Share

4. Kekhawatiran Yang Dalam

"Tuan, saya ingin melaporkan perkembangan terbaru mengenai Nona Keira. Selama seminggu ini, ia mengurung diri di kamar dan tidak keluar sama sekali. Dari rekaman kamera tersembunyi yang saya pasang, terlihat bahwa Nona Keira juga sepertinya jarang menyentuh makanan."

Begitulah laporan mingguan yang dipaparkan oleh mata-mata sewaan yang Bara tugaskan untuk melakukan pengawasan pada Keira.

Setelah kejadian malam itu, sulit sekali bagi Bara untuk menemui Keira. Meski begitu, Bara paham, pasti tak mudah bagi Keira untuk bertatapan muka lagi dengannya usai semua yang terjadi pada mereka malam itu.

Sadar untuk sementara waktu ia tak akan bisa menemui Keira di rumah Mahesa untuk melakukan penjagaan dan pengawasan langsung pada anak gadis sahabatnya itu. Oleh karena itu, sengaja ia menyewa mata-mata untuk mengawasi dan memasang kamera pengawas tersembunyi di kamar Keira.

“Baiklah. Cukup sampai di sini saja laporanmu, sisanya akan saya pantau sendiri dari kamera pengawas,” pungkas Bara sambil mengibaskan tangannya, mengisyaratkan pada mata-mata itu untuk segera keluar dari ruang kerjanya.

Pria berpakaian formal itu membungkuk hormat pada Bara dan segera pergi sesuai dengan perintah Bara.

Setelah mata-mata sewanya benar-benar lenyap dari pandangannya, mata Bara tampak fokus mengamati monitor di depannya. 

Pandangan matanya tampak sayu dan sendu, kala menyaksikan sendiri betapa semrawut dan kuyunya penampilan Keira dari balik kamera pengawas di kamar Keira yang terhubung dengan monitor di ruang kerjanya.

Pancaran mata yang sendu lama-lama berubah membelalak, tatkala ia menyaksikan Keira menenggak bermacam-macam obat berbeda-beda dari satu botol yang sama bersamaan dengan air mineral juga.

Awalnya, Bara hanya mengernyitkan dahi sewaktu gadis itu mengambil kotak obat, tetapi ketika ia tahu Keira berusaha bunuh diri dengan menelan berbagai pil obat, Bara benar-benar terperanjat.

"Astaga, Keira!" Bara berseru, suaranya serak oleh kepanikan yang mendadak menyergap. Tanpa berpikir panjang, ia segera menghubungi nomor telepon rumah Keira, berharap Bi Darmi bisa segera bertindak.

Namun, panggilannya tak kunjung diangkat. Waktu terus berjalan dan Bara semakin panik. Dengan langkah tergopoh-gopoh, ia mengambil kunci mobil dan berlari sekencang mungkin menuju tempat mobilnya diparkirkan. 

Apa pun yang terjadi, Bara harus segera sampai di rumah Mahesa untuk menyelamatkan Keira, sebelum pengaruh obat-obatan tadi bisa benar-benar mencelakakan gadis itu.

Bara mengemudi dengan kecepatan tinggi, hatinya dipenuhi kecemasan yang tak tertahankan. 

Ia tak henti-hentinya berdoa dalam hati agar masih ada waktu untuk menyelamatkan Keira. 

Setibanya di rumah Keira, ia langsung berlari menuju pintu depan dan membunyikan bel dengan keras.

Bi Darmi yang mendengar suara bel yang memekakkan telinga segera membuka pintu, terkejut melihat Bara yang tampak begitu panik.

"Tuan Bara! Ada apa?!" tanya Bi Darmi dengan suara gemetar.

"Di mana Keira?! Cepat, antar saya ke kamarnya!" Bara berteriak, suaranya penuh urgensi.

“Non Keira tidak ada di rumah, Tuan. Jadi Bibi tidak bisa membiarkan orang lain masuk ke rumah karena begitulah pesan Non Keira.”

Bi Darmi langsung mencegah Bara yang baru datang, tetapi tiba-tiba ingin Bara menerobos masuk ke dalam rumah.

“Saya tahu Keira berada di kamarnya. Tolong jangan berbohong dan menghalangi saya masuk, kalau Bibi tidak ingin terjadi hal buruk pada Keira!” tandas Bara.

Tak ingin berlama-lama bicara, Bara melanjutkan aksinya menerobos masuk. Bi Darmi tak bisa menghalangi lagi karena takut ucapan Bara benar adanya. 

Akhirnya diikutinya saja langkah Bara menuju kamar Nonanya. Sampai di depan kamar Keira,  Ia menggedor pintu keras-keras sambil memanggil nama Keira, tapi tak ada jawaban.

"Keira! Kalau kamu masih sadar, tolong jawab saya." Bara terus berteriak, suaranya penuh kepanikan.

Menyadari kalau sepertinya pintu kamar gadis itu terkunci dari dalam, membuat Bara semakin khawatir.

Tak ada pilihan lain, Bara mendobrak pintu kamar Keira. Dengan sekuat tenaga, ia mendorong pintu hingga terbuka. 

Begitu pintu terbuka, pandangannya langsung tertuju pada tubuh Keira yang tergeletak lemas di lantai, dengan sisa pil yang berserakan di sekitarnya gadis itu.

Sementara itu, Keira merasakan pahit dari obat-obatan itu mengalir ke tenggorokannya. Tetapi Keira tidak peduli. Ia memang sengaja menelan semua obat-obatan itu dengan tekad yang sudah bulat.

Lama-kelamaan, Keira merasakan jantungnya berdegup kencang, keringat dingin membasahi keningnya. Pandangannya mulai kabur dan rasa sakit seperti diremas-remas dari dalam perutnya semakin tak tertahankan.

Tampaknya dengan tangan bergemetaran, Keira mencoba meraih ujung tempat tidur, tetapi kekuatannya sudah benar-benar menghilang.

"Maafin Keira, Papa. Maafin Keira," gumamnya lemah, nyaris tak terdengar. 

Hati Keira berat dengan penyesalan dan rasa putus asa yang mendalam. Kalau ia akan mati menyusul Papanya, artinya ia tak pernah akan bisa memenuhi janji pada Papanya. Seluruh harapan, segenap impian, semuanya hancur berantakan di hadapannya.

Mata Keira mulai menutup. Sejenak, wajah Papanya terlintas di benaknya, tersenyum penuh kasih dan kehangatan. Senyum Papanya yang selalu membuatnya merasa aman dan dicintai. 

Namun, wajah itu segera digantikan oleh bayangan kelabu yang sedikit demi sedikit menyeretnya ke dalam kegelapan. 

Kesadaran Keira semakin pudar, dan ia merasa dirinya tenggelam dalam lautan kegelapan yang dalam.

Sebelum kesadarannya menghilang sepenuhnya, samar-samar Ia mendengar suara pria yang ia sangat familiar. Suara Om Bara yang memanggil namanya, membuat jiwanya tersentak

“Keira! Keira!" Suara itu menggema di telinganya, penuh kecemasan. Tapi suara itu hanya membuatnya ingin segera memejamkan mata untuk selamanya, melarikan diri dari kenyataan yang begitu memalukan dan menyakitkan.

"Keira, jaga kesadaranmu! Tolong jangan pejamkan matamu dulu!" Teriakan itu semakin mendekat, tetapi bagi Keira, itu adalah panggilan dari dunia yang ingin ia tinggalkan. 

Pandangannya semakin mengelap, kesadaran Keira semakin memudar, dan busa mulai keluar dari mulutnya. Hanya ada satu harapan dalam benaknya: bahwa semua rasa sakit ini akan segera berakhir.

Mengetahui Keira dalam bahaya, Bara lekas-lekas menggendong Keira dengan hati-hati dan segera melarikan gadis itu ke mobilnya. 

Setelahnya, dengan sigap Bara mengemudikan mobilnya, melaju secepat mungkin menuju rumah sakit terdekat.

Di dalam mobil, Bara terus-menerus memeriksa Keira, memastikan gadis itu masih bernafas meski dalam kondisi kritis. 

Wajahnya penuh kekhawatiran, bayangan sahabatnya yaitu almarhum Papa Keira, terus menghantuinya. 

"Bertahan lah, Keira. Jangan sia-siakan hidupmu seperti ini atau Om akan merasa begitu bersalah pada Mahesa karena tak bisa memenuhi janji Om menggantikannya untuk menjagamu," gumam Bara, meski Ia tahu gadis itu tak mungkin mendengarnya dalam kondisi seperti ini.

Semoga saja, kali ini Bara bisa kembali menyelamatkan Keira tepat waktu. Seperti malam itu, ketika Bara mendapatkan laporan dari mata-mata yang ia tugaskan untuk mengawasi Keira. 

Malam itu, begitu mata-mata suruhannya melaporkan kalau Keira pergi ke klub malam dan menyentuh alkohol, Bara buru-buru pergi meninggalkan rapat kantornya. 

Untung saja belum terlambat untuknya menyelamatkan Keira malam itu. Meski ujungnya, ia terpaksa harus melakukan sesuatu yang tak bermoral kepada gadis itu, demi membantu menghilangkan pengaruh obat perangsang, yang entah bagaimana bisa masuk ke dalam tubuh Keira.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status