Share

4. Istri Pertama

Cesa seketika menatap nanar Zevin, "Kalau begitu, ceraikan aku.”



Rasa hormat atau takut menguap dari dalam diri Cesa akibat tajamnya lisan Zevin. Sungguh, dia lebih baik hidup di jalanan dibanding menghadapi pria itu.



Zevin seketika melepas kedua tangan Cesa.



Karena tak siap, gadis itu limbung dan terlentang di kasur.



"Jika bisa, aku tak akan pernah menikahimu!" ucapnya dingin lalu keluar tanpa menoleh sedikitpun–meninggalkan Cesa yang kini kembali menyusut air matanya.



"Tidak apa, Cesa! Kamu hanya harus kuat untuk papa!" gumamnya–menguatkan diri.



Cukup lama dia menata pikirannya setelah drama-drama yang dialaminya hari ini.



Tak sadar, dia pun tertidur.



Hanya saja, beberapa jam kemudian, Cesa merasakan pundaknya disentuh seseorang.



"Nak, Bangun!"



Vivian tampak menggoyang tubuh Cesa sembari menahan senyum.



Melihat kebaya Cesa robek dan banyak bekas merah di dadanya, Vivian meyakini itu ulah putranya.



"Tante?” Cesa mengerjapkan mata, terkejut.



"Mama, Cesa. Bukan Tante!" tegas Vivian, "Segera mandi agar kita bisa makan malam!" ajaknya.



Cesa seketika mengangguk. "Maaf, Ma! Cesa lupa," jawabnya, “Baik, Ma. Cesa akan segera membersihkan diri.”



Tak butuh waktu lama, Cesa pun mandi dan berganti pakaian dengan yang Vivian berikan.



Sebuah dress berwarna putih berbahan sutra, hingga membuat lekuk tubuh Cesa terlihat menggoda.



Menuruni tangga, Cesa pun bergabung dengan Vivian dan Zevin di meja makan.



"Maaf telat!" ucapnya.



"Tidak apa, Ayo duduk, Sayang!" jawab Vivian, ramah.



Dalam diam, mereka pun makan tanpa ada yang saling berbicara atau memandang.



Semua fokus dengan makanan di piring masing-masing, kecuali Vivian.



Nyonya Besar Atmaja itu sibuk melihat anak dan menantu barunya.



"Sa, malam ini, kamu masih tidur di kamar Zevin dulu, ya. Baru besok pindah ke sebelah karena masih belum terisi sempurna!"



Deg!



Cesa tampak susah menelan makanannya.



Ditatapnya Zevin yang masih bersikap dingin dan berakhir mengangguk.



Melihat tanggapan Cesa, Vivian pun tersenyum puas.



Kini wanita itu menatap sang putra, lalu berkata, "Zevin … kamu hari ini tidak ada tugas kantor atau apapun, kan? Jadi tidak ada alasan di ruang kerja! Temani Cesa!"



Namun alih-alih menjawab, Zevin sendiri masih saja makan tanpa memperdulikan Vivian.



Cesa hanya bisa menghela nafas.



Dia tak tahan dengan kondisi seperti ini.



Jadi diputuskannya untuk berbicara, "Ma, Cesa gak bisa berhenti kuliah begitu saja."



“Jadi, apakah Cesa bisa izin untuk magang di perusahaan mulai besok?”



Vivian mengangguk. "Silahkan lanjutkan kuliahmu, Nak! Tapi, setelah hamil nanti, kamu harus cuti dulu!"



“Ba–baik, Ma.” Meski berat, Cesa mengangguk–setuju akan ucapan Vivian.



Toh, dia memang dinikahi untuk melahirkan penerus keluarga Atmaja, kan?



Meski dia tak tahu apakah hal itu mungkin atau tidak, mengingat Zevin bahkan jijik untuk menyentuhnya.



Suasana meja makan kembali seperti semula.



Hanya ada denting sendok, garpu, dan piring.



Cesa sendiri memilih menghabiskan makanan dan langsung pamit kembali ke kamar.



Dia tak ingin kembali canggung jika Zevin yang lebih dulu masuk ke dalam kamar walau Cesa tahu Zevin tidak akan menyentuhnya.



Sesampainya di kamar, Cesa langsung meringkuk di balik selimut sambil menghubungi Raya—teman magangnya.



Begitu panggilan berakhir, pintu kamar mendadak terbuka!



Zevin dengan aura dinginnya–masuk dan duduk di sofa kamar. Akan tetapi, dia menatap Cesa tajam.



Brak!



Dilemparkannya sebuah map di meja sofa, "Buka, cepat!" titahnya dengan tajam.



Cesa menghela nafas panjang.



Tak ingin mencari masalah, dia pun berdiri dan berjalan mengambil map itu kemudian membukanya.



Ternyata, itu sebuah surat perjanjian yang Cesa mau sore tadi!



Apa maksudnya? Bukankah pria itu katanya tak sudi menyentuhnya?



Gegas, Cesa duduk berhadapan dengan Zevin dan membaca setiap poin yang ada di dalam surat perjanjian itu.



"Tes HIV?" ucap Cesa mengerutkan kening, bingung.



"Hmm, pastikan kamu bersih!" ucap Zevin tajam, “mengingat kau sudah kotor.”



Deg!



"Naudzubillah, punya suami kayak kanebo kering dan mulut pedas gini! Kok kuat sih, tante Diandra selama ini?" batin Cesa.



"Tapi, kita tidak saling bersentuhan, kan?" tanya gadis itu memastikan.



"Hmm….” Zevin berdeham sebelum kembali berkata, “masih, tapi hanya sesekali sampai kamu hamil. Selebihnya, hanya Diandra yang berhak atas tubuhku!"



Cesa menaham emosi. Toh, dia juga tak sudi menyentuh kanebo kering duluan macam pria itu!



Tapi, dia memilih untuk mengangguk-angguk saja mendengar jawaban Zevin.



Selain itu, poin-poin yang dibaca Cesa cukup manusiawi, kecuali sebuah kompensasi di poin akhir.



"Aku mau kompensasi ini dihapuskan!" tegas Cesa.



Zevin mengerutkan kening. Namun, tak berapa lama, pria itu menyeringai, "Kenapa? Kurang?"



"Aku bukan ibu yang menjual anaknya! Aku hanya memberikan hak asuh pada ayahnya, saat bercerai!" jawab Cesa.



Zevin tertawa sinis, "Jangan sok suci, kau mau menikah denganku karena uang kan?"



"Hapus atau aku tidak tanda tangan!"



Sejujurnya, Cesa sangat kesal dan sakit hati mendengarnya. Namun, sekali lagi, Cesa tak ingin membela diri.



Di sisi lain, Zevin tampak semakin serius. "Jika demikian, apa jaminannya kau tidak membawa anakku nanti?"



Tanpa banyak bicara, Cesa meraih pena dan menambahkan poin baru.



[8. Hal asuh akan jatuh pada Ayahnya, saat orang tua bercerai]



Setelahnya, Cesa menyerahkan pada Zevin setelah menulis itu.



Zevin terkejut. Namun, dia menyembunyikan itu semua dan setuju dengan apa tulisan Cesa.



"Oke ... aku akan tidur,” ucapnya, “jangan ganggu privasiku atau menyentuhku! Kau bisa tidur di bawah atau di sofa. Yang jelas, aku tidak sudi seranjang denganmu!" ketus pria itu yang akhirnya berlalu dan menuju ranjangnya untuk tidur.



Cesa sendiri beralih menuju sofa panjang yang baru saja ditinggalkan Zevin dan merebahkan diri di sana.



Dia juga tidak keberatan karena dia juga tidak siap tidur seranjang dengan Zevin!



Hanya saja, Cesa ternyata tak bisa tidur walau 2 jam berlalu.



Entah mengapa, pikirannya dipenuhi kejadian naas malam itu.



Bagaimana bisa, Cesa harus melayani suaminya nanti bila dirinya masih merasa hina?



Walau sekedar perjanjian atau istri kedua saja, sebenarnya Cesa tetap merasa bersalah karena tidak memberikan mahkotanya pada suami sahnya.



Cesa lantas membalikkan badan dan tak sengaja melihat Zevin yang menutup mata sambil melipat kedua tangannya di belakang kepalanya.



Disadarinya lengan Zevin yang kekar dan perutnya terlihat rata meski sudah berumur.



Hanya saja, mata Cesa membelalak kala melihat benda menonjol di balik celana Zevin…



Bugh!



Detik berikutnya Cesa memukuli kepalanya sendiri.



"Astaga! Apa aku kesambet setan? Bisa-bisanya, aku kepikiran itu dengan suami kejam macam Om Zevin!” rutuknya dalam hati.



Brak!



Di saat yang sama, pintu kamar mendadak terbuka dengan kasar.



Diikuti dengan suara teriakan yang melengking, "Keparat! Jalang mana yang menikahi suamiku?"



Deg!



"Tante Diandra?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status