"Tuan, saya ingin melaporkan perkembangan terbaru mengenai Nona Keira. Selama seminggu ini, ia mengurung diri di kamar dan tidak keluar sama sekali. Dari rekaman kamera tersembunyi yang saya pasang, terlihat bahwa Nona Keira juga sepertinya jarang menyentuh makanan."
Begitulah laporan mingguan yang dipaparkan oleh mata-mata sewaan yang Bara tugaskan untuk melakukan pengawasan pada Keira.
Setelah kejadian malam itu, sulit sekali bagi Bara untuk menemui Keira. Meski begitu, Bara paham, pasti tak mudah bagi Keira untuk bertatapan muka lagi dengannya usai semua yang terjadi pada mereka malam itu.
Sadar untuk sementara waktu ia tak akan bisa menemui Keira di rumah Mahesa untuk melakukan penjagaan dan pengawasan langsung pada anak gadis sahabatnya itu. Oleh karena itu, sengaja ia menyewa mata-mata untuk mengawasi dan memasang kamera pengawas tersembunyi di kamar Keira.
“Baiklah. Cukup sampai di sini saja laporanmu, sisanya akan saya pantau sendiri dari kamera pengawas,” pungkas Bara sambil mengibaskan tangannya, mengisyaratkan pada mata-mata itu untuk segera keluar dari ruang kerjanya.
Pria berpakaian formal itu membungkuk hormat pada Bara dan segera pergi sesuai dengan perintah Bara.
Setelah mata-mata sewanya benar-benar lenyap dari pandangannya, mata Bara tampak fokus mengamati monitor di depannya.
Pandangan matanya tampak sayu dan sendu, kala menyaksikan sendiri betapa semrawut dan kuyunya penampilan Keira dari balik kamera pengawas di kamar Keira yang terhubung dengan monitor di ruang kerjanya.
Pancaran mata yang sendu lama-lama berubah membelalak, tatkala ia menyaksikan Keira menenggak bermacam-macam obat berbeda-beda dari satu botol yang sama bersamaan dengan air mineral juga.
Awalnya, Bara hanya mengernyitkan dahi sewaktu gadis itu mengambil kotak obat, tetapi ketika ia tahu Keira berusaha bunuh diri dengan menelan berbagai pil obat, Bara benar-benar terperanjat.
"Astaga, Keira!" Bara berseru, suaranya serak oleh kepanikan yang mendadak menyergap. Tanpa berpikir panjang, ia segera menghubungi nomor telepon rumah Keira, berharap Bi Darmi bisa segera bertindak.
Namun, panggilannya tak kunjung diangkat. Waktu terus berjalan dan Bara semakin panik. Dengan langkah tergopoh-gopoh, ia mengambil kunci mobil dan berlari sekencang mungkin menuju tempat mobilnya diparkirkan.
Apa pun yang terjadi, Bara harus segera sampai di rumah Mahesa untuk menyelamatkan Keira, sebelum pengaruh obat-obatan tadi bisa benar-benar mencelakakan gadis itu.
Bara mengemudi dengan kecepatan tinggi, hatinya dipenuhi kecemasan yang tak tertahankan.
Ia tak henti-hentinya berdoa dalam hati agar masih ada waktu untuk menyelamatkan Keira.
Setibanya di rumah Keira, ia langsung berlari menuju pintu depan dan membunyikan bel dengan keras.
Bi Darmi yang mendengar suara bel yang memekakkan telinga segera membuka pintu, terkejut melihat Bara yang tampak begitu panik.
"Tuan Bara! Ada apa?!" tanya Bi Darmi dengan suara gemetar.
"Di mana Keira?! Cepat, antar saya ke kamarnya!" Bara berteriak, suaranya penuh urgensi.
“Non Keira tidak ada di rumah, Tuan. Jadi Bibi tidak bisa membiarkan orang lain masuk ke rumah karena begitulah pesan Non Keira.”
Bi Darmi langsung mencegah Bara yang baru datang, tetapi tiba-tiba ingin Bara menerobos masuk ke dalam rumah.
“Saya tahu Keira berada di kamarnya. Tolong jangan berbohong dan menghalangi saya masuk, kalau Bibi tidak ingin terjadi hal buruk pada Keira!” tandas Bara.
Tak ingin berlama-lama bicara, Bara melanjutkan aksinya menerobos masuk. Bi Darmi tak bisa menghalangi lagi karena takut ucapan Bara benar adanya.
Akhirnya diikutinya saja langkah Bara menuju kamar Nonanya. Sampai di depan kamar Keira, Ia menggedor pintu keras-keras sambil memanggil nama Keira, tapi tak ada jawaban.
"Keira! Kalau kamu masih sadar, tolong jawab saya." Bara terus berteriak, suaranya penuh kepanikan.
Menyadari kalau sepertinya pintu kamar gadis itu terkunci dari dalam, membuat Bara semakin khawatir.
Tak ada pilihan lain, Bara mendobrak pintu kamar Keira. Dengan sekuat tenaga, ia mendorong pintu hingga terbuka.
Begitu pintu terbuka, pandangannya langsung tertuju pada tubuh Keira yang tergeletak lemas di lantai, dengan sisa pil yang berserakan di sekitarnya gadis itu.
Sementara itu, Keira merasakan pahit dari obat-obatan itu mengalir ke tenggorokannya. Tetapi Keira tidak peduli. Ia memang sengaja menelan semua obat-obatan itu dengan tekad yang sudah bulat.
Lama-kelamaan, Keira merasakan jantungnya berdegup kencang, keringat dingin membasahi keningnya. Pandangannya mulai kabur dan rasa sakit seperti diremas-remas dari dalam perutnya semakin tak tertahankan.
Tampaknya dengan tangan bergemetaran, Keira mencoba meraih ujung tempat tidur, tetapi kekuatannya sudah benar-benar menghilang.
"Maafin Keira, Papa. Maafin Keira," gumamnya lemah, nyaris tak terdengar.
Hati Keira berat dengan penyesalan dan rasa putus asa yang mendalam. Kalau ia akan mati menyusul Papanya, artinya ia tak pernah akan bisa memenuhi janji pada Papanya. Seluruh harapan, segenap impian, semuanya hancur berantakan di hadapannya.
Mata Keira mulai menutup. Sejenak, wajah Papanya terlintas di benaknya, tersenyum penuh kasih dan kehangatan. Senyum Papanya yang selalu membuatnya merasa aman dan dicintai.
Namun, wajah itu segera digantikan oleh bayangan kelabu yang sedikit demi sedikit menyeretnya ke dalam kegelapan.
Kesadaran Keira semakin pudar, dan ia merasa dirinya tenggelam dalam lautan kegelapan yang dalam.
Sebelum kesadarannya menghilang sepenuhnya, samar-samar Ia mendengar suara pria yang ia sangat familiar. Suara Om Bara yang memanggil namanya, membuat jiwanya tersentak
“Keira! Keira!" Suara itu menggema di telinganya, penuh kecemasan. Tapi suara itu hanya membuatnya ingin segera memejamkan mata untuk selamanya, melarikan diri dari kenyataan yang begitu memalukan dan menyakitkan.
"Keira, jaga kesadaranmu! Tolong jangan pejamkan matamu dulu!" Teriakan itu semakin mendekat, tetapi bagi Keira, itu adalah panggilan dari dunia yang ingin ia tinggalkan.
Pandangannya semakin mengelap, kesadaran Keira semakin memudar, dan busa mulai keluar dari mulutnya. Hanya ada satu harapan dalam benaknya: bahwa semua rasa sakit ini akan segera berakhir.
Mengetahui Keira dalam bahaya, Bara lekas-lekas menggendong Keira dengan hati-hati dan segera melarikan gadis itu ke mobilnya.
Setelahnya, dengan sigap Bara mengemudikan mobilnya, melaju secepat mungkin menuju rumah sakit terdekat.
Di dalam mobil, Bara terus-menerus memeriksa Keira, memastikan gadis itu masih bernafas meski dalam kondisi kritis.
Wajahnya penuh kekhawatiran, bayangan sahabatnya yaitu almarhum Papa Keira, terus menghantuinya.
"Bertahan lah, Keira. Jangan sia-siakan hidupmu seperti ini atau Om akan merasa begitu bersalah pada Mahesa karena tak bisa memenuhi janji Om menggantikannya untuk menjagamu," gumam Bara, meski Ia tahu gadis itu tak mungkin mendengarnya dalam kondisi seperti ini.
Semoga saja, kali ini Bara bisa kembali menyelamatkan Keira tepat waktu. Seperti malam itu, ketika Bara mendapatkan laporan dari mata-mata yang ia tugaskan untuk mengawasi Keira.
Malam itu, begitu mata-mata suruhannya melaporkan kalau Keira pergi ke klub malam dan menyentuh alkohol, Bara buru-buru pergi meninggalkan rapat kantornya.
Untung saja belum terlambat untuknya menyelamatkan Keira malam itu. Meski ujungnya, ia terpaksa harus melakukan sesuatu yang tak bermoral kepada gadis itu, demi membantu menghilangkan pengaruh obat perangsang, yang entah bagaimana bisa masuk ke dalam tubuh Keira.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Bara tak sabaran pada dokter yang baru saja selesai melakukan penanganan pada Keira. Wajahnya tampak pucat, cemas, dan penuh ketegangan, seolah-olah dunia sedang menggantungkan nasibnya pada jawaban sang dokter.“Syukurlah Anda membawa pasien tepat waktu, sehingga kami bisa segera melakukan penanganan padanya. Sedikit saja terlambat, bisa-bisa membahayakan nyawa pasien dan kandungannya.”“K–kandungan? M–maksud dokter Keira hamil?” Bara tergagap, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Jawaban dokter itu seperti palu godam yang menghantam perasaan Bara.Dadanya berdebar kencang, pikirannya melayang pada malam itu, saat semua terjadi begitu cepat dan tak terduga. Apakah peristiwa malam itu dengan Keira benar-benar membuahkan hasil?“Benar, pasien hamil. Sekarang kondisinya sudah membaik, tetapi masih harus dirawat di sini satu atau dua hari lagi. Kondisi tubuhnya memang sudah mulai stabil dan kandungannya pun masih bisa diselamatkan. Hanya
Di tengah histeria yang dialami oleh Keira, Tangis gadis itu juga pecah, menghantam ruangan dengan gemuruh kesedihan dan putus asa. Bara terus menahan Keira dengan segala kekuatannya. Merengkuh tubuh rapuh Keira ke dalam pelukannya. Mencoba menenangkan Keira sekaligus melindungi anak yang tak bersalah di dalam rahim gadis itu.Tak peduli jika Keira terus memberontak. Yang penting, ia bisa menghentikan tindakan Keira menyakiti diri dan juga menenangkan kehisterisan gadis itu.Hingga, lama-lama tak ada perlawanan dari Keira. Bukan karena gadis itu tak mampu atau tak ingin melakukannya, tetapi saking hensetrisnya malah membuat Keira lemas dan akhirnya kembali pingsan.Mendapati betapa histeris dan syoknya Keira, membuat Bara yang awalnya dipenuhi keraguan dan kebimbangan, akhirnya terpaksa menentukan sebuah keputusan yang sebenarnya teramat berat untuk ia ambil.Namun, sepertinya Bara tak punya pilihan lain. Ia memang harus mengambil keputusan sulit ini. Demi menjaga Keira. Juga memasti
Mendidih Darah Bara saat Keira dengan entengnya menyarankan untuk melakukan aborsi pada janin di kandungan gadis itu.Bagaimana pun yang ada di dalam rahim Keira adalah bakal darah dagingnya. Tak sampai hati ia ingin menyingkirkan calon anaknya sendiri.Sekalipun anak itu berasal dari kesalahan, tetapi Bara tidak akan pernah menghilangkan kesempatannya untuk terlahir ke dunia sebagai anaknya.Mata Bara menatap tajam, sinar kemarahan terpancar jelas di matanya. “Enteng sekali kamu mengatakan ingin menggugurkan kandungan? Kamu pikir melakukan aborsi hal yang mudah dan tidak membahayakan?!”Keira menghindari tatapan Bara, tangannya meremas ujung bajunya dengan gelisah. “Aku enggak tahu. Tapi setidaknya, hidup aku bisa balik kayak semula,
Semua persiapan pernikahan berjalan begitu cepat. Bara mengatur segalanya dengan rapi dan profesional. Sehingga setelah sehari Keira diperbolehkan keluar dari rumah sakit, Bara langsung melangsungkan acara pernikahannya dengan KeiraMatahari pagi yang menyinari kamar Keira seakan-akan menjadi saksi bisu pergulatan batin Keira. Duduk di depan cermin, ia menatap pantulan dirinya. Wajah yang biasanya memancarkan keceriaan kini tampak murung dan bingung. Di belakangnya, Bara, lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya, berdiri tenang dengan setelan jas hitam yang rapi.Mereka bersiap untuk pernikahan siri mereka, sebuah acara yang dipenuhi dengan berbagai perasaan campur aduk. Keira mengenakan kebaya sederhana, memilih warna putih yang melambangkan kesucian dan juga kesederhanaan.Setelah selesai bersiap, kin
“Ada kuliah pagi, Kei?” tanya Bara saat melihat Keira menuruni tangga dengan penampilan sedemikian rapinya.Dress selutut dipadukan dengan blazer setengah lengan, terbalut elegan di tubuh Keira yang masih terlihat ramping. Mungkin karena perutnya belum terlalu menonjol dan usia kehamilannya masih muda.“Iya, Om,” jawab Keira singkat tanpa melihat ke arah Bara.Tangannya tampak sedang sibuk mencari-cari sesuatu di dalam tas selempang yang bertengger di bahu kirinya.“Sedang mencari apa, Kei? Tak bisakah mencarinya sambil duduk saja?” pinta Bara karena takut Keira jatuh kalau masih berdiri di atas undakan 3 anak tangga terakhir.“Cari kunci mobil, Om. Seinget Keira tadinya ada di
Setelah kemarin tak masuk kuliah karena ulah Om Bara. Akhirnya, hari ini Keira memutuskan datang ke kampus. Bukan hanya sekadar untuk menghadiri perkuliahan, tetapi sekaligus bertemu dengan Kevin.Begitu melihat tubuh Keira menjulang indah di hadapannya, dengan cepat Kevin merengkuh tubuh Keira ke dalam pelukan erat, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa gadis yang telah membuatnya khawatir berminggu-minggu kini benar-benar ada di hadapannya.“Akhirnya kamu masuk kuliah juga, Sayang. Aku khawatir banget waktu kamu tiba-tiba hilang gitu aja dan enggak bisa dihubungi sama sekali,” ucap Kevin dengan suara penuh kelegaan bercampur kebahagiaan tak tertahan.Keira menepuk lembut dada Kevin saat dirasa dekapan pacarnya itu terlalu erat. Ia memang senang di peluk Kevin dan hatinya selalu berbunga-b
“Tiap malam pulang larut dan selalu diantarkan pulang oleh pacarmu lagi?” tegur Bara sejak tadi memperhatikan kepulangan Keira dari balik jendela.Akhirnya, setelah hampir sebulan, Bara memberanikan diri untuk buka suara saat melihat Keira selalu pulang malam diantar oleh lelaki yang sama. Selama ini, sengaja ia diam saja, membiarkan Keira melakukan apa yang diinginkannya. Bara ingin melihat sampai kapan dan sejauh mana Keira akan terus keluar malam bersama pacarnya. Selain itu, dia juga tidak ingin kembali diacuhkan oleh Keira selama seminggu lebih, seperti yang terjadi saat dia memaksa Keira sarapan sehari setelah pernikahan siri mereka.Namun, kali ini Bara merasa tak bisa diam saja karena dianggapnya Keira sudah keterlaluan. Kalau hanya sekedar sampai seminggu, Bara masih bisa menoleransinya. Tetapi hampir genap sebulan, Keira selalu pergi pagi dan pulang malam bersama seorang pemuda, Bara merasa perlu angkat bicara.“Om kan bisa lihat sendiri! Untuk apa sih nanya sesuatu yang u
Kevin baru saja menerima sebuah surat yang diantar oleh satpam rumahnya. Surat itu dari Keira, pacarnya yang sudah hampir 3 tahun bersamanya. Dengan penuh penasaran dan perasaan yang bercampur aduk, ia membuka surat tersebut dan mulai membacanya.Dear Kevin,Maafin aku karena harus mengakhiri hubungan kita dengan cara kayak ini. Aku terlalu takut dan enggak sampai hati untuk bilang langsung sama kamu, Kevin. Aku tahu dengan datangnya surat ini, mungkin akan menyakiti kamu, dan itu adalah hal terakhir yang enggak ingin aku lakukan.Selama kita pacaran, aku sudah melalui begitu banyak hal yang menyenangkan sama kamu, dan aku sangat menghargai setiap momen yang kita habiskan berdua. Kamu adalah orang terbaik yang pernah aku kenal, dan aku beruntung bisa menjadi bagian dari hidup kamu.