Share

5. Tinggal Bersama

**

“Seratus persen.”

Pria itu melayangkan senyum tepat setelah Binar mengatakannya.

Jantung Binar mendadak terasa jumpalitan. Buru-buru ia mengalihkan pandangan agar tidak terus-terusan terbawa rasa.

Sangat berbahaya jika William terus-terusan bersikap manis seperti ini.

Tak lama kemudian, mobil berbelok memasuki pelataran sebuah rumah minimalis modern yang berdiri megah di pusat kota. Binar memandangnya dengan takjub. Kadang-kadang ia lupa, suami sementaranya ini adalah seorang pengusaha sukses pemilik banyak hotel berbintang dan beberapa bisnis manufaktur yang tersebar di kota-kota besar.

Namun mengingatnya, membuat Binar insecure dan kembali merasa tidak layak.

“Kenapa wajah kamu begitu? Ayo, masuk.” William berujar saat Binar hanya diam di tempat. Perempuan itu tidak sadar bahwa mobil sudah berhenti. 

“Jangan takut, nggak ada orang lain selain aku dan Rachel. Semua pegawai rumah nggak akan datang kalau nggak dipanggil.”

“Ah, iya.” Mengangguk gugup, Binar bergerak akhirnya. Ia membuka pintu mobil dan meluncur turun. 

Mengikuti langkah sang suami, memasuki babak baru dalam kehidupannya, yang tidak akan pernah bisa ia duga bagaimana akan berlangsung.

*

“Kenapa dia ada di sini?”

Adalah kata-kata sambutan pertama yang Rachel layangkan begitu melihat William datang bersama Binar.

Tepat seperti yang Binar takutkan. Perempuan cantik bertubuh semampai itu melayangkan pandangan tajam ke arahnya tanpa sungkan-sungkan.

“Kami baru saja pulang dari rumah sakit, Rachel. Binar tadi pingsan, jadi aku membawanya periksa. Kamu tahu, ternyata dia sudah mengandung. Dokter bilang usia kandungannya sekitar tiga minggu.”

Sepasang netra cokelat Rachel sontak membola. Pandangannya bergulir bergantian antara William dengan Binar. “Hamil? Bagaimana bisa secepat itu? Kamu yakin dia hamil dan bukan cuma masuk angin?”

“Apa maksudmu? Tentu saja aku yakin, karena Dokter Ardi yang memeriksa. Lebih dari itu, aku dan Binar kan sudah menikah sekitar satu setengah bulan. Ini bukan sesuatu yang janggal, kan?”

Belum selesai keterkejutan yang menimpa Rachel, sang suami sudah kembali menambahkan, “Mulai hari ini Binar akan tinggal sama kita, Rachel. Agar aku lebih mudah memantau keadaannya. Juga agar kalian berdua bisa menjadi lebih dekat. Ini bagus kan untuk bonding, karena nantinya kamu yang akan jadi ibu si bayi.”

Demi apapun, Binar sama sekali tidak bisa melihat kemungkinan adanya bonding yang dikatakan William itu. Rachel sama sekali tidak terlihat senang dengan kedatangannya di rumah ini.

Binar jadi ragu jika seperti itu. Ia merasa serba salah dengan keadaannya. Apakah sebaiknya ia kembali pulang ke mansion saja? Binar tidak bisa membayangkan bagaimana, jika ia berada satu atap dengan Rachel Aluna selama sembilan bulan ke depan.

“Binar, ayo aku antar kamu ke kamar. Kamu harus banyak istirahat seperti yang Dokter tadi bilang, kan? Sebaiknya kamu menempati kamar di lantai bawah saja, ya? Biar nanti nggak capek naik turun tangga.” 

“Eh, itu–”

“Lewat sini, kamarnya ada di sebelah sini.”

William menunjukkan jalan, membuat Binar mau tak mau mengikutinya. Ia mengangguk ragu dan menggumamkan ucapan selamat malam kepada istri muda suaminya yang tidak menjawab dan hanya terpaku di tempat.

Rachel terdiam, tak mengatakan apapun. Namun raut wajahnya terlihat seperti ia baru saja dihantam satu kenyataan tragis.

“Benarkah Mbak Rachel nggak apa-apa, Tuan?” tanyanya begitu William membukakan pintu sebuah kamar untuk dirinya. “Saya takut Mbak Rachel merasa nggak nyaman dengan adanya saya di sini.”

“Apa sih yang kamu khawatirkan? Sudahlah, jangan mikir macam-macam, kamu lihat sendiri kan, Rachel nggak apa-apa.”

Binar sama sekali tidak melihat sisi ‘nggak apa-apa’ seperti yang William katakan. Benarkah pria itu sama sekali tidak menyadari tatapan dingin penuh hawa permusuhan yang istri pertamanya alamatkan kepada Binar tadi?

“Kamu istirahat saja sekarang. Aku akan panggilkan maid rumah untuk bawakan kamu makan malam. Apakah kamu membutuhkan sesuatu yang lain? Aku akan membawakannya untukmu.”

Buru-buru Binar menggeleng. “Nggak, nggak ada. Sebaiknya anda menemani Mbak Rachel saja sekarang. Bukankah tadi dia sedang sakit? Kasihan Mbak Rachel, Tuan.”

Kedua alis William terangkat mendengar itu. “Oke. Kamu nggak perlu sungkan minta apapun sama maid rumah. Katakan saja kalau kamu butuh sesuatu. Aku ada di kamarku, di lantai atas.”

Binar mengangguk tanpa peduli kamar suaminya ada di mana. Ia ingin William cepat meninggalkannya sendirian, sebab ia membutuhkan waktu untuk memikirkan semua ini.

Selepas kepergian sang suami, Binar baru bisa menghela napas. Kamar ini luas sekali, dan tidak kalah mewah dengan kamar mansion yang sebelumnya, namun entah bagaimana Binar masih juga merasa sesak.

Beberapa saat kemudian, pintu kamarnya kembali terbuka. Binar terhenyak, sebab kali ini Rachel yang datang. Perempuan jelita itu berdiri di ambang pintu, memandang Binar dengan raut keruh.

“Mbak Rachel?” sapanya, berusaha bersikap ramah. “Ada apa, Mbak?”

“Benarkah kamu hamil?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Ya, emm … menurut pemeriksaan dokter, memang seperti itu.”

“Aku nggak percaya kamu hamil secepat ini. Kamu nggak sedang berusaha menipu suamiku, kan?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status