“Keira harus gimana, Pa?” desah Keira dengan lesu. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil menangis tersedu-sedu.
Setelah mengetahui dirinya tengah berbadan dua, Keira merasa dunianya runtuh. Segala semangat hidupnya seolah lenyap seketika.
Janji yang telah ia buat pada mendiang Papanya, kini tak mampu lagi menggerakkannya untuk bangun dan berangkat kuliah.
Bagaimana mungkin di usianya yang baru 20 tahun, ia harus menghadapi kenyataan pahit ini? Tiga tahun memasuki dunia perkuliahan, dan kini harus mengandung di tengah perjalanan itu.
Keira mengurung dirinya di kamar. Sudah hampir seminggu ini ia absen dari perkuliahan. Setiap hari, ia hanya duduk di sudut kamar, memeluk lututnya, memandang hampa ke arah jendela.
Keira takut kehamilannya diketahui orang lain, yang pada akhirnya bisa mencoreng nama baik almarhum Papanya. Ketakutan dan rasa malu itu begitu mendalam, menghantui setiap sudut pikirannya.
Terkadang ia teringat kembali malam itu. Semua rasa bersalah yang bercampur ketakutan kembali menyeruak, menghancurkan sisa-sisa kekuatannya.
Bagaimana mungkin ia bisa melanjutkan hidup setelah semua ini? Bagaimana mungkin ia bisa menghadapi kenyataan bahwa ia hamil, hasil dari kesalahannya satu malam yang terjadi akibat kebodohan dan kesalahannya sendiri.
Saat air mata terus mengalir, Keira merasa hampa dan tak berdaya. Ia ingin berteriak, ingin mengusir semua rasa sakit ini, tapi suaranya tercekik dalam kerongkongan.
Di tengah kepedihan yang mendalam, ia hanya bisa berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk yang segera berakhir.
Namun, kenyataan tetap membayanginya dengan kejam, menolak memberinya kesempatan untuk lari.
Dalam kebingungan dan keputusasaan, Keira merasakan kekosongan yang semakin dalam. Ia tahu, hidupnya tak akan pernah sama lagi.
Segala rencana dan cita-cita yang pernah ia miliki, kini terancam hilang selamanya. Sambil memeluk lututnya, Ia hanya bisa menangis, meratapi nasib yang begitu kejam mempermainkannya.
******
“Keira ada, Bi?” tanya Kevin, khawatir dengan kekasihnya yang tak terdengar kabarnya selama seminggu ini.
Semula, Kevin menahan diri untuk tidak datang ke rumah Keira. Terakhir kali mereka bertemu, Kekasihnya itu mengatakan tidak enak badan.
Namun, lama-lama kekhawatirannya semakin besar. Teleponnya tak pernah diangkat. Pesan-pesannya tak pernah dibalas. Akhirnya, ia tak tahan lagi dan memutuskan untuk mencari tahu sendiri.
“A-anu, Den, Non Keira sedang tidak ada di rumah. Terakhir kali Non Keira pamit sama Bibi, katanya mau liburan keluar kota,” jawab Bi Darmi, pembantu rumah tangga di rumah Keira, dengan gugup. Kebohongan yang terpaksa dilontarkannya membuat hatinya tidak tenang.
Bi Darmi masih ingat jelas permintaan Keira beberapa hari lalu. “Tolong beberapa hari ini jangan ke atas, Bi. Keira lagi enggak mau diganggu. Terus kalau ada yang cari Keira, bilang aja kalau Keira enggak ada di rumah dan lagi keluar kota.”
Mata Keira yang sembab dan wajahnya yang penuh kesedihan membuat Bi Darmi tak bisa menolak permintaan itu.
“Bibi tahu Keira pergi ke mana? Atau kira-kira kapan Keira pulang?” tanya Kevin lagi, suaranya semakin cemas. Tak biasanya Keira pergi tanpa memberitahu dirinya.
“Maaf, Den. Non Keira sama sekali tidak bilang apa-apa lagi sama Bibi,” jawab Bi Darmi sambil menundukkan kepala, merasa bersalah karena harus berbohong lagi.
“Ya udah, Bi. Nanti kalau ada kabar dari Keira atau Keira sudah pulang, tolong hubungi saya,” pinta Kevin dengan nada kecewa, sembari menyerahkan nomor teleponnya kepada Bi Darmi.
Dari balik jendela kamarnya, Keira diam-diam memperhatikan interaksi yang terjadi antara pembantunya dan Kevin. Matanya berkaca-kaca, hatinya tersayat melihat kekhawatiran di wajah kekasihnya.
"Maafin aku, Kevin. Bukannya aku enggak mau ketemu kamu, tapi aku ngerasa enggak pantes lagi ketemu kamu dengan keadaan aku yang sudah begini," bisiknya lirih, air mata mengalir di pipinya.
Melihat Kevin berbalik meninggalkan rumahnya, rasa bersalah dan putus asa semakin menekan dadanya.
Kehadiran Kevin hari ini membuat perasaan Keira semakin terguncang. Rasa depresi dan kebencian terhadap kehamilannya semakin membesar.
Kehamilan ini adalah mimpi buruk yang tak pernah dibayangkannya. Seumur hidup, ia tak pernah berpikir akan berada dalam situasi seperti ini, hamil di luar nikah, tanpa ikatan pernikahan.
Pikiran untuk melenyapkan nyawanya dan menggugurkan kandungannya terus menghantuinya. Setiap hari, bayangan untuk mengakhiri semua ini semakin kuat.
Keira tahu bahwa aborsi adalah perbuatan dosa, tetapi ia juga merasa tidak siap untuk hamil.
Beban rasa malu dan ketakutan menjalani hidup sebagai wanita yang hamil di luar pernikahan, membuatnya merasa lebih baik jika ia menyusul Papanya.
Menuntut pertanggungjawaban Om Bara pun rasanya tak pentas dan tak tahu malu. Bagaimana pun Keira lah yang malam itu memohon-mohon pada Om Bara, sampai pada akhirnya membuat Om Bara terpaksa melakukan perbuatan itu demi menolongnya.
Lagi pula Om Bara juga sudah beristri. Sebagai seorang wanita, ia tak sampai hati menjadi duri dalam rumah tangga Om Bara dan Tante Vera.
Kematian tampak seperti jalan keluar yang paling mudah dari semua rasa sakit dan penderitaan ini.
Dengan netra penuh air mata, Keira bergumam dalam hati, “Lebih baik aku mati saja, daripada harus menanggung malu ini seumur hidup.” Kepedihan yang dirasakannya begitu dalam, dan dunia seakan menutup semua pintu harapan untuknya.
Keputusan Keira untuk merampas nyawanya sendiri sudah bulat. Perlahan, ia bangkit dari lantai dan berjalan tertatih-tatih ke arah tempat obat di sudut kamarnya.
Tangannya yang gemetar membuka lemari obat, mengeluarkan berbagai macam jenis obat yang tersimpan di sana. Ia menuangkan dan menyatukan berbagai obat itu ke dalam sebuah botol obat yang sama.
Sambil menangis tersedu-sedu, ia menggenggam botol obat itu erat-erat, seolah botol itu adalah satu-satunya jalan keluar dari penderitaannya.
"Tuan, saya ingin melaporkan perkembangan terbaru mengenai Nona Keira. Selama seminggu ini, ia mengurung diri di kamar dan tidak keluar sama sekali. Dari rekaman kamera tersembunyi yang saya pasang, terlihat bahwa Nona Keira juga sepertinya jarang menyentuh makanan."Begitulah laporan mingguan yang dipaparkan oleh mata-mata sewaan yang Bara tugaskan untuk melakukan pengawasan pada Keira.Setelah kejadian malam itu, sulit sekali bagi Bara untuk menemui Keira. Meski begitu, Bara paham, pasti tak mudah bagi Keira untuk bertatapan muka lagi dengannya usai semua yang terjadi pada mereka malam itu.Sadar untuk sementara waktu ia tak akan bisa menemui Keira di rumah Mahesa untuk melakukan penjagaan dan pengawasan langsung pada anak gadis sahabatnya itu. Oleh karena itu, sengaja ia menyewa mata-mata untuk mengawasi dan memasang kamera pengawas tersembunyi di kamar Keira.“Baiklah. Cukup sampai di sini saja laporanmu, sisanya akan saya pantau sendiri dari kamera pengawas,” pungkas Bara sambil
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Bara tak sabaran pada dokter yang baru saja selesai melakukan penanganan pada Keira. Wajahnya tampak pucat, cemas, dan penuh ketegangan, seolah-olah dunia sedang menggantungkan nasibnya pada jawaban sang dokter.“Syukurlah Anda membawa pasien tepat waktu, sehingga kami bisa segera melakukan penanganan padanya. Sedikit saja terlambat, bisa-bisa membahayakan nyawa pasien dan kandungannya.”“K–kandungan? M–maksud dokter Keira hamil?” Bara tergagap, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Jawaban dokter itu seperti palu godam yang menghantam perasaan Bara.Dadanya berdebar kencang, pikirannya melayang pada malam itu, saat semua terjadi begitu cepat dan tak terduga. Apakah peristiwa malam itu dengan Keira benar-benar membuahkan hasil?“Benar, pasien hamil. Sekarang kondisinya sudah membaik, tetapi masih harus dirawat di sini satu atau dua hari lagi. Kondisi tubuhnya memang sudah mulai stabil dan kandungannya pun masih bisa diselamatkan. Hanya
Di tengah histeria yang dialami oleh Keira, Tangis gadis itu juga pecah, menghantam ruangan dengan gemuruh kesedihan dan putus asa. Bara terus menahan Keira dengan segala kekuatannya. Merengkuh tubuh rapuh Keira ke dalam pelukannya. Mencoba menenangkan Keira sekaligus melindungi anak yang tak bersalah di dalam rahim gadis itu.Tak peduli jika Keira terus memberontak. Yang penting, ia bisa menghentikan tindakan Keira menyakiti diri dan juga menenangkan kehisterisan gadis itu.Hingga, lama-lama tak ada perlawanan dari Keira. Bukan karena gadis itu tak mampu atau tak ingin melakukannya, tetapi saking hensetrisnya malah membuat Keira lemas dan akhirnya kembali pingsan.Mendapati betapa histeris dan syoknya Keira, membuat Bara yang awalnya dipenuhi keraguan dan kebimbangan, akhirnya terpaksa menentukan sebuah keputusan yang sebenarnya teramat berat untuk ia ambil.Namun, sepertinya Bara tak punya pilihan lain. Ia memang harus mengambil keputusan sulit ini. Demi menjaga Keira. Juga memasti
Mendidih Darah Bara saat Keira dengan entengnya menyarankan untuk melakukan aborsi pada janin di kandungan gadis itu.Bagaimana pun yang ada di dalam rahim Keira adalah bakal darah dagingnya. Tak sampai hati ia ingin menyingkirkan calon anaknya sendiri.Sekalipun anak itu berasal dari kesalahan, tetapi Bara tidak akan pernah menghilangkan kesempatannya untuk terlahir ke dunia sebagai anaknya.Mata Bara menatap tajam, sinar kemarahan terpancar jelas di matanya. “Enteng sekali kamu mengatakan ingin menggugurkan kandungan? Kamu pikir melakukan aborsi hal yang mudah dan tidak membahayakan?!”Keira menghindari tatapan Bara, tangannya meremas ujung bajunya dengan gelisah. “Aku enggak tahu. Tapi setidaknya, hidup aku bisa balik kayak semula,
Semua persiapan pernikahan berjalan begitu cepat. Bara mengatur segalanya dengan rapi dan profesional. Sehingga setelah sehari Keira diperbolehkan keluar dari rumah sakit, Bara langsung melangsungkan acara pernikahannya dengan KeiraMatahari pagi yang menyinari kamar Keira seakan-akan menjadi saksi bisu pergulatan batin Keira. Duduk di depan cermin, ia menatap pantulan dirinya. Wajah yang biasanya memancarkan keceriaan kini tampak murung dan bingung. Di belakangnya, Bara, lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya, berdiri tenang dengan setelan jas hitam yang rapi.Mereka bersiap untuk pernikahan siri mereka, sebuah acara yang dipenuhi dengan berbagai perasaan campur aduk. Keira mengenakan kebaya sederhana, memilih warna putih yang melambangkan kesucian dan juga kesederhanaan.Setelah selesai bersiap, kin
“Ada kuliah pagi, Kei?” tanya Bara saat melihat Keira menuruni tangga dengan penampilan sedemikian rapinya.Dress selutut dipadukan dengan blazer setengah lengan, terbalut elegan di tubuh Keira yang masih terlihat ramping. Mungkin karena perutnya belum terlalu menonjol dan usia kehamilannya masih muda.“Iya, Om,” jawab Keira singkat tanpa melihat ke arah Bara.Tangannya tampak sedang sibuk mencari-cari sesuatu di dalam tas selempang yang bertengger di bahu kirinya.“Sedang mencari apa, Kei? Tak bisakah mencarinya sambil duduk saja?” pinta Bara karena takut Keira jatuh kalau masih berdiri di atas undakan 3 anak tangga terakhir.“Cari kunci mobil, Om. Seinget Keira tadinya ada di
Setelah kemarin tak masuk kuliah karena ulah Om Bara. Akhirnya, hari ini Keira memutuskan datang ke kampus. Bukan hanya sekadar untuk menghadiri perkuliahan, tetapi sekaligus bertemu dengan Kevin.Begitu melihat tubuh Keira menjulang indah di hadapannya, dengan cepat Kevin merengkuh tubuh Keira ke dalam pelukan erat, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa gadis yang telah membuatnya khawatir berminggu-minggu kini benar-benar ada di hadapannya.“Akhirnya kamu masuk kuliah juga, Sayang. Aku khawatir banget waktu kamu tiba-tiba hilang gitu aja dan enggak bisa dihubungi sama sekali,” ucap Kevin dengan suara penuh kelegaan bercampur kebahagiaan tak tertahan.Keira menepuk lembut dada Kevin saat dirasa dekapan pacarnya itu terlalu erat. Ia memang senang di peluk Kevin dan hatinya selalu berbunga-b
“Tiap malam pulang larut dan selalu diantarkan pulang oleh pacarmu lagi?” tegur Bara sejak tadi memperhatikan kepulangan Keira dari balik jendela.Akhirnya, setelah hampir sebulan, Bara memberanikan diri untuk buka suara saat melihat Keira selalu pulang malam diantar oleh lelaki yang sama. Selama ini, sengaja ia diam saja, membiarkan Keira melakukan apa yang diinginkannya. Bara ingin melihat sampai kapan dan sejauh mana Keira akan terus keluar malam bersama pacarnya. Selain itu, dia juga tidak ingin kembali diacuhkan oleh Keira selama seminggu lebih, seperti yang terjadi saat dia memaksa Keira sarapan sehari setelah pernikahan siri mereka.Namun, kali ini Bara merasa tak bisa diam saja karena dianggapnya Keira sudah keterlaluan. Kalau hanya sekedar sampai seminggu, Bara masih bisa menoleransinya. Tetapi hampir genap sebulan, Keira selalu pergi pagi dan pulang malam bersama seorang pemuda, Bara merasa perlu angkat bicara.“Om kan bisa lihat sendiri! Untuk apa sih nanya sesuatu yang u