Share

3. Putus Asa

“Keira harus gimana, Pa?” desah Keira dengan lesu. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil menangis tersedu-sedu.

Setelah mengetahui dirinya tengah berbadan dua, Keira merasa dunianya runtuh. Segala semangat hidupnya seolah lenyap seketika. 

Janji yang telah ia buat pada mendiang Papanya, kini tak mampu lagi menggerakkannya untuk bangun dan berangkat kuliah. 

Bagaimana mungkin di usianya yang baru 20 tahun, ia harus menghadapi kenyataan pahit ini? Tiga tahun memasuki dunia perkuliahan, dan kini harus mengandung di tengah perjalanan itu.

Keira mengurung dirinya di kamar. Sudah hampir seminggu ini ia absen dari perkuliahan. Setiap hari, ia hanya duduk di sudut kamar, memeluk lututnya, memandang hampa ke arah jendela.

Keira takut kehamilannya diketahui orang lain, yang pada akhirnya bisa mencoreng nama baik almarhum Papanya. Ketakutan dan rasa malu itu begitu mendalam, menghantui setiap sudut pikirannya. 

Terkadang ia teringat kembali malam itu. Semua rasa bersalah yang bercampur ketakutan kembali menyeruak, menghancurkan sisa-sisa kekuatannya. 

Bagaimana mungkin ia bisa melanjutkan hidup setelah semua ini? Bagaimana mungkin ia bisa menghadapi kenyataan bahwa ia hamil, hasil dari kesalahannya satu malam yang terjadi akibat kebodohan dan kesalahannya sendiri.

Saat air mata terus mengalir, Keira merasa hampa dan tak berdaya. Ia ingin berteriak, ingin mengusir semua rasa sakit ini, tapi suaranya tercekik dalam kerongkongan. 

Di tengah kepedihan yang mendalam, ia hanya bisa berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk yang segera berakhir. 

Namun, kenyataan tetap membayanginya dengan kejam, menolak memberinya kesempatan untuk lari.

Dalam kebingungan dan keputusasaan, Keira merasakan kekosongan yang semakin dalam. Ia tahu, hidupnya tak akan pernah sama lagi. 

Segala rencana dan cita-cita yang pernah ia miliki, kini terancam hilang selamanya. Sambil memeluk lututnya, Ia hanya bisa menangis, meratapi nasib yang begitu kejam mempermainkannya.

******

“Keira ada, Bi?” tanya Kevin, khawatir dengan kekasihnya yang tak terdengar kabarnya selama seminggu ini.

Semula, Kevin menahan diri untuk tidak datang ke rumah Keira. Terakhir kali mereka bertemu, Kekasihnya itu mengatakan tidak enak badan.

Namun, lama-lama kekhawatirannya semakin besar. Teleponnya tak pernah diangkat. Pesan-pesannya tak pernah dibalas. Akhirnya, ia tak tahan lagi dan memutuskan untuk mencari tahu sendiri.

“A-anu, Den, Non Keira sedang tidak ada di rumah. Terakhir kali Non Keira pamit sama Bibi, katanya mau liburan keluar kota,” jawab Bi Darmi, pembantu rumah tangga di rumah Keira, dengan gugup. Kebohongan yang terpaksa dilontarkannya membuat hatinya tidak tenang.

Bi Darmi masih ingat jelas permintaan Keira beberapa hari lalu. “Tolong beberapa hari ini jangan ke atas, Bi. Keira lagi enggak mau diganggu. Terus kalau ada yang cari Keira, bilang aja kalau Keira enggak ada di rumah dan lagi keluar kota.”

Mata Keira yang sembab dan wajahnya yang penuh kesedihan membuat Bi Darmi tak bisa menolak permintaan itu.

“Bibi tahu Keira pergi ke mana? Atau kira-kira kapan Keira pulang?” tanya Kevin lagi, suaranya semakin cemas. Tak biasanya Keira pergi tanpa memberitahu dirinya.

“Maaf, Den. Non Keira sama sekali tidak bilang apa-apa lagi sama Bibi,” jawab Bi Darmi sambil menundukkan kepala, merasa bersalah karena harus berbohong lagi.

“Ya udah, Bi. Nanti kalau ada kabar dari Keira atau Keira sudah pulang, tolong hubungi saya,” pinta Kevin dengan nada kecewa, sembari menyerahkan nomor teleponnya kepada Bi Darmi.

Dari balik jendela kamarnya, Keira diam-diam memperhatikan interaksi yang terjadi antara pembantunya dan Kevin. Matanya berkaca-kaca, hatinya tersayat melihat kekhawatiran di wajah kekasihnya.

"Maafin aku, Kevin. Bukannya aku enggak mau ketemu kamu, tapi aku ngerasa enggak pantes lagi ketemu kamu dengan keadaan aku yang sudah begini," bisiknya lirih, air mata mengalir di pipinya. 

Melihat Kevin berbalik meninggalkan rumahnya, rasa bersalah dan putus asa semakin menekan dadanya.

Kehadiran Kevin hari ini membuat perasaan Keira semakin terguncang. Rasa depresi dan kebencian terhadap kehamilannya semakin membesar. 

Kehamilan ini adalah mimpi buruk yang tak pernah dibayangkannya. Seumur hidup, ia tak pernah berpikir akan berada dalam situasi seperti ini, hamil di luar nikah, tanpa ikatan pernikahan.

Pikiran untuk melenyapkan nyawanya dan menggugurkan kandungannya terus menghantuinya. Setiap hari, bayangan untuk mengakhiri semua ini semakin kuat. 

Keira tahu bahwa aborsi adalah perbuatan dosa, tetapi ia juga merasa tidak siap untuk hamil.

Beban rasa malu dan ketakutan menjalani hidup sebagai wanita yang hamil di luar pernikahan, membuatnya merasa lebih baik jika ia menyusul Papanya. 

Menuntut pertanggungjawaban Om Bara pun rasanya tak pentas dan tak tahu malu. Bagaimana pun Keira lah yang malam itu memohon-mohon pada Om Bara, sampai pada akhirnya membuat Om Bara terpaksa melakukan perbuatan itu demi menolongnya.

Lagi pula Om Bara juga sudah beristri. Sebagai seorang wanita, ia tak sampai hati menjadi duri dalam rumah tangga Om Bara dan Tante Vera.

Kematian tampak seperti jalan keluar yang paling mudah dari semua rasa sakit dan penderitaan ini.

Dengan netra penuh air mata, Keira bergumam dalam hati, “Lebih baik aku mati saja, daripada harus menanggung malu ini seumur hidup.” Kepedihan yang dirasakannya begitu dalam, dan dunia seakan menutup semua pintu harapan untuknya.

Keputusan Keira untuk merampas nyawanya sendiri sudah bulat. Perlahan, ia bangkit dari lantai dan berjalan tertatih-tatih ke arah tempat obat di sudut kamarnya. 

Tangannya yang gemetar membuka lemari obat, mengeluarkan berbagai macam jenis obat yang tersimpan di sana. Ia menuangkan dan menyatukan berbagai obat itu ke dalam sebuah botol obat yang sama.

Sambil menangis tersedu-sedu, ia menggenggam botol obat itu erat-erat, seolah botol itu adalah satu-satunya jalan keluar dari penderitaannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status