Share

5. Histeris

“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Bara tak sabaran pada dokter yang baru saja selesai melakukan penanganan pada Keira. 

Wajahnya tampak pucat, cemas, dan penuh ketegangan, seolah-olah dunia sedang menggantungkan nasibnya pada jawaban sang dokter.

“Syukurlah Anda membawa pasien tepat waktu, sehingga kami bisa segera melakukan penanganan padanya. Sedikit saja terlambat, bisa-bisa membahayakan nyawa pasien dan kandungannya.”

“K–kandungan? M–maksud dokter Keira hamil?” Bara tergagap, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Jawaban dokter itu seperti palu godam yang menghantam perasaan Bara.

Dadanya berdebar kencang, pikirannya melayang pada malam itu, saat semua terjadi begitu cepat dan tak terduga. Apakah peristiwa malam itu dengan Keira benar-benar membuahkan hasil?

“Benar, pasien hamil. Sekarang kondisinya sudah membaik, tetapi masih harus dirawat di sini satu atau dua hari lagi. Kondisi tubuhnya memang sudah mulai stabil dan kandungannya pun masih bisa diselamatkan. Hanya saja keadaan janinnya agak lemah.”

Bara dilanda kebingungan seketika. Jujur ia tak tahu harus bersikap bagaimana? Keira benar hamil dan ia yakin anak itu adalah hasil dari perbuatannya malam itu. Ia lah yang merenggut kegadisan Keira. Ketika Bara bangun pagi itu dan tak menemukan Keira di sebelahnya, ia sempat melihat noda darah di atas ranjang yang mereka tiduri bersama.

***

Aroma obat menguar kuat, seperti menyengat rongga hidungnya, begitu Keira membuka mata. Kepalanya masih terasa berat dan tubuhnya pun masih lemas sekali. 

Tembok putih, lantai putih, dan langit-langit putih. Apakah semua warna putih ini menandakan bahwa dia sudah berpindah alam?

Keira mencoba tersenyum, tetapi saat matanya menangkap infus yang terpasang di tangannya, senyum itu memudar.

"Rupanya aku belum mati," gumamnya dengan nada kecewa. "Kenapa aku masih hidup? Kenapa Tuhan enggak membiarkanku mati aja? Aku enggak mau hidup menanggung beban berat yang memalukan kayak gini”

Dengan tatapan kosong ke langit-langit, air mata mulai mengalir di pipi Keira. Bukan ini yang Keira kehendaki. Ia tak mau berada di dunia ini lagi dan ingin menyusul Papanya di alam sana. Tetapi mengapa Tuhan malam mengirimnya kembali ke dunia?

Tegakan Tuhan menyaksikan ia menanggung derita, kalau tetap hidup di dunia dengan membawa anak haram dalam perutnya? 

Memikirkan mengenai anak haram, Keira berjengit sambil meremas perutnya. “Apa dia masih bertahan di perutku? Atau sudah gugur dia?” gumamnya dengan suara bergetar penuh kecemasan

Benak Keira terus mengalunkan pertanyaan yang sama. Setidaknya tak apa kalau ia masih diberi hidup, asalkan obat yang ia tenggak, berhasil meluruhkan buah kesalahan yang telah ia ketahui tumbuh di rahimnya.

“Keira!” Bara tampak terkejut sekaligus lega begitu kembali menebus obat Keira, ia melihat gadis itu tak lagi memejamkan mata.

Hatinya yang sempat kalut kini sedikit tenang melihat Keira telah sadar, meski khawatir akan reaksi gadis itu terhadap dirinya.

“Om Bara? Kenapa Om bisa ada di sini?!” tanya Keira memicingkan mata penuh kecurigaan. “Jangan bilang, kalau Om Bara yang bawa Keira ke rumah sakit ini?”

Bara menghela nafas panjang sembari menganggukan kepalanya. “Om tidak tahu kenapa kamu sampai berbuat nekat seperti itu, Kei. Tapi, sangat bersyukur karena bisa membawamu kemari tepat waktu.” Suaranya penuh dengan kekhawatiran.

“Kenapa Om lancang banget?! Bisa enggak sih Om berhenti ikut campur dan biarin aja Keira mati dengan tenang! Terakhir kali juga, waktu Om nyelamatin Keira, malah berujung enggak enak akhirnya. Jadi, mending Om diem aja!” 

Seketika rasa segan dan malu yang Keira pikir akan ia rasakan kalau bertemu lagi dengan Om Bara, kini berganti dengan emosi yang membara.

Ia kesal saat tahu bahwa Om Bara menyelamatkannya dengan buru-buru membawanya ke rumah sakit, menggagalkan usaha bunuh diri yang coba dilakukan oleh Keira.

Bara menggeram mendengar kata "ingin mati" yang terucap enteng dari mulut Keira. Tahukah gadis itu seberapa paniknya dirinya saat melihat Keira sekarat dan nyaris mati di depannya?

“Sampai kapan pun Om tidak akan bisa diam saja melihat kamu meregang nyawa, Kei. Kalau sampai kamu mati dan Om lah penyebabnya, akan sangat besar rasa bersalah Om pada Mahesa.” 

“Kayak Om tahu aja alasan Keira mau mati?!”sengit Keira memunggungi Bara. “Udah lah, mending Om pergi aja, Keira mau sendiri!”

Tak mempedulikan ucapan Keira yang mengusirnya, Bara malah berjalan semakin dekat dan duduk di kursi samping ranjang rawat Keira.

“Kamu mengira Om akan membiarkanmu sendiri setelah apa yang terjadi padamu hari ini? Tidak Kei. Om akan terus di sini sampai memastikan kamu tidak akan pernah berpikiran untuk merenggut nyawamu lagi!” tegas Bara, suaranya bergetar dengan emosi yang tertahan.

“Kenapa Om sok tahu dan suka banget ikut campur, sih?! Pergi aja sana! Keira enggak mau ditemenin Om disini! Lagian ini hidup aku, jadi Om enggak ada hak untuk melarangku mengakhiri hidupku sendiri!” seru Keira, nadanya semakin tinggi dan histeris.

“Harus Om akui, tidak bisa ikut campur atas hidupmu. Tetapi Om berhak untuk mencegahmu ikut melenyapkan darah daging Om yang ada di rahimmu. Bagaimanapun, Om adalah ayah dari anak di kandunganmu dan Om punya hak atas hidupnya.”

“J–jadi dia masih hidup?!” Mendapati Bara menyinggung masalah anak membuat Keira seketika refleks duduk dan memegang perutnya. “Enggak! Aku enggak mau dia masih ada di dalam sini!” 

Keira tak bisa menerima kenyataan bahwa janin di perutnya masih bertahan hidup. Kenapa tidak mati saja? Kalaupun masih diberi hidup, Keira tidak ingin menanggung beban hamil anak jadah.

“Tenang lah, Kei. Kalau kamu terlalu emosi, bisa mempengaruhi kandunganmu. Dokter mengatakan kalau kondisi janinnya agak melemah, jadi tolong jangan terlalu emosi. Saya tahu kamu  belum bisa menerima kehamilanmu, tapi tolong jangan menyakiti dirimu sendiri, ucap Bara menurunkan nada suaranya, berusaha menenangkan Keira.

Buru-buru Bara menahan tangan Keira yang meremas perutnya sendiri dengan begitu kencang. Masalahnya tak hanya sekedar meremas, tetapi Keira juga memukuli perutnya bertubi-tubi.

“Akh! Lepasin! Aku enggak mau hamil! Kenapa janin sialan ini enggak mati aja?! Buat apa aku hidup, tapi harus menanggung penderitaan hamil kayak gini?!” Keira berteriak, memberontak dan mencabut infus di tangannya dengan histeris.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status