujar Mona dengan suara bergetar.“Nggak apa-apa, aku nyalain ponsel dulu aja biar sedikit terang, ya?” Santi mencoba menenangkan Mona.Diambilnya ponsel Bima yang tadi sempat disitanya dan segera dinyalakan lampu senternya. Cahaya lampu itu dibarengi dengan ponsel milik tamu yang lainnya.Beberapa saat terdengar suara gaduh orang berlarian entah ke arah mana, tapi yang jelas setelah itu lampu kembali menyala. Para tamu yang diundang bernafas lega karena tidak perlu menunggu lama lagi.“Restoran sebesar ini kenapa nggak persiapan emergency yang memadai sih?” gerutu salah seorang yang hadir.“Iya. Harusnya kan bisa lah ya, menyiapkan hal seperti itu demi kenyamanan bersama, jangan hanya harga sewanya aja yang mahal tapi sarananya kurang memadai,” imbuh yang lainnya.Santi tak mempedulikan ocehan demi ocehan yang ter
“Papa …” Bima menjawab panggilan tersebut dengan hati-hati.“Dimana Santi sekarang?” tanya Adam tanpa banyak basa basi.“Itu, dia … aku sedang mencarinya sekarang, Pa!” jawab Bima.“Dasar bodoh! Sudah berapa kali Papa bilang kalau jangan sampai lengah! Karir bisnismu itu sedang bagus-bagusnya, pasti banyak orang sedang merencanakan sesuatu untuk menjatuhkanmu! Kamu jangan sampai melupakan keselamatan Santi. Dia bisa saja menjadi incaran mereka yang berniat buruk sama Santi!” Adam emosi mendengar jawaban Bima.“Aku minta maaf, Pa!” ujar Bima sambil mengepalkan tangannya.“Maafmu nggak guna! Septa berkali-kali menelepon kalau Santi dibawa oleh orang yang mengenakan seragam pelayan! Ahhh, wanita bodoh itu benar-benar!” Adam emosi sendiri karena mendengar laporan dari Septa.Santi memang dibawa oleh orang asing dan caranya sangat rapi. Seorang pelayan terlihat pincang saat berjalan dan meminta bantuan Santi untuk mengantarnya keluar resto. Septa yang sejak awal mengawasi berpikir bahwa p
Adam tersenyum puas mendengar jawaban Santi. Sepertinya didikannya selama ini membuahkan hasil, hanya perlu sedikit gertakan saja agar semua itu muncul dari dalam dirinya sendiri.Santi belajar banyak hal dari kejadian yang baru saja dialaminya. Dia bertekad akan segera menjadi sosok wanita yang layak bersanding dengan Bima. Namun ada satu ketakutan yang masih hinggap di pikirannya.“Pa …” Santi memanggil Adam dengan ragu-ragu.“Kenapa?” tanya Adam lembut. Pandangannya sudah kembali hangat, tidak seperti saat emosi tadi.“Apa aku boleh membunuh orang?” tanya Santi.“Kamu bicara apa, San?!” Bima tersentak kaget mendengar ucapan Santi.“Tentu saja boleh!” jawab Adam tegas. Bima sampai dibuat terperanjat kaget mendengarnya. “Selama kamu melakukannya dengan alasan yang tepat, Papa akan mendukungnya,” imbuhnya kemudian sehingga Bima kembali bernafas lega.“Berarti jika suatu waktu aku berada dalam keadaan yang mengharuskanku untuk membunuh, Papa akan menjadi penolongku?” tanya Bima memasti
"Papa … itu …" Santi menutup mulutnya saking terkejutnya karena itu adalah pertama kalinya dia memegang pistol. Tembakannya meleset mengenai papan yang lain."Hahaha … nggak apa-apa! Ini pertama kalinya dan kamu hampir mengenai sasaran. Untungnya di sana tidak ada orang, kalau ada mungkin saja …" Adam sengaja menggantung kalimatnya.Santi langsung menelan saliva berulang kali. Dia paham maksud dari Adam mengatakan hal tersebut."Baiklah, aku paham. Untuk latihan menembak tidak hanya membutuhkan keseriusan tapi juga fokus dan tetap tenang." Santi mengambil kesimpulan tersebut tapi malah membuat Adam tertawa."Bukan seperti itu maksud Papa. Kalau tadi ada orang disana mungkin kamu malah bisa tepat sasaran, karena bisa saja langsung kena kepalanya …" kata Adam dengan seringaiannya.Santi yang mendengar hal itu langsung merinding. Diusap kedua lengannya yang terasa meremang.Dia tak bisa membayangkan jika sampai hal tersebut terjadi tepat di depan matanya. Tekadnya memang sudah bulat untu
Hawa dingin yang semula memenuhi ruang kamar mandi tersebut akhirnya berubah menjadi panas. Peluh keringat membasahi tubuh keduanya akibat olahraga malam yang menggairahkan.Bima tidak melewatkan satu inci pun kulit istrinya yang telah menjadi candu baginya. Bibir dan tangannya mengeksplor ke segala arah pada tubuh toples yang menggodanya."Angkat kakimu, Sayang!" Bima mengarahkan salah satu kaki Santi akan menapak pada bahunya.Dengan bertumpu pada lututnya, Bima mulai memainkan keahlian di lidahnya. Diciumnya lutut Santi dan perlahan lidahnya menjulur bermain-main semakin naik hingga berakhir di pangkal yang menjadi tujuan utamanya."Aku paling suka aroma bagian sini," gumamnya sambil menciumnya."Hmmm …" lenguhan mulai terdengar tak beraturan ketika Santi merasakan adanya tusukan hangat di inti tubuhnya.Bima memang paling pandai membuat istrinya merasa terbang. Santi sampai tidak bisa menguasai keseimbangan dalam berdiri.Hampir saja dia terjatuh kalau tidak segera ditahan oleh B
"Udah, kalian semua ikut!" Adam mengambil keputusan agar tidak ada lagi perdebatan."Bagus!" Santi tersenyum senang. Rasanya sudah tidak sabar untuk segera pulang kampung."Al, kok agak lain sih rasanya? Tiba-tiba perasaanku nggak enak dengar nama Panjull tadi," bisik Maura pada Aldo."No comment, beb!" Aldo segera mendekat ke arah meja makan karena tak mau mendapatkan rentetan pertanyaan."Beb? Bebek?" tanya Santi tanpa merasa berdosa. Bima menutup mulutnya yang nyaris menyemburkan roti selai yang dikunyahnya. Bagaimana dia bisa diam saja kalau wajah Maura berubah masam."Baby, San. Maksudnya panggilan sayang!" Maura menerangkan."Ohhh, baby! Kirain bebek …" kata Santi."Dahlah, percuma ngomong sama kamu juga!" Maura menyerah jika harus menghadapi kepolosan Santi yang hanya akan membuatnya darah tinggi.Mereka ikut sarapan bersama keluarga itu sambil bercengkrama sesekali membahas pekerjaan yang kini sedang dipegang oleh Aldo. Beberapa proyek baru memang diserahkan pada Aldo seratus
Aldo mengikuti arah pandang Maura. Dia langsung terkekeh geli begitu melihat Santi yang bergelayut manja di leher Panjull."Memang seperti itulah hubungan mereka. Aku dan Bima pertama kali melihatnya juga sampai terkejut karena ternyata persahabatan antara manusia dengan kerbau itu bukan sebatas dongeng belaka." Aldo kembali melanjutkan aktivitasnya dan membiarkan Maura menikmati pemandangan yang seumur hidup tidak akan mungkin dia lupakan itu.Di belakang Santi masih ada sebuah mobil yang dikendarai oleh Septa. Awalnya Aldo tidak merasakan sebuah kejanggalan apapun sampai dia melihat mobil yang mencurigakan berada cukup jauh dari sana."Aku harus memastikan bahwa itu bukan orang-orang yang berbahaya," batin Aldo.Dia segera menelpon Septa untuk memastikan dugaannya. Namun siapa sangka jawaban Septa malah membuatnya geram."Kenapa kamu bisa seceroboh itu, hah!" Aldo mengomel sambil menutup teleponnya.Dia segera mengirim pesan kepada Bima karena dilihatnya Bima masih sibuk bercengkram