Share

4. Positif

**

Rasa pening itu masih tersisa saat Binar berusaha membuka mata. Ia mengerjap sesaat, berusaha membiasakan diri dengan keadaan sekitar. Saat terlihat jelas olehnya langit-langit ruangan yang putih dan terang, Binar tahu ia tidak sedang berada di rumah.

Perempuan itu menoleh ke sana kemari, menemukan dirinya berada di ruangan terang, yang jelas sekali adalah rumah sakit.

“Kenapa denganku?” gumamnya lirih. “Tadi kayaknya aku lagi di kamar dan mau mandi. Terus ….”

“Kamu sudah sadar, Binar?”

Binar mengalihkan pandang ke arah pintu ruangan yang mendadak terbuka. Dua orang baru saja datang dan masuk dari sana.

“Tuan WIlliam?”

“Bagaimana perasaanmu? Ada yang sakit?”

Binar menggeleng. Ia tidak akan mengeluh hanya karena sedikit pusing. “Kenapa saya dan anda berada di sini?”

“Kamu pingsan di kamar. Para pegawai rumah meneleponku, jadi aku langsung datang dan bawa kamu ke sini.”

Binar mengerutkan dahi mendengar penjelasan William. Ia merasa bersalah. “Tapi Mbak Rachel sedang sakit, kan? Apakah nggak apa-apa anda di sini?”

“Nggak masalah. Ada maid yang menjaganya. Lebih dari itu, ada yang harus disampaikan sama dokter.” William melangkah menepi, memberikan ruang kepada dokter yang juga tengah berada di sana. Itu adalah Dokter Ardi. Dokter obgyn yang memeriksa Binar tempo lalu. Mendadak saja Binar merasa cemas karena mengira ada hal buruk terjadi dengan dirinya.

Ia ingat, William menyuruhnya tidak melakukan apapun, tapi ia malah menyiram bunga sehalaman penuh. Nah, namun raut wajah Dokter Ardi tidak menyiratkan sesuatu yang buruk sedang terjadi. Pria separuh baya itu tersenyum.

“Nyonya Binar, sebelumnya saya ucapkan selamat. Menurut pemeriksaan yang sudah dilakukan, anda saat ini sedang mengandung. Itulah mengapa anda pingsan. Tubuh anda masih beradaptasi.”

Kedua manik gelap Binar seketika melebar. “Secepat itu, Dokter?”

“Nah, bukankah ini memang yang kalian tunggu-tunggu? Ini kabar bahagia, kan?”

Perempuan itu terdiam. Mencoba mengingat kembali, ia memang baru saja selesai haid saat melangsungkan pernikahan waktu itu. Jika kala itu ia sedang berada dalam masa subur, maka benar saja jika ia bisa hamil secepat ini.

“Kamu dengar itu, Binar? Dokter bilang, kamu sedang mengandung.” William menyambut dengan wajah berseri-seri. “Wah, ini seperti keajaiban. Aku juga nggak mengira akan secepat ini.”

“Usia kandungan Nyonya Binar baru saja menginjak minggu ketiga. Ini waktu yang rentan, jadi saya harap anda berhati-hati dalam beraktivitas.”

“Seberapa sering kami harus mengecek kandungannya, Dokter? Apakah ada hal-hal yang dianjurkan atau dilarang?”

Binar mengalihkan pandang kepada William, yang kemudian antusias berdiskusi dengan Dokter Ardi. Lebih dari satu bulan selalu melihat wajah pria itu yang senantiasa datar dan dingin, kali ini Binar merasa William sangat berbeda.

Raut berseri-seri dan bahagia itu tampak jauh lebih … tampan.

Apa yang aku pikirkan?” Perempuan itu membatin sembari mengalihkan pandang dari sang suami. “Aku hanya menjalankan perjanjian yang sudah kami sepakati. Waktuku tersisa sembilan bulan ke depan. Setelah itu, aku harus pergi meninggalkan Tuan William dan bayi yang saat ini berada dalam rahimku.”

Binar menghela napas. Mengapa semuanya justru jadi terasa berat?

“Tuan William, saya nggak apa-apa, kok. Saya baik-baik saja sekarang. Sebaiknya anda kembali pulang ke rumah. Takutnya Mbak Rachel membutuhkan anda di sana.”

Binar berujar dengan serius sepulangnya dari rumah sakit. Karena tidak ada keadaan yang urgent dan dokter berkata ia hanya perlu istirahat, maka Binar meminta segera pulang saja.

“Kamu akan sendirian malam ini.” William berkata dengan nada bimbang.

“Rumah ini penuh dengan orang-orang, Tuan. Saya nggak masalah, lagian kan juga sudah terbiasa.”

Sungguh, Binar sama sekali tidak merasa suaminya perlu menungguinya malam ini. Ia merasa sangat sehat saat ini.

“Saya bahkan sudah nggak pusing lagi, kok. Bukankah Mbak Rachel yang harus lebih dikhawatirkan?”

Namun William menggeleng. “Kamu ikut pulang saja, Binar. Mulai hari ini, kamu pindah dan tinggal bersamaku dan Rachel saja. Biar aku bisa memantaumu setiap hari. Mansion ini jaraknya agak jauh dari kantor, jadi kurang efisien kalau aku harus pulang pergi setiap harinya.”

“Ta-tapi–”

“Lagian kalau kamu tinggal bersama kami, ada Rachel yang bisa jadi teman ngobrol. Dia memang sering nggak ada di rumah karena pekerjaannya, tapi kalau tinggal bersama kan setidaknya waktu bertemu kalian jadi lebih banyak.”

Binar mengeluh dalam hati. Bukankah itu justru yang terburuk? Ia tidak akan pernah lupa pertemuan pertamanya dengan Rachel yang jauh dari kata mengesankan.

“Bagaimana? Kamu mau, kan? Ini demi kebaikan semua orang juga.”

“Tapi apakah Mbak Rachel nggak apa-apa? Saya takutnya Mbak Rachel jadi nggak nyaman kalau saya juga berada di sana.”

“Astaga, Rachel bukan perempuan seperti itu, Binar. Dia sangat baik. Kamu hanya belum mengenalnya saja.”

Benarkah itu? Entah mengapa Binar tidak merasa demikian. Namun, apalah kuasanya untuk menolak kata-kata William Aarav? Sekali lagi, Binar hanyalah perempuan yang William nikahi karena sebuah desakan terpaksa, bukan karena rasa.

“Baiklah kalau begitu. Selama Mbak Rachel nggak keberatan, saya nggak apa-apa.”

William sontak tersenyum dan kembali menampakkan wajah berseri-seri. “Kamu bawa barang seperlunya saja. Aku akan belikan lagi yang baru nanti. Terutama baju, mungkin kamu akan perlu baju-baju baru kalau perut kamu sudah membesar nanti. Besok saja kita belanja.”

“Tuan, sungguh, nggak perlu sampai seperti itu.”

“Apa maksudmu nggak perlu? Tentu saja ini perlu. Aku akan panggil pegawai rumah buat bantu kamu packing. Tunggu sebentar.”

Binar baru saja akan mengatakan itu juga tidak perlu. Hanya mengemas beberapa pasang pakaian, sama sekali tidak membuatnya keberatan sampai butuh bantuan segala.

Binar merasa William jadi terlalu berlebihan. Tapi jika diingat lagi bagaimana perjuangannya untuk mendapatkan keturunan selama lima tahun ini, rasanya wajar saja pria itu jadi terlampau excited.

“Lagi-lagi, aku yang merasa bersalah sama Mbak Rachel.” Binar menghela napas sementara memandangi pintu kamar, di mana William baru saja menghilang.

**

Perjalanan dari mansion ke rumah pribadi William Aarav memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Sepanjang perjalanan itu Binar terus berusaha menampakkan wajah tenang sekalipun hatinya dilamun rasa gelisah yang hebat.

Bagaimana jika Rachel Aluna tidak senang dengan kedatangannya? Bagaimanapun William membuat keputusan secara sepihak dan tidak minta izin dulu kepada sang istri pertama.

“Kamu mengantuk? Sabar ya, sebentar lagi kita sampai.” Sang tuan yang berada di balik kemudi, berkata pelan setelah menyadari Binar terdiam sepanjang jalan.

“Nggak, Tuan. Nggak apa-apa, saya baik-baik saja.”

“Mulai sekarang, kurang-kurangi kamu berkata baik-baik saja. Kamu harus memberitahuku kalau ada hal-hal yang membuatmu nggak nyaman.”

Binar menahan diri agar tidak tersenyum dan baper. Berkali-kali ia memperingatkan dirinya sendiri, William seperti ini hanya karena anaknya.

“Kamu belum sempat makan malam kan, Binar? Ini belum terlalu malam, jadi masih banyak restoran yang buka. Kamu mau makan apa? Atau kamu mau dibelikan sesuatu?”

“Saya nggak masalah makan apa saja, Tuan.”

“Aku akan menghubungi Dokter Ardi buat tanya kalau-kalau ada jenis makanan yang nggak boleh kamu makan.”

Demi apapun, Binar merasa sangat tidak enak mendapatkan perhatian semacam itu. Binar tidak bilang keluarganya jahat, namun seumur hidup, ia tidak pernah mendapatkan perhatian sebesar itu. Terlebih lagi, dirinya hanyalah anak tiri. Maka sekarang saat William bersikap demikian kepadanya, ia merasa sedikit mendapat shock culture.

Lebih dari itu, ini terasa sangat mengherankan. Selama satu bulan ini, dari awal Binar mengenal William, pria itu benar-benar dingin dan terkesan membatasi diri. Interaksinya dengan Binar hanyalah seputar malam-malam panas namun tanpa rasa cinta yang telah keduanya lewati bersama.

Maka wajar jika kali ini Binar begitu heran saat William bersikap seperti layaknya seorang suami.

“Bagaimana, Binar?” William mengulangi ketika satu yang lain justru terdiam.

“Kita langsung pulang saja, Tuan. Saya bisa makan malam di rumah saja. Kasihan kalau Mbak Rachel nanti menunggu lama.”

Tatapan William seketika tampak menyelidik. “Kamu yakin?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status